Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, wa ba'du:
Allah swt menjelaskan jalur-jalur penyaluran zakat dalam firman-Nya:
(إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ) التوبة/60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60).
Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud dari kata fi sabilillah dalam ayat di atas adalah jihad di jalan Allah. (lihat jawaban dari soal nomor 21805).
Sebagian ulama berpendapat bahwa jihad fisabilillah mencakup jihad dengan jiwa dan senjata, mencakup pula jihad menuntut ilmu dan melawan tipu daya dan syubhat orang-orang musyrik, jihad dalam menjelaskan kebaikan-kebaikan Islam dan kebatilan-kebatilan agama lain, serta jihad untuk berdakwah ke jalan Islam.
Di dalam nash-nash syara’ disebutkan lafaz jihad yang maknanya berkonotasi pada jihad menuntut ilmu dan dakwah.
a.Di dalam surah al-Furqan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
(فَلَا تُطِعْ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا)
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan Jihad yang besar.” (QS. Al-Furqan: 52)
Surah ini turun di Mekkah, dan ketika itu jihad dengan senjata belum disyari’atkan.
Ibnu Abbas berkata, “wa jaahidhum bihi maknanya adalah berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran.” (Tafsir Ibni Jarir, 19/280).
Di dalam kitab Zad al-Ma’ad (3/5), Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Surah al-Furqan ini adalah surah Makkiyah (yang diturunkan di Mekkah). Di dalamnya Allah memerintahkan untuk berjihad terhadap kaum kafir dengan hujjah, argumentasi dan keterangan al-Quran.”
Syeikh al-Islam Ibnu Taymiah rahimahullah berkata, “Bila demikian, diketahui bahwa di antara macam jihad itu ada jihad dengan berperang, ada pula jihad dengan hujjah, argumentasi dan dakwah. Allah swt. berfirman, “Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar. (QS. Al-Furqan: 51-52).
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Rasulullah untuk berjihad menghadapi kaum kafir dengan al-Quran dengan jihad yang besar. Surah al-Furqan ini sendiri turun di Mekkah sebelum Rasulullah berhijrah ke Madinah dan sebelum beliau diperintahkan untuk berperang. Dengan demikian, jihad dalam ayat ini adalah jihad dengan ilmu, hati, keterangan dan dakwah, bukan dengan peperangan.” (Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 8/86).
b. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berjihadlah (melawan) orang-orang musyrik dengan harta kalian, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud, no: 2504. Al-Albani menilai hadis ini sahih dalam Shahih Abi Daud).
Pendapat ini telah dipilih oleh sebagian ulama modern kita. Demikian pula putusan Mujamma Fikih Islami, memutuskan hal serupa. Syeikh Muhammad ibn Ibrahim Âl asy-Syaikh berkata, “Di tengah kita ada bidang yang penting dan bisa menjadi lahan penyaluran zakat, yaitu bidang dakwah dan pengentasan syubhat dalam agama. Bidang ini termasuk ke dalam jihad, bahkan ia termasuk jihad fisabilillah yang paling besar. Bila pemerintah yang menanggung biaya dakwah ini, memang itu sudah menjadi kewajibannya dan termasuk tujuan pemerintahan yang paling utama, yang untuk itu kita diperintahkan untuk taat dan patuh kepada pemerintah demi melindungi agama. Bila pemerintah mengabaikan tujuan itu, maka kaum muslim wajib mengambil peran dakwah tersebut, terutama di masa-masa sekarang. Di Najed sendiri, setiap tahun, mereka mengumpulkan harta zakat untuk kelancaran jihad ini. Bila orang-orang mengumpulkan harta zakat untuk dakwah ini, maka hal itu memang sudah menjadi tuntutan bagi mereka.” (Majmu’ Fatawa Samahat asy-Syeikh Muhammad ibn Ibrahim Âl asy-Syeikh, 4/142).
Di dalam putusan Mujamma Fikih Islami disebutkan:
“Setelah mengkaji berbagai pendapat dan dalil masing-masing, majlis menetapkan suara mayoritas, sebagai berikut:
a. Mengingat:
- Pendapat kedua yang didukung oleh sekelompok ulama yang melandasi pendapatnya dengan dalil dari al-Quran, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 262), dan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa seorang lelaki menyerahkan untanya untuk keperluan jihad fisabilillah. Tetapi istrinya ingin menunaikan ibadah haji dan menggunakan unta itu sebagai kendaraannya. Maka sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam kepada perempuan itu, “Tunggangilah unta tersebut, karena haji juga termasuk jihad fisabilillah.”
- Tujuan jihad dengan senjata adalah menegakkan kalimat dan agama Allah. Dan tujuan ini bisa diwujudkan dengan peperangan, bisa pula dengan dakwah dan menyebarkan agama-Nya, dengan cara menyiapkan para dai, menyokong biaya mereka dan membantu kelancaran tugas mereka. Dengan demikian, kedua cara itu termasuk ke dalam jihad fisabilillah, berdasarkan riwayat Imam Ahmad dan Nasa`I yang dinilai sahih oleh al-Hakim, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berjihadlah (melawan) orang-orang musyrik dengan harta kalian, jiwa dan lisan kalian.”
-Islam diserang dengan bermacam pemikiran dan ideologi seperti atheis, Yahudi, dan Nasrani serta berbagai musuh Islam. Mereka pun memiliki dukungan moril dan materil dari berbagai pihak dan sumber. Untuk itu, kaum muslim pun dituntut untuk menghadapi mereka dengan senjata yang mereka gunakan pula untuk menyerang Islam.
-Di negara-negara Islam terdapat kementrian khusus yang menangani masalah peperangan berikut anggaran keuangannya tersendiri. Lain halnya dengan bidang dakwah, kebanyakan Negara Islam tidak memiliki anggaran khusus dan subsidi untuk itu.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Majlis memutuskan suara mayoritas yang memasukkan bidang dakwah dan berbagai kegiatan pendukungnya ke dalam kategori jihad fisabilillah yang tertuang di dalam ayat al-Quran.
Seperti itu pula fatwa yang dihasilkan pada Seminar Pertama Zakat Kontemporer. Di dalamnya disebutkan:
“Maksud fi sabilillah di dalam ayat adalah jihad dengan maknanya yang luas seperti ditetapkan para fuqaha, yang tujuannya adalah menegakkan kalimat Allah dan menjaga agama dari serangan-serangan musuh. Dengan demikian, jihad tidak terbatas pada kegiatan militer saja. Ia juga mencakup kegiatan-kegiatan berikut:
a. Mendanai kegiatan militer yang berperang untuk tujuan mengibarkan panji Islam dan mengusir musuh-musuh kaum muslim dari setiap jengkal tanah negeri Islam.
b. Mendanai berbagai kegiatan dan upaya yang dapat mengukuhkan jejak-jejak Islam dan muslim minoritas di negeri-negeri yang dikuasai non-muslim dan kerap kali mengalami pembantaian di sana. (Fatawa wa Tawshiyat Nadawat Qadhaya az-Zakat al-Mu’ashirah. Lihat pula kajian berjudul Masymulat Mashraf “Fi Sabilillah” karya Dr. Abdullah ibn Manshur al-Ghifaili).
Murabahah aaoifi hal 199
Tujuan dari standar ini adalah untuk menjelaskan dasar dan aturan Syariah untuk transaksi Murabahah, tahapan-tahapan transaksi ini mulai dari janji (untuk membeli) hingga pengalihan kepemilikan barang kepada nasabah, serta persyaratan Syariah yang harus dipatuhi oleh Lembaga Keuangan Syariah.
Pernyataan Standar (Statement of the Standard)
1. Ruang Lingkup Standar (Scope of the Standard)
Standar ini mencakup transaksi Murabahah dan berbagai tahapannya, isu-isu yang berkaitan dengan jaminan sebelum akad Murabahah disepakati, seperti janji (untuk membeli), Hamish Jiddiyyah (uang jaminan/deposit), serta isu-isu yang berkaitan dengan jaminan untuk pemulihan utang yang timbul dari transaksi Murabahah. Standar ini tidak mencakup penjualan dengan pembayaran tangguh yang dilakukan atas dasar selain Murabahah. Standar ini juga tidak mencakup penjualan amanah (trust sales) dan penjualan tawar-menawar (bargaining sales) lainnya.
2. Prosedur Sebelum Akad Murabahah (Procedures Prior to the Contract of Murabahah)
2/1 Pernyataan Keinginan Nasabah untuk Memperoleh Barang Melalui Lembaga Keuangan (The customer’s expression of his wish to acquire an item through the Institution)
2/1/1 Lembaga Keuangan hanya boleh membeli barang sebagai respons terhadap keinginan dan permohonan nasabahnya, selama praktik ini sesuai dengan ketentuan Syariah untuk akad jual beli.
2/1/2 Dengan memperhatikan butir 2/2/3, diperbolehkan bagi nasabah untuk meminta Lembaga Keuangan membeli barang dari sumber pasokan tertentu. Namun, Lembaga Keuangan berhak menolak untuk melaksanakan transaksi jika nasabah menolak tawaran dari sumber pasokan lain yang lebih sesuai bagi Lembaga Keuangan.
2/1/3 Keinginan nasabah untuk memperoleh barang tidak termasuk sebagai janji atau komitmen, kecuali jika telah dinyatakan dalam bentuk yang sah. Diperbolehkan untuk menyiapkan satu set dokumentasi tunggal untuk ditandatangani oleh nasabah dan mencakup pernyataan keinginan nasabah agar Lembaga Keuangan membeli barang dari pemasok, dan janji untuk membeli barang tersebut dari Lembaga Keuangan. Diperbolehkan bagi nasabah untuk menyiapkan dokumen tersebut, atau dapat berupa formulir permohonan standar yang disiapkan oleh Lembaga Keuangan untuk ditandatangani oleh nasabah.
2/1/4 Nasabah dapat memperoleh pernyataan harga dari pemasok, baik pernyataan tersebut ditujukan kepada nasabah secara spesifik (penawaran spesifik), atau tanpa merujuk pada nasabah tertentu (penawaran umum). Dalam kasus terakhir, pernyataan tersebut dianggap sebagai undangan untuk bernegosiasi, dan bukan sebagai penawaran jual. Lebih disukai bahwa faktur (invoice) dialamatkan kepada Lembaga Keuangan untuk mencakup penawaran jual dari pemasok yang berlaku hingga akhir periode tertentu. Akad jual beli dianggap telah selesai setelah penerimaan datang dari Lembaga Keuangan.
2/2 Sikap Lembaga terhadap Pengajuan Nasabah untuk Murabahah
2/2/1. Apabila nasabah telah menerima tawaran dari pemasok, baik tawaran itu ditujukan secara khusus kepadanya maupun tawaran umum tanpa alamat penerima tertentu, maka transaksi jual beli dianggap telah terjadi antara nasabah dan pemasok. Dengan demikian, Lembaga tidak boleh melakukan akad Murabahah atas barang yang sama.
2/2/2. Wajib dipastikan bahwa tidak ada hubungan perjanjian sebelumnya antara nasabah sebagai pemesan barang (purchase orderer) dan pemasok asli barang yang dipesan tersebut.
Akad Murabahah mensyaratkan bahwa transaksi antara kedua pihak harus benar-benar nyata (genuine), bukan fiktif, dan harus bebas dari hubungan kontraktual sebelumnya.
Karena itu, tidak dibolehkan mengalihkan kontrak yang telah terjadi antara nasabah dan pemasok barang kepada Lembaga.
2/2/3 Lembaga harus memastikan bahwa pihak dari siapa barang dibeli adalah pihak ketiga, bukan nasabah ataupun wakilnya.
Contohnya:
– Tidak boleh nasabah menjual barang yang dipesannya kepada Lembaga, lalu membelinya kembali melalui akad Murabahah.
– Tidak boleh pemasok barang dimiliki sepenuhnya atau mayoritas (lebih dari 50%) oleh nasabah.
Apabila suatu saat diketahui bahwa transaksi tersebut dilakukan dengan cara seperti ini, maka akad tersebut batal, karena termasuk rekayasa yang menyerupai ‘inah.
2/2/4 Jika pemasok (pemilik barang) memiliki hubungan darah atau hubungan pernikahan dengan nasabah, maka Lembaga harus memastikan terlebih dahulu bahwa jual beli tersebut bukan fiktif dan bukan merupakan rekayasa untuk melakukan jual beli ‘inah.
2/2/5 Tidak boleh Lembaga dan nasabah sepakat untuk membentuk Musyarakah dalam suatu proyek atau transaksi tertentu, kemudian salah satu pihak berjanji untuk membeli bagian (porsi) pihak lain melalui akad Murabahah dengan pembayaran tunai maupun tangguh.
Namun, dibolehkan apabila salah satu mitra berjanji untuk membeli bagian mitra lain dengan harga pasar, atau harga yang disepakati saat akad jual beli dilakukan, asalkan dibuat akad baru. Jual beli tersebut boleh dilakukan secara tunai atau tangguh.
2/2/6 Tidak boleh melakukan akad Murabahah dengan pembayaran tangguh apabila objek akad adalah emas, perak, atau mata uang.
2/2/7 Tidak boleh menerbitkan Sukuk yang dapat diperdagangkan apabila aset yang mendasarinya hanyalah piutang Murabahah atau piutang lainnya.
2/2/8 Tidak boleh memperbarui akad Murabahah atas komoditas yang sama yang sebelumnya sudah menjadi objek Murabahah dengan nasabah yang sama, yaitu melakukan refinancing (pembiayaan ulang) atas transaksi tersebut.
2/3 Janji dari Nasabah
2/3/1 Tidak boleh dalam dokumen janji pembelian (yang ditandatangani oleh nasabah) terdapat janji timbal balik yang mengikat kedua belah pihak (Lembaga dan nasabah).
2/3/2 Janji nasabah untuk membeli—bersama segala kerangka kontraktual pendukungnya—bukanlah bagian inti dari transaksi Murabahah.
Janji tersebut hanya dimaksudkan sebagai jaminan bahwa nasabah akan melanjutkan transaksi setelah barang dibeli oleh Lembaga.
Jika Lembaga memiliki peluang lain untuk menjual barang tersebut, maka janji atau kerangka kontraktual tersebut tidak diperlukan.
2/3/3 Janji timbal balik (bilateral promise) antara nasabah dan Lembaga dibolehkan hanya jika terdapat opsi untuk membatalkan janji tersebut. Opsi ini dapat dimiliki oleh kedua pihak atau oleh salah satu pihak saja.
2/3/4 Dibolehkan bagi Lembaga dan nasabah—setelah nasabah memberikan janji, tetapi sebelum pelaksanaan akad Murabahah—untuk sepakat melakukan perubahan terhadap isi janji tersebut.
Perubahan itu bisa terkait penangguhan pembayaran, margin keuntungan, atau syarat-syarat lainnya.
Namun, perubahan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan bersama kedua pihak. Tidak boleh sepihak.
2/3/5 Dibolehkan bagi Lembaga untuk membeli barang dari pemasok dengan klausul “jual atau kembalikan” (sale or return), yaitu Lembaga memiliki opsi untuk mengembalikan barang dalam periode tertentu. Jika kemudian nasabah tidak membeli barang tersebut, Lembaga dapat mengembalikannya kepada pemasok selama masih dalam periode yang diperbolehkan dalam syariat melalui khiyar syarat.
Opsi (khiyar) antara Lembaga dan pemasok tidak gugur hanya karena barang ditunjukkan kepada nasabah. Opsi itu baru gugur setelah terjadi jual beli secara nyata kepada nasabah.
Sangat dianjurkan agar dalam khiyar syarat tersebut ditegaskan bahwa sekadar menawarkan barang kepada pihak ketiga tidak membatalkan hak opsi.
2/4 Komisi dan Biaya
2/4/1 Lembaga tidak boleh menerima commitment fee (biaya komitmen) dari nasabah.
2/4/2 Lembaga tidak boleh menerima biaya fasilitas kredit dari nasabah.
2/4/3 Biaya untuk menyiapkan dokumen akad antara Lembaga dan nasabah harus ditanggung secara proporsional oleh kedua belah pihak, kecuali apabila mereka sepakat bahwa biaya tersebut ditanggung sepenuhnya oleh salah satu pihak.
Namun, biaya tersebut harus sebanding dengan pekerjaan nyata yang dilakukan, sehingga tidak mengandung unsur biaya komitmen atau biaya fasilitas terselubung.
2/4/4 Jika akad Murabahah dilakukan melalui pembiayaan sindikasi, maka Lembaga yang bertindak sebagai arranger (pengatur sindikasi) berhak menerima arrangement fee yang dibayarkan oleh para peserta sindikasi.
2/4/5 Lembaga dibolehkan menerima biaya atas studi kelayakan (feasibility study) yang dilakukannya, apabila studi tersebut diminta oleh nasabah, untuk kepentingan nasabah, dan nasabah menyetujui pembayaran biaya tersebut.
Nasabah berhak mendapatkan salinan studi tersebut jika ia memintanya.
2/5 Jaminan Terkait Dimulainya Transaksi
2/5/1 Lembaga diperbolehkan memperoleh jaminan (performance deed) dari nasabah (sebagai pemesan/purchase orderer) mengenai pelaksanaan yang baik oleh pemasok atas kewajiban kontraktualnya terhadap Lembaga, dalam kapasitas pribadi nasabah, bukan dalam kapasitasnya sebagai pemesan maupun sebagai wakil Lembaga.
Dengan demikian, jika akad Murabahah tidak jadi dilaksanakan, jaminan tersebut tetap berlaku. Jaminan seperti ini diperlukan hanya jika nasabah yang menunjuk atau mengusulkan pemasok tertentu sebagai sumber barang yang menjadi objek Murabahah. Sebagai konsekuensi dari jaminan tersebut, nasabah wajib mengganti kerugian yang diderita Lembaga akibat kegagalan pemasok dalam memenuhi kewajiban kontraktualnya, termasuk:
• tidak memenuhi spesifikasi barang,
• tidak melaksanakan akad dengan cermat,
• menyebabkan kerugian waktu, tenaga, harta Lembaga,
• atau mengakibatkan perselisihan hukum serta klaim kerusakan.
2/5/2 Tidak diperbolehkan membebankan kepada nasabah (sebagai pemesan) jaminan atas risiko yang mungkin menimpa barang, seperti kerusakan atau kehancuran selama pengiriman atau penyimpanan.
2/5/3 Diperbolehkan bagi Lembaga, dalam kasus janji yang mengikat dari nasabah, untuk meminta sejumlah dana sebagai Hamish Jiddiyyah (uang tanda keseriusan / security deposit).
Dana ini dibayarkan oleh nasabah atas permintaan Lembaga, dengan tujuan:
• menunjukkan kapasitas finansial nasabah, dan
• memastikan kompensasi atas kerugian yang mungkin dialami Lembaga akibat pelanggaran janji oleh nasabah.
Jika Lembaga telah menerima Hamish Jiddiyyah, Lembaga tidak perlu lagi menuntut kompensasi secara terpisah, karena kerugian dapat ditutup dari dana Hamish Jiddiyyah tersebut.
Hamish Jiddiyyah tidak dianggap sebagai ‘Urbun (uang tanda jadi/earnest money).
Dana ini dapat:
1. diinvestasikan oleh Lembaga sebagai amanah investasi berdasarkan akad Mudarabah antara nasabah dan Lembaga, jika nasabah mengizinkan, atau
2. ditahan dalam rekening giro sesuai pilihan nasabah.
3. Berikut kelanjutan terjemahan fatwa AAOIFI bagian 2/5 (lanjutan):
2/5/4 Jika nasabah melanggar janji yang mengikat (binding promise), maka Lembaga tidak diperkenankan menahan seluruh Hamish Jiddiyyah semata-mata karena pelanggaran. Hak Lembaga terbatas hanya untuk memotong jumlah kerugian nyata yang timbul akibat pelanggaran itu — yaitu selisih antara biaya barang yang ditanggung Lembaga dan harga di mana barang tersebut dijual kepada pihak ketiga.
Kerugian nyata bagi Lembaga tidak boleh meliputi hilangnya margin keuntungan (mark-up) dalam transaksi Murabahah — yaitu opportunity loss.
2/5/5 Ketika nasabah telah memenuhi janjinya dan melaksanakan akad Murabahah, maka Lembaga harus mengembalikan Hamish Jiddiyyah kepada nasabah. Lembaga tidak berhak mengambil bagian dari Hamish Jiddiyyah, kecuali dalam kasus pelanggaran janji sesuai ketentuan 2/5/3 (yaitu ketika terjadi wanprestasi). Diperbolehkan bagi Lembaga dan nasabah untuk menyepakati bahwa jumlah Hamish Jiddiyyah akan dipotong dari harga yang harus dibayar nasabah berdasarkan akad Murabahah.
2/5/6 Diperbolehkan bagi Lembaga untuk mengambil ’Arboun (uang tanda jadi / earnest money) pada saat penetapan akad Murabahah (yaitu ketika jual beli difinalisasi dengan nasabah). Tetapi, ’Arboun tidak boleh diambil saat tahap kontraktual di mana nasabah baru memberikan janji membeli.
Jika nasabah kemudian membatalkan kontrak dalam transaksi yang berbasis ’Arboun, maka lebih baik Lembaga, setelah memotong kerugian nyata yang diderita, mengembalikan sisa ’Arboun kepada nasabah. Kerugian nyata di sini berarti selisih antara biaya barang yang ditanggung Lembaga dan harga barang saat dijual ke pihak ketiga.
3. Kepemilikan dan Penguasaan Aset oleh Lembaga atau Agennya
3/1 Perolehan Aset oleh Lembaga sebelum Dijual melalui Murabahah
3/1/1 Lembaga tidak boleh menjual suatu barang dalam transaksi Murabahah sebelum lembaga tersebut memiliki barang itu.
Karena itu, tidak sah bagi Lembaga untuk menyelesaikan akad Murabahah dengan nasabah sebelum:
1. Lembaga menyelesaikan akad pembelian dengan pemasok, dan
2. Lembaga memperoleh kepemilikan nyata atau konstruktif atas barang tersebut—yaitu ketika pemasok memberikan kontrol atas barang atau dokumen kepemilikannya kepada Lembaga (lihat 3/2/1–3/2/4).
Akad Murabahah juga dianggap batal apabila akad antara Lembaga dan pemasok batal, karena Lembaga tidak berhasil memperoleh kepemilikan sempurna atas barang tersebut.
3/1/2 Diperbolehkan bahwa akad antara Lembaga dan pemasok diselesaikan melalui pertemuan langsung untuk membahas rinciannya, dan kontrak dapat dilaksanakan saat itu.
Demikian pula, akad dapat diselesaikan melalui pertukaran penawaran dan penerimaan (offer & acceptance) baik secara tertulis maupun melalui media komunikasi modern lain yang lazim digunakan.
3/1/3 Hukum asalnya, Lembaga sendiri membeli barang tersebut dari pemasok.
Namun, Lembaga boleh menunjuk seorang agen selain nasabah pemesan untuk membeli barang tersebut.
Nasabah tidak boleh ditunjuk sebagai agen kecuali dalam kondisi darurat.
Agen juga tidak boleh menjual barang itu kepada dirinya sendiri.
Lembaga harus terlebih dahulu memperoleh kepemilikan atas barang tersebut, lalu menjualnya kepada agen bila diperlukan.
Dalam kasus ini, ketentuan di item 3/1/5 harus diperhatikan.
3/1/4 Jika nasabah diberi kuasa sebagai agen Lembaga untuk membeli barang, maka wajib diterapkan prosedur untuk memastikan syarat-syarat berikut terpenuhi:
a) Lembaga harus membayar langsung kepada pemasok, bukan kepada rekening nasabah sebagai agen, bila memungkinkan.
b) Lembaga harus memperoleh dari pemasok dokumen yang membuktikan terjadinya akad jual beli.
3/1/5 Wajib memisahkan dua jenis tanggungan risiko atas barang yang dibeli, yaitu:
1. Tanggung jawab Lembaga, dan
2. Tanggung jawab nasabah sebagai agen Lembaga.
Hal ini dilakukan dengan memastikan adanya selang waktu antara:
• selesainya akad keagenan untuk memperoleh barang, dan
• pelaksanaan akad Murabahah.
Urutannya adalah:
1. Nasabah (agen) mengirimkan pemberitahuan pelaksanaan tugas untuk memperoleh barang dan menawarkan pembelian melalui Murabahah (lihat Lampiran a).
2. Lembaga kemudian mengirim pemberitahuan penerimaan atas tawaran tersebut dan melaksanakan akad Murabahah (lihat Lampiran b).
3/1/6 Hukum asalnya, semua dokumen dan kontrak terkait pelaksanaan pembelian barang harus atas nama Lembaga, bukan atas nama nasabah—kecuali jika nasabah bertindak sebagai agen resmi dalam proses pembelian tersebut.
3/1/7 Diperbolehkan, ketika Lembaga menunjuk seseorang sebagai agen untuk membeli barang, kedua pihak menyepakati bahwa agen boleh melaksanakan pembelian tanpa mengungkapkan statusnya sebagai agen. Dalam kasus ini, agen akan bertindak sebagai pihak utama (principal) ketika bertransaksi dengan pihak lain dan melakukan pembelian atas nama dirinya sendiri, tetapi sesungguhnya mewakili Lembaga sebagai prinsipal.
Namun, lebih dianjurkan agar peran agen tersebut tetap diungkapkan.
Berikut lanjutan terjemahan Bahasa Indonesia dari teks yang Anda berikan:
3/2 Kepemilikan (Qabd) Lembaga atas aset atau barang sebelum dijual dengan skema Murabahah
3/2/1 Wajib dipastikan bahwa Lembaga telah melakukan penguasaan secara nyata (qabd haqiqi) atau secara konstruktif (qabd hukmi) terhadap barang tersebut sebelum barang itu dijual kepada nasabah melalui akad Murabahah.
3/2/2 Syarat bahwa Lembaga harus mengambil alih kepemilikan barang (sebelum dijual kembali kepada nasabah) memiliki tujuan tertentu, yaitu agar Lembaga menanggung risiko kepemilikan atas barang yang akan dijual.
Artinya, barang tersebut harus benar-benar berpindah dari tanggung jawab pemasok menuju tanggung jawab Lembaga.
Demikian pula, wajib ditentukan secara jelas kapan risiko barang berpindah dari Lembaga kepada nasabah, dengan merujuk kepada tahapan-tahapan pemindahan barang dari satu pihak kepada pihak lain.
3/2/3 Bentuk penguasaan/penerimaan (qabd) barang berbeda-beda sesuai dengan sifat barang dan kebiasaan perdagangan.
• Penguasaan bisa secara fisik, yaitu dengan penyerahan atau pemindahan barang kepada pihak yang berhak atau kuasanya.
• Atau dapat juga secara konstruktif, yaitu dengan menempatkan barang pada kendali pihak yang berhak sehingga ia bisa memperlakukannya sesuka hati meskipun belum terjadi penyerahan fisik.
• Untuk properti tidak bergerak, penguasaan dapat dilakukan dengan mengosongkan bangunan dan menempatkannya dalam kendali pihak yang berhak. Bila pihak tersebut belum dapat menguasainya, maka pengosongan tidak dianggap sebagai penguasaan.
• Untuk aset bergerak, cara penguasaan mengikuti sifat dan karakter aset tersebut.
3/2/4 Penerimaan bill of lading oleh Lembaga atau kuasanya ketika membeli barang di pasar internasional dianggap sebagai qabd hukmi (penguasaan konstruktif). Hal yang sama berlaku terhadap penerimaan sertifikat penyimpanan gudang yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang dan terpercaya.
3/2/5 Pada prinsip asal, Lembaga harus menerima barang tersebut langsung dari lokasi pemasok atau dari tempat yang telah ditentukan dalam syarat penyerahan. Risiko barang berpindah kepada Lembaga ketika ia mengambil penguasaan atas barang. Namun, Lembaga boleh menunjuk pihak lain sebagai wakil untuk menerima barang atas nama Lembaga.
3/2/6 Karena Lembaga adalah pemilik barang Murabahah sebelum dijual kepada nasabah, maka tanggungan asuransi atas barang berada pada Lembaga selama masa kepemilikannya. Setiap klaim asuransi yang diperoleh pada tahap ini menjadi hak Lembaga sepenuhnya, meskipun jumlah yang diterima melebihi harga beli barang. Lembaga juga berhak memasukkan biaya asuransi tersebut ke dalam biaya perolehan dalam perhitungan harga Murabahah. Jenis asuransi harus menggunakan Takaful apabila memungkinkan.
3/2/7 Pendelegasian kepada pihak lain untuk mengurus prosedur pengadaan perlindungan asuransi saat Lembaga memperoleh barang dibolehkan.
Namun biaya asuransi wajib ditanggung oleh Lembaga, bukan nasabah.
Berikut lanjutan terjemahan Bahasa Indonesia bagian Conclusion of a Murabahah Contract:
4. Penutupan / Penyempurnaan Akad Murabahah
4/1 Tidak diperbolehkan bagi Lembaga menganggap akad Murabahah otomatis sah hanya karena Lembaga telah mengambil alih kepemilikan atas aset tersebut.
Demikian pula, Lembaga tidak boleh memaksa nasabah (sebagai pihak pemesan barang) untuk menerima barang dan membayar harga Murabahah apabila nasabah menolak untuk menyempurnakan akad Murabahah.
4/2 Lembaga berhak menerima kompensasi atas kerugian nyata yang ditanggung akibat pelanggaran janji yang sifatnya mengikat oleh nasabah.
Kompensasi tersebut berupa penggantian oleh nasabah atas selisih antara:
• harga yang diperoleh Lembaga ketika menjual barang kepada pihak ketiga, dan
• harga pokok pembelian yang telah dibayar Lembaga kepada pemasok.
4/3 Apabila Lembaga membeli aset dengan pembayaran tangguh, dengan niat akan menjualnya melalui Murabahah, maka Lembaga wajib mengungkapkan hal tersebut kepada nasabah.
Lembaga juga wajib mengungkapkan kepada nasabah seluruh rincian biaya yang akan dimasukkan ke dalam penentuan harga pokok ketika akad ditandatangani.
Lembaga berhak memasukkan biaya-biaya tertentu ke dalam harga Murabahah jika disetujui nasabah.
Namun jika Lembaga gagal mengungkapkan biaya tertentu, ia tidak boleh memasukkannya kecuali biaya tersebut merupakan biaya umum yang sudah dikenal, seperti:
• biaya transportasi
• biaya penyimpanan
• biaya L/C (letter of credit)
• premi asuransi.
4/4 Lembaga tidak boleh memasukkan ke dalam harga pokok barang — untuk kebutuhan perhitungan harga Murabahah — biaya selain biaya langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga.
Contohnya, tidak diperbolehkan memasukkan pembayaran kepada karyawan internal Lembaga sebagai bagian dari harga pokok barang.
4/5 Jika setelah akad Murabahah disepakati, Lembaga menerima diskon dari pemasok atas barang yang telah dijual melalui Murabahah, maka nasabah berhak memperoleh manfaat dari diskon tersebut.
Caranya adalah dengan mengurangi harga jual Murabahah secara proporsional.
4/6 Wajib bahwa harga barang dan keuntungan Lembaga dalam transaksi Murabahah diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak ketika akad ditandatangani.
Tidak diperbolehkan dalam kondisi apa pun menetapkan harga atau keuntungan berdasarkan faktor yang belum pasti di masa depan, seperti:
• keuntungan ditentukan oleh LIBOR masa depan
• keuntungan mengikuti indikator yang masih berubah.
Boleh menggunakan indikator tertentu saat tahap janji (promise) sekadar sebagai referensi, asalkan saat akad Murabahah ditandatangani keuntungan telah ditetapkan sebagai persentase tertentu dari harga pokok, bukan terkait LIBOR atau unsur waktu.
4/7 Margin keuntungan Murabahah harus diketahui secara jelas; hanya menyebutkan harga jual total tidak mencukupi.
Keuntungan bisa ditentukan sebagai:
• nominal jumlah tertentu, atau
• persentase tertentu dari harga pokok saja, atau
• persentase dari harga pokok + biaya-biaya.
Penetapan tersebut menjadi sah melalui kesepakatan kedua belah pihak.
4/8 Diperbolehkan menyepakati pembayaran harga Murabahah dengan angsuran jangka pendek atau jangka panjang.
Harga jual Murabahah menjadi utang yang wajib dibayar oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati.
Tidak diperbolehkan meminta tambahan pembayaran apa pun setelah itu, baik:
• sebagai kompensasi penambahan waktu (riba atas penundaan), maupun
• sebagai denda keterlambatan tanpa sebab.
4/9 Diperbolehkan bagi Lembaga mencantumkan syarat dalam kontrak Murabahah bahwa Lembaga terbebas dari tanggung jawab atas sebagian atau seluruh cacat barang, selama bukan:
• kerusakan yang terjadi sebelum barang dikuasai nasabah, atau
• pengurangan kuantitas barang.
Hal ini dikenal sebagai Bai’ al-Bara’ah (penjualan apa adanya).
Jika syarat ini diterapkan, lebih utama jika Lembaga memberikan hak kepada nasabah untuk menuntut pemasok guna memperoleh kompensasi atas cacat yang terbukti ada — yang secara normal dapat dituntut oleh Lembaga kepada pemasok.
4/10 Lembaga tetap bertanggung jawab atas cacat tersembunyi yang sudah ada sebelumnya (pre-existing hidden defects) yang muncul setelah akad, kecuali bila telah disepakati sebaliknya sesuai poin 4/9.
Namun, Lembaga tidak bertanggung jawab atas cacat baru yang terjadi setelah akad dan setelah barang diterima oleh nasabah.
4/11 Lembaga boleh mensyaratkan dalam akad bahwa bila nasabah, setelah akad Murabahah ditandatangani, menolak mengambil barang pada waktu yang ditentukan, maka Lembaga dapat:
• membatalkan akad, atau
• menjual barang tersebut kepada pihak ketiga atas nama nasabah dan untuk kepentingan nasabah.
Dalam kasus itu, Lembaga dapat mengambil dari hasil penjualan tersebut jumlah yang menjadi haknya menurut akad. Jika hasil penjualan kurang, Lembaga berhak menagih kekurangannya kepada nasabah.
5. Jaminan dan Perlakuan atas Piutang Murabahah
5/1 Lembaga boleh mensyaratkan bahwa cicilan-cicilan dapat menjadi jatuh tempo lebih awal dari jadwal semula apabila nasabah menolak atau menunda pembayaran salah satu cicilan tanpa alasan yang sah, setelah lewatnya waktu yang disebutkan dalam pemberitahuan yang dikirim Lembaga dalam periode wajar setelah tanggal jatuh tempo.
5/2 Lembaga harus meminta nasabah menyediakan jaminan yang dibenarkan syariah dalam akad Murabahah.
Jaminan tersebut dapat berupa:
• garansi dari pihak ketiga,
• gadai atas rekening investasi nasabah,
• gadai atas barang bergerak atau tidak bergerak milik nasabah,
• atau gadai atas objek Murabahah itu sendiri sebagai fiduciary mortgage atau registered charge.
Gadai tersebut dapat dilakukan:
• tanpa penyerahan fisik barang kepada Lembaga, atau
• dengan penyerahan barang, lalu barang dilepas secara bertahap sesuai persentase pembayaran.
5/3 Lembaga boleh meminta nasabah untuk menyediakan cek atau promes sebelum akad Murabahah ditandatangani sebagai jaminan atas utang yang akan terbentuk setelah akad. Dengan syarat tertulis bahwa Lembaga tidak boleh mencairkan cek tersebut kecuali pada tanggal jatuh tempo. Ketentuan ini tidak berlaku di negara yang memperbolehkan cek dicairkan sebelum tanggal jatuh tempo (post-dated cheque tidak diakui).
5/4 Tidak diperbolehkan mensyaratkan bahwa kepemilikan barang tidak berpindah kepada nasabah hingga seluruh harga jual dilunasi. Namun boleh menunda registrasi atau pencatatan aset sebagai jaminan pelunasan harga jual.
Lembaga boleh menerima kuasa dari nasabah untuk menjual aset tersebut jika nasabah tidak membayar harga jual tepat waktu. Dalam hal itu, Lembaga harus membuat counter-deed kepada nasabah sebagai bukti hak kepemilikan nasabah.
Jika barang dijual karena gagal bayar, Lembaga hanya boleh mengambil jumlah yang menjadi haknya, dan harus mengembalikan sisanya kepada nasabah.
5/5 Jika Lembaga menerima jaminan berupa gadai dari nasabah, Lembaga boleh mensyaratkan agar nasabah memberikan surat kuasa untuk menjual barang jaminan tanpa harus melalui proses peradilan, guna menutupi jumlah yang terutang.
5/6 Diperbolehkan dalam akad Murabahah terdapat komitmen dari nasabah untuk membayar sejumlah uang atau persentase tertentu sebagai donasi, apabila ia terlambat membayar cicilan. Dewan Pengawas Syariah wajib mengetahui dengan jelas bahwa uang tersebut benar-benar disalurkan untuk kegiatan amal, bukan untuk keuntungan Lembaga.
5/7 Tidak diperbolehkan memperpanjang jatuh tempo pembayaran utang dengan imbalan tambahan pembayaran.
Larangan ini berlaku baik nasabah sedang mampu maupun tidak mampu (praktik riba jahiliyyah).
5/8 Jika nasabah gagal membayar cicilan Murabahah yang jatuh tempo, jumlah yang wajib dibayar hanyalah sisa harga jual yang belum dibayar.
Lembaga tidak boleh mengenakan tambahan apa pun untuk keuntungan Lembaga.
Ketentuan ini tetap memperhatikan pengecualian pada poin 5/6 (donasi keterlambatan).
5/9 Lembaga diperbolehkan memberikan diskon pelunasan dipercepat jika nasabah membayar lebih awal, selama hal itu tidak diperjanjikan dalam akad.
5/10 Jika nasabah ingin membayar dalam mata uang selain mata uang Murabahah, hal itu diperbolehkan dengan persetujuan Lembaga pada saat pembayaran.
Syaratnya:
• utang dibayar penuh, atau
• jumlah yang disepakati dalam mata uang pengganti dibayar penuh, tanpa ada sisa yang menggantung.
Konversi mata uang tidak boleh disepakati sebagai syarat dalam akad Murabahah.
Syeikh Abdul Karim Al Khudhair berkata:
ولا بأس بتعلّم الفقه على مذهب من المذاهب الأربعة بشرط أن يتّبع الدليل إذا تبيّن له أنّ المذهب مخالف للدليل في مسألة ما من المسائل لأن طاعة الله ورسوله مقدّمة على طاعة كلّ احد وكذلك أن يتأدّب مع المدارس الفقهية الأخرى ولا يحمله التعصّب لمذهبه على مخاصمتهم بل يجعل الحقّ رائده ويحترم أقوال العلماء واجتهاداتهم وتكون طريقته المباحثة بالأدب للوصول إلى الحقّ والمناصحة بالحسنى للمخالفين إذا تبيّن له أنهم على خطأ
ومن الخطأ أن يرفض القادر على التعلّم أن يتعلّم بحجّة أنّ العلماء وحدهم هم القادرون على فهم الأدلّة ، ونحن لا نقول لمن لا يستطيع الاجتهاد أن يستنبط من النصوص ويجتهد وليس عنده مَلَكَة ولا آلة الاجتهاد وإلا عمّت الفوضى ، ولكن نقول له إذا كنت ذا فهم فاعرف على الأقلّ ما هي حجّة إمامك وما دليله كي ترتبط بالقرآن والسنّة وتكون متّبعا على بصيرة لا مقلّدا إمّعة . والله الموفّق والهادي إلى سواء السبيل
Tidak masalah untuk memperlajari fikih salah satu madzhab dari 4 madzhab yang ada, dengan syarat tetap mengikuti dalil (jika nampak baginya bahwa madzhab tersebut bertentangan dengan dalil pada permasalahan tertentu) karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya lebih didahulukan dari pada taat kepada siapapun, demikian juga hendaknya berlaku santun pada madrasah-madrasah fikih yang lain. Jangan sampai rasa fanatik pada madzhabnya membawa dia memusuhi madzhab-madzhab lain, akan tetapi dia hendaknya menjadikan kebenaran sebagai panglima, dan menghormati pendapat para ulama, serta hasil ijtihad mereka. Dan hendaknya cara mengkaji madzhab diiringi adab supaya bisa sampai kepada kebenaran, dan supaya bisa menasehati orang orang yang berbeda dengannya menggunakan cara yang baik (jika memang mereka nampak berada pada kesalahan)
Termasuk kesalahan, jika seseorang yang mampu untuk mempelajari namun tidak mau mempelajari dengan alasan bahwa para ulama saja yang mampu memahami dalil-dalil. Kami tidak berkata kepada seseorang yang tidak mampu berijtihad agar menyimpulkan masalah dari nash-nash yang ada, kemudian ia melakukan ijtihad padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk itu, dan tidak jga menguasai alat berijtihad, kalau dia tetap melakukannya maka kerancuan yang akan menyebar kemana-mana, akan tetapi kami katakan kepadanya: “Jika anda mampu memahami maka kenalilah, minimal apa yang menjadi alasan dari imam anda, dan apa dalilnya ? agar anda tetap terikat dengan al Qur’an dan Sunnah, dengan begitu anda akan menjadi seorang muttabi’ yang didasari ilmu, dan anda tidak sebagai muqallid yang selalu meniru. Semoga Allah selalu memberikan taufik dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Dr. Husamuddin Afanah menerangkan:
Apabila akad jual beli telah terlaksana dengan benar dan terbebas dari khiyār (opsi pembatalan), maka akad tersebut bersifat lazim (mengikat) menurut kesepakatan para fuqahā’, dan bukan merupakan akad jā’iz (tidak mengikat).
Perlu saya jelaskan terlebih dahulu makna al-luzūm (mengikat) dan al-jawāz (boleh atau tidak mengikat) dalam akad-akad syar‘i.
Maksud akad lāzim (mengikat) adalah akad yang tidak dapat dibatalkan atau diakhiri oleh salah satu pihak (al-‘āqidān) kecuali dengan kerelaan pihak lainnya.
Sedangkan akad jā’iz (tidak mengikat) adalah akad yang boleh dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa memerlukan kerelaan pihak lainnya. (Lihat al-Madkhal al-Fiqhī, 1/444).
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa akad-akad, dari sisi luzūm dan jawāz, terbagi ke dalam beberapa jenis — dengan adanya perbedaan pendapat di antara fuqahā’ serta rincian yang cukup banyak pada setiap jenis akad secara tersendiri.
Akad-akad seperti al-bay‘ (jual beli), as-salam (jual beli pesanan), dan al-ijārah (sewa menyewa) merupakan akad-akad yang bersifat lazim (mengikat). Sebab apabila akad-akad tersebut telah sah, maka tidak boleh dibatalkan tanpa adanya taqāyul (pembatalan bersama atas dasar kesepakatan). Apabila salah satu pihak enggan melaksanakan kewajibannya, maka ia dapat dipaksa untuk menunaikannya.
Adapun akad nikah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan berdasarkan kesepakatan (kerelaan bersama) — berbeda dari akad-akad lazim lainnya — karena akad nikah ditetapkan atas dasar keberlangsungan dan keabadian (ad-dawām wa at-ta’bīd).
Ia hanya dapat dibatalkan karena darurat besar (ḍarūrah ‘aẓīmah).
Namun ada pendapat lain yang mengatakan: “Akad nikah dapat dibatalkan atas dasar kerelaan kedua belah pihak.”
Sedangkan akad wadī‘ah (titipan), syirkah (kerjasama usaha), dan wakālah (perwakilan) adalah akad-akad jā’iz (tidak mengikat).
Masing-masing pihak berhak membatalkannya, meskipun tanpa persetujuan pihak lain.
Demikian pula akad-akad seperti musāqāh (bagi hasil pengelolaan kebun), muḍārabah (bagi hasil usaha), musābaqah (perlombaan), ‘āriyah (pinjaman pakai), qarḍ (pinjaman uang/barang), dan istiṣnā‘ (pesanan pembuatan barang).
Terkadang suatu akad bersifat lazim dari satu pihak namun jā’iz dari pihak lainnya, seperti akad rahn (gadai) — di mana penerima gadai (murtahin) boleh membatalkannya, tetapi pemberi gadai (rāhin) tidak.
Dan kadang pula suatu akad lazim dapat berubah menjadi jā’iz, seperti akad jual beli yang di dalamnya terdapat syarat khiyār (opsi pembatalan), atau apabila terdapat cacat (‘aib) pada barang yang dijual, maka pihak yang memiliki hak khiyār boleh membatalkan akad.
Demikian pula akad ijārah (sewa menyewa) bisa menjadi jā’iz apabila muncul ‘udzr (alasan syar‘i) — seperti seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, kemudian anak tersebut meninggal dunia.
Sebaliknya, akad jā’iz dapat berubah menjadi lazim, contohnya wakālah (perwakilan).
Pada asalnya wakālah merupakan akad jā’iz, sehingga wakil (wakīl) berhak mengundurkan diri, dan pemberi kuasa (muwakkil) juga berhak memberhentikannya.
Namun, apabila hak wakil telah terkait dengan urusan yang diwakilkan, maka muwakkil tidak boleh memberhentikannya.
Contohnya: seseorang peminjam (mustaqridh) menunjuk pemberi pinjaman (muqriḍ) sebagai wakil untuk menagih piutang miliknya agar menjadi pelunasan atas pinjaman tersebut, maka peminjam tidak boleh mencabut kuasa tersebut.
Demikian pula pada akad rahn (gadai), apabila di dalamnya disyaratkan bahwa pemberi gadai (rāhin) mewakilkan penerima gadai (murtahin) untuk menjual barang gadaian, maka rāhin tidak boleh mencabut kuasa itu, karena pencabutannya berarti membatalkan hak murtahin.
Demikian pula akad muḍārabah, apabila pengelola (mudārib) telah memulai pekerjaannya, maka akad menjadi lazim menurut mazhab Mālikiyyah, namun tidak menjadi lazim menurut mazhab Ḥanafiyyah dan Syāfi‘iyyah.
Bagi mereka yang menetapkan khiyār majlis dalam akad jual beli, seperti mazhab Syāfi‘ī dan Ḥanbalī, maka selama majlis akad masih berlangsung, akad tersebut bersifat jā’iz (tidak mengikat).
Namun apabila majlis telah berakhir tanpa ada salah satu pihak yang memilih membatalkan akad, maka akad menjadi lazim (mengikat) sejak saat itu.
Ada pula akad yang diperselisihkan status kelazimannya, seperti hibah (pemberian tanpa kompensasi). Menurut mazhab Mālik, hibah menjadi lazim sejak akad diucapkan. Menurut mazhab Syāfi‘ī dan Aḥmad, hibah tidak menjadi lazim kecuali setelah barang diserahterimakan (qabḍ) dengan izin pemberi hibah (wāhib). Dalam salah satu riwayat dari Imam Aḥmad, sebelum qabḍ, hibah tetap jā’iz — tetapi hanya berlaku pada barang takaran dan timbangan (mukayyal dan mawzūn).
Sedangkan menurut Abū Ḥanīfah, hibah tetap jā’iz bahkan setelah qabḍ, sehingga pemberi hibah (wāhib) boleh menarik kembali hibahnya, selama tidak ada penghalang syar‘i, seperti bila pemberi hibah adalah suami, atau memiliki hubungan mahram dengan penerima hibah. Dan pembatalan hibah hanya sah dengan kerelaan kedua pihak atau dengan keputusan hakim (qaḍā’ al-qāḍī).
Dalam banyak jenis akad tersebut, terdapat rincian-rincian fikih terkait sejauh mana akad itu bersifat lazim atau jā’iz.
Baik — berikut terjemahan lengkap dari bagian lanjutan tersebut dengan mempertahankan istilah-istilah fikih secara akurat serta dengan gaya terjemahan ilmiah sebagaimana digunakan dalam kajian fiqh muʿāmalāt:
Syaikh Ibn Qudāmah al-Maqdisī menjelaskan bahwa akad-akad terbagi menjadi enam macam, beliau berkata:
Pertama:
Akad lazim (mengikat) yang bertujuan untuk pertukaran (muʿāwaḍah), yaitu akad jual beli dan yang semakna dengannya.
Jenis ini terbagi menjadi dua:
Akad yang dalamnya terdapat dua jenis khiyār, yaitu khiyār majlis dan khiyār syarṭ — contohnya adalah jual beli pada barang yang tidak disyaratkan penyerahan (qabḍ) di majlis akad, juga akad ṣulḥ (perdamaian) yang bermakna jual beli, serta hibah dengan kompensasi (‘iwaḍ) menurut salah satu riwayat, dan ijarah (sewa menyewa) dalam bentuk kewajiban (fi al-dhimmah), seperti seseorang berkata:
“Aku menyewamu untuk menjahitkan pakaian ini bagiku,”
dan semisalnya.
Akad seperti ini ditetapkan padanya hak khiyār, sebab khiyār ditetapkan dalam jual beli, dan akad-akad tersebut termasuk dalam makna jual beli.
Adapun ijarah tertentu (muʿayyanah), maka apabila masa sewanya dimulai sejak akad dilakukan, akad tersebut memiliki khiyār majlis, tetapi tidak memiliki khiyār syarṭ.
Sebab, keberadaan khiyār syarṭ dapat menyebabkan hilangnya sebagian manfaat yang menjadi objek akad, atau pengambilan manfaat tersebut di masa khiyār, dan kedua-duanya tidak diperbolehkan.
Ini merupakan pendapat Imam al-Syāfiʿī.
Sedangkan al-Qāḍī Abū Yaʿlā kadang berpendapat seperti itu, dan kadang mengatakan bahwa ijarah tersebut memiliki dua khiyār (majlis dan syarṭ) dengan qiyās (analogi) terhadap jual beli.
Namun telah kami jelaskan alasan yang menunjukkan perbedaan antara keduanya.
Adapun hak syuf‘ah (pengambilan paksa bagian dari jual beli oleh sekutu), tidak terdapat khiyār di dalamnya, karena pembeli diambil darinya barang yang dibeli secara paksa, sedangkan pemilik hak syuf‘ah (syafī‘) mengambil barang dari tangan pembeli tanpa kerelaannya.
Hal ini menyerupai pembatalan jual beli karena cacat (‘aib) atau sebab semisalnya.
Namun ada kemungkinan bahwa pemilik hak syuf‘ah memiliki khiyār majlis, sebab ia menerima barang dengan imbalannya (tsaman), sehingga menyerupai pembeli.
Jenis kedua: akad yang disyaratkan serah terima (qabḍ) di majlis akad, seperti ṣarf (pertukaran mata uang), salām (jual beli pesanan dengan pembayaran di muka), dan jual beli barang ribawi dengan sesamanya dalam jenis yang sama.
Akad seperti ini tidak dimasuki oleh khiyār syarṭ menurut satu riwayat yang kuat, karena hakikatnya disyariatkan agar tidak tersisa hubungan (‘alaqah) antara keduanya setelah berpisah (tafarruq), sebagaimana ditunjukkan oleh syarat qabḍ.
Adapun menetapkan khiyār syarṭ berarti menyisakan hubungan antara kedua pihak, sehingga bertentangan dengan maksud akad.
Namun, akad-akad seperti ini memiliki khiyār majlis menurut pendapat yang paling sahih dalam mazhab (Hanbali), berdasarkan keumuman hadis dan karena tujuan khiyār majlis adalah memberi kesempatan menimbang maslahat dalam pertukaran (‘iwaḍ), yang memang ada dalam jenis akad ini.
Namun diriwayatkan pula dari Imam Aḥmad, bahwa khiyār tidak berlaku dalam akad seperti ini, karena disamakan (diqiyaskan) dengan khiyār syarṭ.
Jenis kedua:
Akad lazim yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran (‘iwaḍ), seperti nikah dan khuluʿ (tebus cerai).
Dalam kedua akad ini tidak berlaku khiyār, sebab khiyār hanya ditetapkan untuk mengetahui maslahat (ḥaẓẓ) dalam pertukaran harta, sementara di sini ‘iwaḍ bukan tujuan utama.
Demikian pula waqf (wakaf) dan hibah (pemberian tanpa imbalan), serta karena adanya mudarat bila khiyār diterapkan dalam nikah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Jenis ketiga:
Akad yang lazim dari satu pihak dan jā’iz dari pihak lain, seperti rahn (gadai) — ia lazim bagi rāhin (pemberi gadai) dan jā’iz bagi murtahin (penerima gadai).
Dalam akad ini tidak ada khiyār, sebab penerima gadai telah cukup dengan kebolehan (jawāz) pada bagiannya tanpa perlu khiyār lain, dan pemberi gadai pun telah memiliki hak khiyār hingga barang gadaian diserahkan.
Demikian pula ḍāmin (penjamin) dan kafīl (penanggung), keduanya tidak memiliki hak khiyār, karena mereka masuk dalam akad secara sukarela, dan rela menanggung risiko.
Begitu pula mukātab (budak yang menebus dirinya dengan pembayaran bertahap).
Jenis keempat:
Akad yang jā’iz dari kedua belah pihak, seperti syirkah (kerjasama usaha), muḍārabah (bagi hasil usaha), ju‘ālah (pemberian upah atas hasil kerja tertentu), wakālah (perwakilan), wadī‘ah (titipan), dan waṣiyyah (wasiat).
Dalam akad-akad ini tidak berlaku khiyār, karena hak membatalkan akad telah ada sejak asalnya, yakni sifat jawāz yang melekat pada akad tersebut.
Jenis kelima:
Akad yang masih diperselisihkan antara jawāz dan luzūm, seperti musāqāh (bagi hasil pengelolaan kebun) dan muzāra‘ah (bagi hasil pertanian).
Pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa keduanya bersifat jā’iz, sehingga tidak berlaku khiyār di dalamnya.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa keduanya bersifat lazim, maka dalam hal ini ada dua pandangan mengenai berlaku atau tidaknya khiyār.
Adapun sabq (perlombaan kuda) dan ramy (memanah), pendapat yang kuat menyatakan bahwa keduanya termasuk ju‘ālah, maka tidak berlaku khiyār di dalamnya; dan ada pula yang berpendapat keduanya termasuk ijārah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Jenis keenam:
Akad lazim yang dapat dijalankan secara sepihak oleh salah satu pihak, seperti ḥawālah (pengalihan utang) dan pengambilan hak syuf‘ah (as-syuf‘ah).
Dalam akad seperti ini tidak berlaku khiyār, sebab pihak yang tidak dipertimbangkan kerelaannya (riḍā) dalam akad tidak memiliki hak khiyār, dan apabila tidak berlaku pada satu pihak, maka tidak berlaku pula pada pihak lain, sebagaimana halnya akad-akad lainnya.
Namun, ada kemungkinan khiyār dapat berlaku bagi muḥīl (pihak yang mengalihkan utang) dan bagi syafī‘ (pemilik hak syuf‘ah), karena keduanya merupakan akad pertukaran (‘iwaḍ) yang tujuannya sama dengan jual beli, sehingga disamakan hukumnya dengan akad jual beli.
(al-Mughnī, 3/505–506).
Setelah penjelasan ini, maka dapat ditegaskan bahwa akad jual beli sebidang tanah sebagaimana disebut dalam pertanyaan adalah akad lazim (mengikat).
Karena itu, penjual tidak berhak membatalkannya tanpa persetujuan pembeli.
Maka tuntutan penjual untuk menarik kembali tanah tersebut dan mengembalikan harga kepada pembeli adalah tuntutan yang tidak sah secara syar‘i, sebab kaidah umum dalam fikih menyatakan bahwa hukum asal akad adalah lazim (mengikat).
Syaikh Mustafa az-Zarqā berkata:
“Kelaziman (al-luzūm) merupakan konsep mendasar dan sangat penting dalam akad; seandainya tidak ada kelaziman, niscaya akad akan kehilangan keutamaan terbesarnya dalam membangun tatanan muamalah dan kehidupan ekonomi.”
(al-Madkhal al-Fiqhī, 1/444).
Syaikh Ibn Qudāmah al-Maqdisī juga berkata:
“Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jual beli menjadi lazim setelah kedua pihak berpisah (dari majlis akad), selama tidak ada sebab yang membolehkan pembatalan.”
Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ:
“Apabila dua orang telah berjual beli lalu berpisah, dan salah satunya tidak membatalkan jual beli tersebut, maka jual beli itu menjadi wajib (mengikat).”
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī).
Dan sabdanya ﷺ pula:
“Dua orang yang melakukan jual beli memiliki hak khiyār selama mereka belum berpisah.”
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī).
Dalam hadis tersebut Rasulullah ﷺ menjadikan berpisahnya kedua pihak sebagai batas akhir bagi khiyār, dan apa yang datang setelah batas akhir (ghaayah) haruslah berlaku kebalikannya, yaitu keharusan (luzūm).
Kecuali apabila pembeli menemukan cacat (‘aib) pada barang, maka ia boleh mengembalikannya, atau apabila ia mensyaratkan khiyār dalam jangka waktu tertentu, maka ia juga memiliki hak untuk membatalkan akad.
(al-Mughnī, 3/494).
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa akad jual beli adalah akad lazim sangat banyak, di antaranya:
Firman Allah Ta‘ālā:
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad kalian.”
(QS. al-Mā’idah: 1)
Allah memerintahkan untuk menunaikan akad, sedangkan akad jual beli tidak dianggap telah ditunaikan kecuali dengan terwujudnya tujuannya, yaitu tetapnya kepemilikan (al-milk) dan keharusannya (luzūm).
Firman Allah Ta‘ālā:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan yang dilakukan atas dasar saling ridha di antara kalian.”
(QS. an-Nisā’: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehalalan harta dalam perdagangan bergantung pada adanya kerelaan (tarāḍī), sehingga ketika kerelaan telah terjadi, maka akad menjadi lazim, karena syara‘ telah menetapkan akibat (atsar) dari akad tersebut, yaitu bolehnya melakukan tasharruf (penggunaan) atas objek akad, dan tasharruf itu merupakan konsekuensi dari luzūm.
Adapun kaidah umum: “Sebab (asbāb) pasti diikuti akibatnya (musabbabāt).”
Firman Allah Ta‘ālā:
“Dan persaksikanlah apabila kalian melakukan jual beli.”
(QS. al-Baqarah: 282)
Allah memerintahkan pencatatan dan penyaksian sebagai bentuk peneguhan akad, dan apabila akad tidak lazim, maka tidak diperlukan peneguhan seperti itu, karena ketidaklaziman menghapus makna dokumentasi (tawthīq).
Hadis dari Ḥakīm bin Ḥizām ra., bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyār selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan barang), maka akan diberkahi jual beli mereka; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat), maka keberkahan jual beli mereka akan dihapus.”
(Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).
Dalam hadis ini, Nabi ﷺ menetapkan hak khiyār bagi kedua pihak sebelum berpisah, dan apabila telah berpisah, maka khiyār gugur dan jual beli menjadi lazim.
Ini menunjukkan bahwa akad jual beli adalah akad lazim.
Hadis dari Ibn ʿUmar ra., ia berkata:
“Diceritakan kepada Rasulullah ﷺ tentang seseorang yang tertipu dalam jual beli. Maka beliau bersabda: ‘Jika engkau melakukan jual beli, ucapkanlah: لا خلابة (lā khilābah)’.”
(Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).
Imam ash-Shawkānī berkata:
“Lafaz lā khilābah (dengan kasrah pada huruf kha dan ringan pada lam) berarti ‘tidak ada penipuan’.
Para ulama mengatakan: Nabi ﷺ mengajarkan lafaz ini kepadanya agar ia mengucapkannya ketika bertransaksi, sehingga lawan transaksi mengetahui bahwa ia bukan termasuk orang yang ahli dalam mengenal barang dan harganya, dan karenanya ia harus diperlakukan dengan keadilan.
Maksudnya, apabila kemudian ia mendapati adanya penipuan harga (ghabn), maka ia berhak mengembalikan barang dan mengambil kembali uangnya.”
(Nayl al-Awṭār, 5/207).
Petunjuk dari hadis ini adalah bahwa seandainya jual beli bukan akad lazim, niscaya tidak perlu Rasulullah ﷺ menuntunnya untuk mensyaratkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa akad jual beli memang akad lazim.
Dan telah disebutkan oleh sejumlah ulama seperti Ibn Qudāmah al-Maqdisī dan Ibn Rushd al-Ḥafīd, bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa akad jual beli adalah akad lazim.
(Lihat al-Mughnī 3/483, Bidāyat al-Mujtahid 2/170, dan al-Ḥawāfiz at-Tijāriyyah at-Taswīqiyyah, hlm. 245–247).
Kesimpulannya:
Bahwa akad jual beli merupakan akad lazim (mengikat), artinya tidak ada salah satu pihak yang berhak membatalkannya kecuali dengan persetujuan pihak lain.
Maka apabila jual beli telah sah dan bebas dari syarat khiyār, akad tersebut menjadi lazim, dan tidak diperbolehkan bagi salah satu pihak untuk membatalkannya kecuali atas kerelaan pihak lainnya. Selesai
Faedah tambahan:
Akad Lazim dan Akad Jaiz
Akad yang lazim (mengikat) adalah akad yang tidak dapat dibatalkan kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, seperti akad jual beli (al-bay‘) dan sewa-menyewa (al-ijārah).
Sedangkan akad yang jaiz (boleh dibatalkan sepihak) adalah akad yang boleh dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa memerlukan kerelaan pihak lain, seperti akad syirkah (perkongsian usaha).
Adapun akad ju‘ālah (pemberian imbalan atas suatu pekerjaan dengan hasil tertentu), terdapat perincian dan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai statusnya — apakah termasuk akad lazim atau jaiz.
Dalam al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah (15/211) dijelaskan:
“Apakah akad ju‘ālah sebelum selesainya pekerjaan bersifat mengikat (lazim)?”
Mazhab Syafi‘iyyah dan Hanabilah — dan ini juga pendapat yang rajih (kuat) di kalangan Malikiyyah — menyatakan bahwa akad ju‘ālah belum bersifat lazim bagi kedua pihak sebelum pekerja memulai pekerjaan.
Artinya, masing-masing pihak boleh menarik diri tanpa ada konsekuensi hukum, karena:
Dari sisi pemberi imbalan (al-jā‘il), hak pekerja untuk menerima imbalan itu masih tergantung pada syarat (yaitu selesainya pekerjaan).
Dari sisi pekerja, pekerjaan yang diminta sifatnya belum jelas (majhūl), dan sesuatu yang belum jelas tidak dapat menjadi akad yang mengikat.
Namun, ada pendapat lain dari kalangan Malikiyyah yang menyatakan bahwa akad ju‘ālah adalah akad lazim bagi kedua pihak sejak awal, seperti akad sewa.
Ada pula pendapat di kalangan mereka yang mengatakan bahwa akad itu hanya mengikat bagi pemberi imbalan saja, bukan bagi pekerja.
Apabila pekerja telah memulai pekerjaan yang dijanjikan imbalannya tetapi belum menyelesaikannya, maka:
Menurut Syafi‘iyyah dan Hanabilah, akad ini tetap tidak mengikat bagi kedua pihak, sebagaimana sebelum pekerjaan dimulai.
Namun menurut Malikiyyah, akad tersebut menjadi mengikat bagi pemberi imbalan (al-jā‘il) — ia tidak boleh membatalkan akadnya, karena hal itu dapat merugikan pekerja yang sudah mulai berusaha.
Meskipun pekerjaan yang dilakukan baru sedikit atau belum berarti, akad tetap mengikat bagi pemberi imbalan.
Dan dalam al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah (15/218) disebutkan:
“Para ulama yang membolehkan akad ju‘ālah sepakat bahwa setelah pekerjaan selesai, akad ju‘ālah menjadi lazim (mengikat). Karena setelah pekerjaan selesai, tidak ada lagi pengaruh dari pembatalan akad oleh pemberi imbalan maupun berhentinya pekerja — sebab imbalan telah menjadi hak tetap bagi pekerja.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa status hukum ju‘ālah adalah sebagai berikut:
Setelah pekerjaan selesai – akad ju‘ālah menjadi lazim (mengikat) berdasarkan kesepakatan ulama.
Sebelum pekerja memulai pekerjaan – ju‘ālah tidak bersifat lazim menurut jumhur ulama.
Jika pekerja telah memulai pekerjaan – maka akad ju‘ālah bersifat lazim bagi pemberi imbalan (menurut Malikiyyah), namun tidak bagi pekerja.
Apabila kedua pihak sepakat menentukan batas waktu tertentu, misalnya:
“Siapa yang mengembalikan barangku yang hilang hingga akhir bulan Ramadan, akan mendapat satu dinar,”
maka menurut Malikiyyah dan Syafi‘iyyah, akad tersebut tidak sah, karena adanya pembatasan waktu membuat akad tidak sesuai dengan sifat asal ju‘ālah.
Namun Malikiyyah memberikan pengecualian: jika disyaratkan bahwa pekerja boleh menghentikan pekerjaannya kapan saja, maka akad tetap sah, karena sifat ju‘ālah tetap tidak mengikat bagi pekerja.
(Lihat al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah 15/215)
Dari sini dapat diketahui bahwa mensyaratkan keharusan (lazim) pada pihak pekerja dalam ju‘ālah — baik sebelum atau saat pekerjaan berlangsung — akan merusak akad ju‘ālah itu sendiri.
Akad syirkah (perkongsian) termasuk akad jaiz, sehingga apabila dalam akad tersebut disyaratkan bahwa ia tidak boleh dibatalkan (lazim), maka syarat itu batal menurut jumhur ulama, karena bertentangan dengan hakikat akadnya.
Namun para ulama berbeda pendapat, apakah pembatalan syarat itu juga membatalkan akadnya?
Menurut Malikiyyah dan Syafi‘iyyah, akadnya menjadi rusak (fasid) karena syarat tersebut mengubah sifat asal akad.
Sedangkan Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad tetap sah, tetapi syaratnya batal — karena syarat itu hanya tambahan yang tidak mempengaruhi pokok akad.
Sebagai contoh, al-Syalabī dalam Hāsyiyah ‘alā Tabyīn al-Ḥaqā’iq (5/56) berkata:
“Akad muḍārabah (bagi hasil) tidak batal karena syarat-syarat yang rusak, seperti jika disyaratkan agar akad itu mengikat (lazim), karena hal itu tidak menimbulkan ketidakjelasan pada keuntungan. Tetapi jika disyaratkan sesuatu yang membuat keuntungan menjadi tidak jelas, maka akad menjadi batal.”
Al-Mardāwī dalam al-Inṣāf (5/423) menjelaskan bahwa:
“Segala hal yang menyebabkan ketidakjelasan pada pembagian keuntungan akan membatalkan akad muḍārabah... dan termasuk di dalamnya adalah syarat yang bertentangan dengan hakikat akad, seperti mensyaratkan agar muḍārabah itu lazim atau tidak dapat dibatalkan dalam jangka waktu tertentu.”
Jadi, menurut Hanabilah dan Hanafiyyah, jika seseorang mensyaratkan agar akad muḍārabah (atau syirkah) bersifat mengikat, maka akadnya tetap sah, tetapi syaratnya batal.
Menurut ulama Malikiyyah, sebagaimana disebutkan oleh al-Khurasyi:
“Akad qirādh (muḍārabah) menjadi rusak jika dibatasi dengan waktu tertentu, karena akad ini bersifat tidak mengikat dan merupakan bentuk keringanan (rukhsah). Masing-masing pihak berhak membatalkannya kapan pun. Maka jika dibatasi waktu tertentu, itu berarti menghilangkan sifat asalnya.”
(Syarḥ al-Khurashī ‘alā Khalīl, 6/206)
Sedangkan menurut mazhab Syafi‘i, sebagaimana disebutkan oleh al-Māwardī:
“Tidak boleh akad qirādh dibatasi dengan masa tertentu, karena ia termasuk akad jaiz, bukan akad lazim. Maka jika ditentukan waktu yang membuatnya menjadi mengikat, akad tersebut batal.”
(al-Ḥāwī al-Kabīr, 7/311)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa menurut Malikiyyah dan Syafi‘iyyah, akad syirkah menjadi batal jika disyaratkan bersifat lazim (tidak boleh dibatalkan).
Berdasarkan pendapat empat mazhab besar, tidak boleh mensyaratkan agar akad syirkah bersifat lazim, karena itu bertentangan dengan hakikat asal akadnya.
Namun, Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah berpendapat lebih longgar:
Beliau membolehkan mensyaratkan sesuatu yang menyelisihi konsep akad yang umum (muthlaq), selama tidak bertentangan dengan syariat, tidak menyalahi tujuan utama akad, dan ada manfaat bagi kedua belah pihak.
Beliau berkata (al-Fatāwā al-Kubrā, 4/94):
“Apabila suatu syarat bertentangan dengan tujuan akad, maka akad menjadi batal; dan apabila bertentangan dengan tujuan syariat, maka hukumnya haram.
Adapun jika syarat tersebut tidak termasuk keduanya — tidak bertentangan dengan tujuan akad maupun syariat — maka tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Karena manusia biasanya tidak membuat syarat tanpa kebutuhan; selama tidak ada dalil yang melarang, maka asalnya boleh.”
Dan dalam (4/82) beliau berkata:
“Jika dikatakan bahwa suatu syarat bertentangan dengan maksud akad, maka harus ditanyakan: apakah bertentangan dengan maksud akad mutlak atau dengan maksud akad secara umum?
Jika yang dimaksud pertama, maka semua syarat akan demikian.
Tetapi jika yang dimaksud kedua, maka tidak semua syarat demikian.
Yang dilarang hanyalah syarat yang bertentangan dengan tujuan akad, seperti mensyaratkan talak dalam nikah, atau mensyaratkan pembatalan dalam jual beli.
Adapun syarat yang mendukung tujuan akad, maka tidak termasuk larangan.”
Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Ibn ‘Utsaimin, yang berkata dalam Syarḥ al-Mumti‘ (12/163):
“Ketahuilah bahwa hukum asal semua syarat dalam akad adalah sah, sampai ada dalil yang melarang. Dalilnya adalah ayat umum:
‘Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu’ (QS. al-Mā’idah: 1),
dan sabda Nabi ﷺ: ‘Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.’
Maka hukum asal dari semua syarat adalah halal dan sah, baik dalam nikah, jual beli, sewa, gadai, maupun wakaf.
Dan apabila syarat itu sah, maka wajib dipenuhi, karena termasuk bagian dari akad yang harus ditaati.”
Menurut pandangan Ibn Taymiyyah dan Ibn ‘Utsaimin, boleh mensyaratkan agar akad syirkah bersifat lazim (misalnya dengan batas waktu tertentu), selama tidak ada unsur yang bertentangan dengan syariat atau tujuan akad. Maka boleh ditentukan, misalnya:
“Kita berserikat selama satu tahun, dan tidak boleh salah satu pihak keluar sebelum waktu itu berakhir.”
Namun untuk akad ju‘ālah, tidak boleh dibuat mengikat bagi pekerja, karena sifat pekerjaannya tidak pasti dan hanya berhak mendapat imbalan setelah pekerjaan selesai. Jika ingin dibuat dengan jangka waktu tertentu dan imbalan tetap di akhir masa, maka akad itu berubah menjadi ijarah (sewa tenaga), yang memang bersifat lazim.
Sebagaimana dikatakan oleh al-Dardir dalam Syarḥ al-Kabīr (4/63):
“Penetapan batas waktu dalam ju‘ālah dapat menimbulkan gharar (ketidakpastian), karena pekerja hanya berhak menerima imbalan setelah pekerjaan selesai. Jika waktu berakhir sebelum pekerjaan selesai, maka pekerja kehilangan haknya.
Namun jika disyaratkan bahwa ia berhak atas imbalan di akhir waktu, baik pekerjaannya selesai atau tidak, maka akad tersebut sah, tetapi berubah menjadi akad ijarah, bukan lagi ju‘ālah.”
Jika seseorang menerima imbalan karena setuju untuk menjadikan akad syirkah bersifat lazim (misalnya dibayar agar mau menandatangani syarat itu), maka hal ini tidak sah, karena bukan salah satu sebab yang dibenarkan untuk memperoleh harta dalam syariat.
Sebab-sebab yang sah hanyalah:
Melalui pekerjaan (ijarah),
Melalui harta (jual beli atau hak milik yang sah),
Melalui ganti rugi atas kerugian badan (diyat).
Maka kesimpulannya:
Pihak yang diajak berserikat boleh menerima syarat lazim secara cuma-cuma, atau menolak, namun tidak boleh menerima imbalan uang hanya karena menyetujui syarat tersebut.
Wallāhu a‘lam.
1. Hukum Asal Asuransi Konvensional
Secara garis besar, asuransi konvensional hukumnya haram karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), riba (bunga), dan maisir (judi).
Pengecualian: Asuransi menjadi tidak berdosa jika sifatnya dipaksakan (misalnya oleh aturan negara atau tempat bekerja) atau jika diberikan secara gratis (hibah) karena statusnya adalah pemberian.
2. Konsep Asuransi Syariah yang Benar
Agar asuransi menjadi halal, konsep dasarnya harus diubah dari muawadhah (tukar-menukar/jual beli) menjadi tabarru' (sosial/hibah) dan ta'awun (tolong-menolong).
•Akad Hibah: Peserta memberikan uang sebagai sumbangan (hibah) untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, bukan untuk membeli proteksi komersial.
•Peran Perusahaan: Perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai pengelola (wakalah) yang menerima upah (ujrah/fee) atas jasa mengelola dana, bukan mengambil keuntungan dari polis asuransi itu sendiri.
•Pengelolaan Dana:
Jika terjadi Surplus (dana sisa): Dana tersebut tetap milik kumpulan peserta (dana tabarru'), bukan menjadi keuntungan perusahaan. Dana bisa dikembalikan ke peserta, disimpan untuk cadangan, atau diinvestasikan secara syariah.
oJika terjadi Defisit (kurang dana): Risiko ditanggung bersama. Peserta mungkin diminta iuran tambahan sukarela, atau manfaat klaim dikurangi sesuai dana yang ada (prorata). Perusahaan pengelola tidak boleh menanggung kerugian dengan meminjamkan dana talangan yang harus dibayar kembali dengan bunga (riba).
3. Kritik Praktik di Lapangan
• Perlu berhati-hati karena banyak produk berlabel "Asuransi Syariah" namun praktiknya masih mirip konvensional (sekadar ganti nama).
•Salah satu titik kritisnya adalah pada pengelolaan surplus dan defisit. Jika perusahaan mengambil surplus sebagai milik mereka atau menanggung risiko sendiri (transfer of risk), maka itu kembali menjadi asuransi komersial yang haram.
• Dalam asuransi syariah yang murni, perusahaan tidak boleh mengambil untung dari dana tabarru', keuntungan mereka murni hanya dari fee pengelolaan atau bagi hasil investasi.
4. Dalil Pendukung (Kisah Suku Al-Asy'ari)
•Konsep tolong-menolong ini didasarkan pada hadis tentang suku Al-Asy'ari. Ketika mereka kekurangan makanan atau dalam perang, mereka mengumpulkan semua makanan yang dimiliki dalam satu kain, lalu membaginya rata. Rasulullah memuji perbuatan ini sebagai bentuk ta'awun (tolong-menolong), meskipun ada ketidakjelasan (gharar) dalam jumlah yang dikumpulkan vs yang diterima, hal itu dimaafkan karena akadnya sosial, bukan komersial.
Kesimpulan:
Asuransi bisa menjadi halal jika akadnya benar-benar tolong-menolong antar peserta (sharing risk) dan perusahaan hanya sebagai pengelola administratif. Namun, jika perusahaan bertindak sebagai penjamin risiko demi keuntungan (transfer risk), maka hukumnya kembali haram seperti asuransi konvensional.
Kesalahan Para Ulama dan Bagaimana Salaf Menghadapinya
Oleh: Ust. Brian Muntaqo Lc,.M.A
قال سعيد بن المسيب (93هـ):
"ليس من عالم ولا شريف ولا ذي فضل إلاَّ وفيه عيب، ولكن مَن كان فضلُه أكثرَ من نقصه ذهب نقصه لفضله، كما أنَّه من غلب عليه نقصانه ذهب فضله.
وقال غيره: لا يسلم العالم من الخطأ، فمَن أخطأ قليلاً وأصاب كثيراً فهو عالم، ومن أصاب قليلاً وأخطأ كثيراً فهو جاهل".
جامع بيان العلم وفضله لابن عبد البر (2/48)
Terjemahan:
Tidaklah seorang alim, orang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan kecuali pasti memiliki kekurangan. Namun barang siapa kebaikannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya tertutupi oleh keutamaannya. Sebaliknya, siapa yang kekurangannya lebih banyak, maka hilanglah keutamaannya.
Dikatakan pula: Tidak ada ulama yang terbebas dari kesalahan. Siapa yang kesalahannya sedikit dan benarnya banyak, dialah seorang alim. Adapun yang benarnya sedikit dan salahnya banyak, dialah orang jahil.
وقال عبد الله بن المبارك (181هـ):
"إذا غلبت محاسنُ الرَّجل على مساوئه لَم تُذكر المساوئ، وإذا غلبت المساوئُ على المحاسن لَم تُذكر المحاسن".
سير أعلام النبلاء (8/352)
Terjemahan:
Jika keutamaan seseorang lebih dominan daripada kekurangannya, maka kekurangannya tidak disebut-sebut. Tetapi jika kekurangannya lebih dominan daripada keutamaannya, maka keutamaannya tidak disebut-sebut.
---
وقال الإمام أحمد (241هـ):
"لَم يعبر الجسر من خراسان مثل إسحاق (يعني ابن راهويه)، وإن كان يخالفنا في أشياء؛ فإن الناس لم يزل يخالف بعضهم بعضاً".
سير أعلام النبلاء (11/371)
Terjemahan:
Tidak ada orang dari Khurasan yang seperti Ishaq Ibn Rahawaih, meskipun ia menyelisihi kami dalam beberapa perkara. Karena manusia itu senantiasa saling berbeda pendapat.
---
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية (728هـ):
(( ومِمَّا ينبغي أن يُعرف أن الطوائفَ المنتسبة إلى متبوعين في أصول الدِّين والكلام على درجات، منهم مَن يكون قد خالف السنَّةَ في أصول عظيمة، ومنهم مَن يكون إنَّما خالف السنَّةَ في أمور دقيقة.
وَمن يكون قد رد على غيره من الطوائف الذين هم أبعدُ عن السنَّة منه، فيكون محموداً فيما ردَّه من الباطل وقاله من الحقِّ، لكن يكون قد جاوز العدل في ردِّه بحيث جحد بعضَ الحقِّ وقال بعضَ الباطل، فيكون قد ردَّ بدعةً كبيرة ببدعة أخفَّ منها، ورد باطلاً بباطل أخفَّ منه، وهذه حالُ أكثر أهل الكلام المنتسبين إلى السنَّة والجماعة.
ومثل هؤلاء إذا لَم يَجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعةَ المسلمين يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه وتعالى يغفر للمؤمنين خطأَهم في مثل ذلك.
ولهذا وقع في مثل هذا كثيرٌ من سلف الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد وهي تخالف ما ثبت في الكتاب والسنة، بخلاف مَن والى موافقَه وعادى مخالفَه، وفرَّق بين جماعة المسلمين، وكفَّر وفسَّق مخالفَه دون موافقه في مسائل الآراء والاجتهادات، واستحلَّ قتال مخالفه دون موافقه، فهؤلاء من أهل التفرق والاختلافات )). مجموع الفتاوى (3/348 ـ 349).
Terjemahan
Dan termasuk perkara yang wajib diketahui adalah bahwa kelompok-kelompok yang mengikuti seorang tokoh dalam masalah pokok agama dan ilmu kalam itu bertingkat-tingkat.
Di antara mereka ada yang menyelisihi Sunnah dalam pokok-pokok yang besar.
Ada pula yang menyelisihinya hanya dalam perkara-perkara yang halus.
Dan di antara mereka ada yang membantah kelompok lain yang lebih jauh dari Sunnah dibanding dirinya. Maka ia terpuji dalam hal bantahannya terhadap kebatilan dan dalam kebenaran yang ia ucapkan. Namun terkadang ia melampaui batas keadilan dalam bantahannya itu, sehingga ia menolak sebagian kebenaran dan mengucapkan sebagian kebatilan.
Maka ia pun telah membantah bid’ah yang lebih besar dengan bid’ah yang lebih ringan, dan membantah kebatilan yang lebih besar dengan kebatilan yang lebih ringan. Inilah kondisi kebanyakan ahli kalam yang mengaku mengikuti Sunnah dan Jama’ah.
Dan orang-orang seperti ini—selama mereka tidak menjadikan bid’ah yang mereka lakukan sebagai prinsip yang dengannya mereka memisahkan diri dari jamaah kaum Muslimin, serta tidak menjadikannya asas loyalitas dan permusuhan—maka kesalahan tersebut termasuk jenis kesalahan yang (diharapkan) dimaafkan. Dan Allah Subhānahu wa Ta‘ālā mengampuni kesalahan orang-orang beriman dalam perkara-perkara seperti ini.
Oleh karena itu, banyak dari kalangan salaf umat ini dan para imamnya yang pernah mengatakan pendapat tertentu berdasarkan ijtihad mereka, namun pendapat itu ternyata menyelisihi dalil yang shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka tidak menyadarinya.
Adapun orang yang menjadikan kesepakatan pendapat dengan dirinya sebagai asas loyalitas dan permusuhan, lalu ia memecah belah kaum Muslimin, mengkafirkan atau memfasikkan orang yang menyelisihinya dalam masalah pendapat dan ijtihad, serta menghalalkan memerangi yang menyelisihinya namun tidak memerangi yang setuju dengannya—maka merekalah ahli perpecahan dan perselisihan. Selesai.
Beliau berkata:
وقال (19/191 ـ 192): (( وكثيرٌ من مجتهدي السلف والخلف قد قالوا وفعلوا ما هو بدعة ولم يعلموا أنَّه بدعة، إمَّا لأحاديث ضعيفة ظنُّوها صحيحة، وإمَّا لآيات فهموا منها ما لَم يُرَد منها، وإمَّا لرأي رأوه وفي المسألة نصوص لم تبلغهم،"
وقال (19/191–192):
> “Dan banyak dari para mujtahid baik dari kalangan salaf maupun khalaf, mereka telah mengatakan dan melakukan suatu perkara yang ternyata merupakan bid‘ah, sementara mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah bid‘ah. Hal tersebut terjadi karena:
– adanya hadis-hadis lemah yang mereka sangka sahih,
– atau ayat-ayat yang mereka pahami dengan pemahaman yang tidak dimaksudkan darinya,
– atau karena suatu pendapat yang mereka ijtihadkan dalam suatu masalah, padahal dalil-dalil yang jelas tentang masalah tersebut belum sampai kepada mereka.”
Beliau menjelaskan bahwa kelompok-kelompok yang mengikuti tokoh tertentu dalam aqidah dan pemikiran berbeda tingkatannya. Ada yang menyelisihi sunnah dalam pokok besar, dan ada yang dalam perkara rinci. Sebagian dari mereka membantah kelompok lain yang lebih jauh dari sunnah. Maka bantahannya sekaligus mengandung kebenaran dan kesalahan. Bisa jadi ia membantah bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih ringan.
Beliau menegaskan:
Jika seseorang tidak menjadikan pendapatnya sebagai dasar loyalitas dan permusuhan (wala’ dan bara’), maka kesalahannya itu termasuk kesalahan yang diampuni. Dan banyak dari para salaf yang berijtihad lalu mengatakan sesuatu yang ternyata menyelisihi dalil tanpa mereka sadari.
Majmu’ al-Fatawa (3/348-349)
---
وقال الإمام الذهبي (748هـ):
(( ثم إن الكبير من أئمَّة العلم إذا كثر صوابُه، وعُلم تحرِّيه للحقِّ، واتَّسع علمه، وظهر ذكاؤه، وعُرف صلاحُه وورعه واتِّباعه، يُغفر له زلَله، ولا نضلِّله ونطرحه، وننسى محاسنه، نعم! ولا نقتدي به في بدعته وخطئه، ونرجو له التوبة من ذلك )). سير أعلام النبلاء (5/271).
وقال أيضاً: (( ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة )). السير (14/39 ـ 40).
وقال أيضاً: (( ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه )). السير (14/376).
وقال أيضاً: (( ونحبُّ السنَّة وأهلها، ونحبُّ العالم على ما فيه من الاتِّباع والصفات الحميدة، ولا نحبُّ ما ابتدع فيه بتأويل سائغ، وإنَّما العبرة بكثرة المحاسن )). السير (20/46).
---
Kemudian, imam besar di antara para ulama, jika kebanyakan perkataannya benar, diketahui ketelitiannya dalam menegakkan kebenaran, luas ilmunya, cerdas, dikenal ketaatannya, keshalihannya, dan pengikutannya, maka kesalahannya diampuni, dan kita tidak menyesatkannya, menolaknya, atau melupakan kebaikannya. Benar! Namun, kita tidak meneladani dia dalam bid’ah dan kesalahannya, dan kita berharap dia bertobat dari itu.
(Siyar A‘lam an-Nubala’ 5/271)
Dan beliau juga berkata:
“Seandainya setiap kali seorang imam berbuat salah dalam ijtihadnya pada satu masalah tertentu, lalu kita menentangnya, menganggapnya bid’ah, dan meninggalkannya, maka tidak seorang pun dari mereka — baik Ibnu Nasr, Ibnu Mundah, maupun yang lebih besar dari mereka — akan selamat bersama kita. Allah-lah yang menuntun makhluk kepada kebenaran, dan Dia Maha Penyayang, maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan kekerasan.”
(Siyar 14/39–40)
Dan beliau juga berkata:
“Seandainya setiap orang yang berijtihad — dengan keimanan yang sahih dan usahanya mengikuti kebenaran — kita abaikan, anggap bid’ah, maka sedikitlah imam yang selamat bersama kita. Semoga Allah merahmati semua orang dengan karunia dan kebaikan-Nya.”
(Siyar 14/376)
Dan beliau juga berkata:
“Kita mencintai Sunnah dan para pengikutnya, kita mencintai ulama karena ketaatan dan sifat-sifat terpuji mereka, dan kita tidak mencintai apa yang mereka bid’ahkan dengan penafsiran yang dapat diterima. Yang menjadi ukuran adalah banyaknya kebaikan mereka.”
(Siyar 20/46)
---
وقال ابن القيم (751هـ):
وقال ابن القيم (751هـ): (( معرفة فضل أئمة الإسلام ومقاديرهم وحقوقهم ومراتبهم وأنَّ فضلَهم وعلمَهم ونصحهم لله ورسوله لا يوجب قبول كلِّ ما قالوه، وما وقع في فتاويهم من المسائل التي خفي عليهم فيها ما جاء به الرسول، فقالوا بمبلغ علمهم والحقُّ في خلافها، لا يوجب اطِّراح أقوالهم جملة، وتنقصهم والوقيعة فيهم، فهذان طرفان جائران عن القصد، وقصد السبيل بينهما، فلا نؤثم ولا نعصم )) إلى أن قال: (( ومن له علم بالشرع والواقع يعلم قطعاً أنَّ الرَّجلَ الجليل الذي له في الإسلام قدَم صالح وآثار حسنة، وهو من الإسلام وأهله بمكان قد تكون منه الهفوة والزلَّة هو فيها معذور، بل ومأجور لاجتهاده، فلا يجوز أن يُتبع فيها، ولا يجوز أن تُهدر مكانته وإمامته ومنزلته من قلوب المسلمين )). إعلام الموقعين (3/295).
Dan Ibnul Qayyim (751 H) berkata:
“Mengetahui keutamaan para imam Islam, kedudukan mereka, hak-hak mereka, dan derajat mereka, serta bahwa keutamaan, ilmu, dan nasihat mereka karena Allah dan Rasul-Nya, tidak berarti harus menerima semua yang mereka katakan. Apa yang terjadi dalam fatwa-fatwa mereka tentang masalah-masalah yang tidak mereka ketahui sepenuhnya sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasul, lalu mereka berpendapat menurut kadar ilmu mereka sementara kebenaran berbeda, tidak berarti seluruh perkataan mereka harus ditolak atau dicela, karena kedua sikap itu — menolak seluruhnya atau merendahkan mereka — adalah sikap yang menyimpang dari tujuan yang benar. Jalan tengah di antara keduanya adalah yang tepat, sehingga kita tidak berdosa dan tidak menganggap mereka maksum.”
Ibnul Qayyim melanjutkan:
“Dan siapa pun yang memiliki ilmu tentang syariat dan realitas, dia pasti mengetahui bahwa seorang lelaki agung yang memiliki kedudukan mulia dalam Islam, dan meninggalkan jejak serta amal shalih, serta termasuk dalam umat Islam dan para ahlinya, jika terdapat kekhilafan atau kesalahan dalam beberapa hal, dia tetap dimaklumi dan bahkan diberi pahala atas ijtihadnya. Maka tidak boleh dia diikuti dalam kekhilafannya, tetapi juga tidak boleh martabat, kepemimpinan, dan posisinya di hati umat Islam direndahkan atau dihapus.”
(I‘lam al-Muwaqqi‘in 3/295)
Beliau berpendapat bahwa Mengetahui keutamaan para imam Islam tidak berarti menerima seluruh pendapat mereka. Jika mereka keliru dalam sebagian fatwa, maka itu tidak membuat kita menolak dan merendahkan mereka. Karena yang lurus adalah tidak menganggap mereka maksum, dan juga tidak menjelekkan mereka.
إعلام الموقعين (3/295)
---
وقال ابن رجب (795هـ):
"ويأبى الله العصمة لكتاب غير كتابه، والمنصف من اغتفر قليل خطأ المرء في كثير من صوابه".
القواعد (ص 3)
Terjemahan:
Allah tidak memberi sifat tidak pernah salah (ma’shum) pada kitab selain kitab-Nya. Maka orang yang adil adalah orang yang memaafkan sedikit kesalahan seseorang karena banyaknya kebenaran yang ia bawa.
---
Syekhul Islam Ibn Taimiyah dalam Majmu‘ al-Fatawa (3/413–414) berbicara mengenai Yazid bin Mu‘awiyah:
(( والصواب هو ما عليه الأئمَّة، من أنَّه لا يُخَصُّ بمحبة ولا يلعن، ومع هذا فإن كان فاسقاً أو ظالماً فالله يغفر للفاسق والظالم، لا سيما إذا أتى بحسنات عظيمة، وقد روى البخاري في صحيحه عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنَّ النَّبيَّ * قال: (أوَّل جيش يغزو القسطنطينيَّة مغفورٌ له)، وأول جيش غزاها كان أميرهم يزيد بن معاوية، وكان معه أبو أيوب الأنصاري ...
فالواجب الاقتصاد في ذلك، والإعراض عن ذكر يزيد بن معاوية وامتحان المسلمين به؛ فإنَّ هذا من البدع المخالفة لأهل السنَّة والجماعة )).
“Yang benar adalah apa yang disepakati oleh para imam, yaitu bahwa seseorang tidak khusus dicintai atau dicela karena hal itu. Dan meskipun seseorang fasik atau zalim, Allah tetap mengampuni orang fasik dan zalim, terutama jika dia melakukan amal-amal baik yang besar. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi ﷺ bersabda: ‘Pasukan pertama yang menaklukkan Konstantinopel diampuni dosa-dosanya’, dan pasukan pertama itu dipimpin oleh Yazid bin Mu‘awiyah, yang bersama mereka ada Abu Ayyub Al-Ansari…
Oleh karena itu, yang wajib adalah bersikap sederhana dalam hal ini, tidak menyinggung nama Yazid bin Mu‘awiyah, dan tidak menguji umat Islam dengannya; karena hal semacam ini termasuk bid’ah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah dan Jamaah.”
(3/415) Ibn Taimiyah juga berkata:
: (( وكذلك التفريق بين الأمَّة وامتحانها بما لم يأمر الله به ولا رسوله * )).
“Demikian pula memecah-belah umat dan mengujinya dengan sesuatu yang tidak diperintahkan Allah atau Rasul-Nya.”
(20/164) Dan beliau menegaskan:
(( وليس لأحد أن ينصب للأمَّة شخصاً يدعو إلى طريقته، ويُوالي ويُعادي عليها غير النَّبيِّ *، ولا ينصب لهم كلاماً يوالي عليه ويُعادي غير كلام الله ورسوله وما اجتمعت عليه الأمَّة، بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصاً أو كلاماً يفرِّقون به بين الأمة، يوالون به على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويُعادون )).
“Tidak seorang pun berhak menunjuk seseorang bagi umat untuk mengajak mengikuti jalannya, atau membela dan memusuhi atas dasar selain Rasul ﷺ, dan tidak pula menetapkan perkataan tertentu untuk mereka yang harus dibela atau dibenci, selain perkataan Allah, Rasul-Nya, dan apa yang disepakati oleh umat. Hal semacam ini adalah perbuatan ahli bid’ah yang menunjuk seseorang atau perkataan untuk memecah-belah umat, sehingga ada yang mereka bela dan ada yang mereka musuhi.”
(28/15–16) Beliau menambahkan:
(( فإذا كان المعلم أو الأستاذ قد أمر بهجر شخص أو بإهداره وإسقاطه وإبعاده ونحو ذلك نظر فيه: فإن كان قد فعل ذنباً شرعيًّا عوقب بقدر ذنبه بلا زيادة، وإن لم يكن أذنب ذنباً شرعيًّا لم يجز أن يُعاقب بشيء لأجل غرض المعلم أو غيره. وليس للمعلمين أن يحزبوا الناس ويفعلوا ما يلقي بينهم العداوة والبغضاء، بل يكونون مثل الإخوة المتعاونين على البرِّ والتقوى، كما قال الله تعالى: { وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ و العدوان ))،
“Jika seorang guru atau pengajar memerintahkan untuk menjauhi seseorang, menghina, meniadakan, atau menyingkirkan seseorang, maka hal itu perlu ditinjau. Jika orang itu melakukan dosa syar’i, ia dihukum sesuai dengan dosanya tanpa tambahan. Jika tidak melakukan dosa syar’i, tidak boleh dihukum demi tujuan guru atau orang lain. Para pengajar tidak boleh memecah-belah manusia dan menimbulkan permusuhan; seharusnya mereka seperti saudara yang bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana Allah berfirman: ‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.’”
Abu Qallabah ‘Abdullah bin Zaid Al-Jurmi, sebagaimana dalam Al-Hilyah (2/285), berkata:
(( إذا بلغك عن أخيك شيء تكرهه فالتمس له العذر جهدك؛ فإن لم تجد له عذراً فقل في نفسك: لعلَّ لأخي عذراً لا أعلمه ))
“Jika sampai kepadamu sesuatu tentang saudaramu yang kamu tidak suka, maka carilah alasannya sekuat tenaga; jika tidak menemukan alasannya, katakan dalam hatimu: mungkin saudaraku memiliki alasan yang tidak aku ketahui.”
Sufyan bin Husain berkata:
( ذكرت رجلاً بسوء عند إياس بن معاوية، فنظر في وجهي، وقال: أغزوتَ الرومَ؟ قلت: لا، قال: فالسِّند والهند والترك؟ قلت: لا، قال: أفَتسلَم منك الروم والسِّند والهند والترك، ولم يسلَمْ منك أخوك المسلم؟! قال: فلَم أعُد بعدها )).
“Saya menyebut seorang lelaki dengan buruk di hadapan Iyas bin Mu‘awiyah. Ia menatap wajahku dan bertanya: ‘Apakah kamu ikut berperang melawan Romawi?’ Saya jawab: ‘Tidak.’ Ia bertanya: ‘Bagaimana dengan Sind, India, dan Turki?’ Saya jawab: ‘Tidak.’ Ia berkata: ‘Apakah Romawi, Sind, India, dan Turki selamat darimu, sedangkan saudaramu sesama Muslim tidak?’ Sejak itu saya tidak pernah menyebut buruk lagi.”
(Al-Bidayah wa An-Nihayah, 13/121)
Kesimpulan Makna Utama
1. Tidak ada ulama yang ma’shum, setiap orang pasti memiliki kesalahan.
2. Penilaian terhadap ulama harus ditimbang dengan “dominan keutamaan”.
3. Kita mengambil kebenaran mereka dan tidak mengikuti kesalahan mereka.
4. Tidak boleh menjadikan pendapat atau guru sebagai dasar loyalitas dan permusuhan.
5. Adab dalam khilaf adalah pilar persatuan Ahlus Sunnah.
Kedudukan Zakat dalam Islam
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Akhir yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada hamba, utusan, kekasih, dan kepercayaan-Nya atas wahyu-Nya, yaitu Nabi, pemimpin, dan pemuka kita, Muhammad bin Abdullah, beserta keluarga, sahabatnya, dan siapa saja yang menempuh jalannya serta berpetunjuk dengan petunjuknya hingga hari akhir.
Amma ba'du:
Topik ceramah sebagaimana yang disampaikan pembawa acara adalah: "Kedudukan Zakat dalam Islam." Setiap muslim yang memiliki sedikit pemahaman mengetahui bahwa urusan zakat sangatlah agung, dan ia termasuk salah satu dari lima rukun Islam. Bahkan, ia adalah rukun ketiga dari rukun Islam. Allah menggabungkan antara zakat dan shalat di banyak tempat dalam Kitab-Nya yang agung. Demikian pula Rasul yang terpilih, shallallahu 'alaihi wasallam, menggabungkan keduanya dalam banyak hadits. Di antaranya adalah firman Allah Jalla wa 'Ala: "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk." (QS. Al-Baqarah: 43). Firman-Nya Subhanahu: "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat." (QS. An-Nur: 56). Firman-Nya: "Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui." (QS. At-Taubah: 11). Firman-Nya Ta'ala: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah: 5), dan dalam ayat-ayat lainnya.
Juga berdasarkan sabda Nabi yang mulia, shallallahu 'alaihi wasallam, dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh dua Syaikh (Imam Al-Bukhari dan Muslim) dalam Shahihain, dan juga diriwayatkan oleh selain mereka dari hadits Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Islam dibangun di atas lima (rukun): Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah." [1]
Dalam lafazh lain: "Islam dibangun di atas lima (landasan): Beribadah hanya kepada Allah dan mengingkari apa selain-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat..." [2] Hadits.
Ini menjelaskan kepada kita betapa agungnya kedudukan zakat, dan bahwa dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam, ia adalah pasangan shalat. Keagungan kedudukan shalat sudah jelas, ia adalah tiang Islam, dan ia adalah rukun teragung setelah dua kalimat syahadat. Allah berfirman tentangnya: "Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk." (QS. Al-Baqarah: 238). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentangnya: "Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir." [3]
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda tentangnya: "(Pembatas) antara seorang hamba dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat." [4] Maka, shalat adalah tiang Islam dan rukunnya yang terpenting serta teragung setelah dua syahadat. Sedangkan zakat adalah saudara dan pasangannya. Shalat adalah hak Allah yang berkaitan dengan badan; ia adalah ibadah badaniyah di mana seorang hamba berdiri di hadapan Rabbnya, bermunajat, mengingat-Nya, berdoa kepada-Nya, dan membaca Kitab-Nya. Urusannya sangat agung dan pengaruhnya terhadap hati sangat besar. Ia-lah yang jika seseorang menegakkannya dan menunaikan haknya, ia akan mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, serta menjadi sebab kebahagiaan, keselamatan, dan keselamatannya, serta kebaikan hati dan amalannya. Ia-lah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di antara para sahabatnya pada suatu hari, beliau bersabda: "Barangsiapa yang menjaganya, maka ia akan menjadi cahaya, bukti, dan keselamatan baginya pada hari Kiamat. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak akan memiliki cahaya, bukti, dan keselamatan, dan pada hari Kiamat ia akan bersama Fir'aun, Haman, Qarun, dan Ubay bin Khalaf." [5] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lainnya dengan sanad yang hasan.
Sebagian ulama berkata tentang hadits ini: "Sesungguhnya orang yang menyia-nyiakan shalat akan dikumpulkan bersama orang-orang kafir besar itu, para penyeru ke neraka. Ia dikumpulkan bersama mereka karena ia menyerupai mereka dalam perbuatan-perbuatan mereka yang buruk. Orang yang menyia-nyiakannya karena mengejar kepemimpinan, kekuasaan, dan kerajaan, maka ia menyerupai Fir'aun; karena kesombongan, kerajaan, dan kedudukannya di bumi telah menyibukkannya hingga ia mendustakan Musa, berbuat melampaui batas dan zalim, sehingga Allah membinasakannya. Maka, pada hari Kiamat, orang yang menyerupainya akan dikumpulkan bersamanya ke dalam neraka. Orang yang menyia-nyiakan shalat akan dikumpulkan bersama Haman, menteri Fir'aun, jika ia disibukkan oleh jabatan atau kementerian serta urusan-urusan kementerian, maka ia akan dikumpulkan bersama Haman, menteri Fir'aun, ke dalam neraka; karena ia menyerupainya dalam kesibukannya dengan kementerian dan hak kepemimpinan sehingga melalaikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang menyia-nyiakan shalat karena harta dan syahwat akan dikumpulkan bersama Qarun; karena ia menyerupainya dalam hal itu. Qarun disibukkan oleh harta dan syahwat, serta menyombongkan diri dari kebenaran, berbuat melampaui batas, dan mendurhakai Nabi Allah Musa, sehingga Allah membenamkannya beserta rumahnya ke dalam bumi dan ia pun masuk neraka. Maka, barangsiapa menyerupainya dengan kesibukannya pada syahwat, makanan, minuman, kendaraan, dan semisalnya, ia akan dikumpulkan bersamanya ke dalam neraka -kita berlindung kepada Allah-. Dan barangsiapa yang disibukkan dari shalat oleh jual-beli, transaksi, penerimaan, pemberian, catatan-catatan, dan lainnya, maka ia menyerupai Ubay bin Khalaf, pedagang penduduk Mekkah, dan ia akan dikumpulkan bersamanya ke dalam neraka -kita berlindung kepada Allah-.
Jika shalat memiliki kedudukan, keagungan, dan bahaya seperti ini, maka zakat juga memiliki kedudukan yang agung; ia adalah saudara dan pasangannya. Maka, barangsiapa yang disibukkan darinya oleh sifat kikir dan cinta harta, ia akan dikumpulkan bersama musuh-musuh Allah yang mengutamakan harta atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di antara yang datang tentang hal ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sabda beliau ketika mengutus Mu'adz ke Yaman: "Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka." [6] Ini menunjukkan bahwa zakat diwajibkan untuk saling menolong dan berbuat baik. Ia adalah hak harta yang selayaknya seorang mukmin memperhatikannya dan bersungguh-sungguh dalam menunaikannya kepada yang berhak. Juga dari hal ini adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah." [7]
Hadits ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa orang yang kikir dengan zakat, enggan menunaikannya, dan memerangi (kaum muslimin) karenanya serta tidak menunaikannya, maka halal untuk memeranginya, sebagaimana Ash-Shiddiq (Abu Bakar) radhiyallahu 'anhu memerangi orang-orang yang enggan membayarnya; karena darah seseorang tidak terlindungi kecuali dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Oleh karena itu, ketika sebagian orang Arab enggan membayar zakat setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, para sahabat memerangi mereka sampai mereka menunaikannya. Setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagian orang Arab murtad dari Islam dan kemurtadan mereka bermacam-macam. Sebagian mereka berkata: "Seandainya ia seorang nabi, tentu ia tidak akan mati," karena kebodohannya bahwa para nabi sebelum beliau pun telah wafat. Sebagian lain berkata: "Zakat ini, kami tidak akan menunaikannya." Sebagian lagi murtad dengan jenis yang lain. Maka, Abu Bakar berdiri di hadapan manusia sebagai khatib -semoga Allah meridhainya dan meridhai tempat tinggalnya- dan mendorong para sahabat untuk memerangi mereka sampai mereka masuk ke dalam Islam sebagaimana ketika mereka keluar darinya. Umar pun membujuknya dalam hal itu dan berkata kepadanya: "Bagaimana engkau memerangi orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah?" Abu Bakar menjawab: "Sesungguhnya kita telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dari kita, kecuali dengan haknya."
Ash-Shiddiq (Abu Bakar) radhiyallahu 'anhu berkata: "Bukankah zakat termasuk hak dari 'laa ilaaha illallaah'? Demi Allah, aku akan memerangi siapa saja yang memisahkan antara shalat dan zakat. Demi Allah, seandainya mereka menahan dariku seutas tali (atau dalam lafazh lain: seekor anak kambing betina) yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, niscaya aku akan memerangi mereka karena penahanannya itu." Umar berkata: "Maka tidak lain, setelah aku mengetahui bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, aku pun tahu bahwa itulah kebenaran." [8]
Maka, para sahabat sepakat atas hal ini dan memerangi orang-orang murtad serta berjihad melawan mereka dengan jihad yang agung sampai mereka memasukkan mereka kembali ke dalam Islam sebagaimana ketika mereka keluar darinya, kecuali orang yang telah ditetapkan baginya kesengsaraan, maka ia dibunuh karena kemurtadannya -kita berlindung kepada Allah dari hal itu- seperti Musailamah Al-Kadzdzab dan sekelompok orang bersamanya, sekelompok dari Bani Asad, dan kelompok-kelompok lainnya. Mereka tetap dalam kekafiran mereka, maka para sahabat memerangi mereka sampai membunuh mereka. Dan Allah memberi hidayah kepada siapa saja di antara sisa-sisa mereka yang Dia kehendaki.
Kesimpulan dan intinya adalah bahwa zakat memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, ia adalah rukun teragung setelah shalat dan dua syahadat, dan kewajiban atas kaum muslimin adalah menunaikannya kepada yang berhak. Jika penguasa memintanya, maka wajib diserahkan kepadanya. Jika tidak memintanya, maka seorang mukmin membagikannya sendiri di antara orang-orang fakir dan yang berhak menerimanya. Allah telah menjelaskan golongan yang berhak menerimanya dalam firman-Nya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60). Mereka inilah golongan yang berhak menerima zakat.
1. Orang-orang Fakir dan Miskin: Mereka adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi mereka. Fakir lebih membutuhkan, sedangkan miskin keadaannya lebih baik darinya. Jika salah satunya disebut secara mutlak, maka yang lain termasuk di dalamnya. Jika disebut 'fuqara' (orang-orang fakir), maka orang miskin termasuk di dalamnya. Jika disebut 'masakin' (orang-orang miskin), maka orang fakir termasuk di dalamnya. Mereka adalah orang yang tidak memiliki kecukupan, maksudnya mereka memiliki sedikit harta tetapi sedikit, tidak mencukupi mereka dan tidak menutupi keadaan mereka. Maka, mereka diberikan zakat sejumlah yang mencukupi mereka selama setahun. Setiap tahun, mereka diberikan sejumlah yang mencukupi mereka dan keluarga mereka dalam kebutuhan pokok mereka selama satu tahun penuh.
2. Amil (Pengurus) Zakat: Mereka adalah para petugas yang ditunjuk oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dan bepergian ke negeri-negeri dan tempat-tempat sumber air di mana terdapat orang-orang yang memiliki harta, hingga mereka mengumpulkannya dari mereka. Mereka adalah para pengumpul, penjaga, dan pengurus zakat. Mereka diberikan bagian dari zakat sesuai dengan pekerjaan dan jerih payah mereka, berdasarkan pertimbangan penguasa.
3. Mu'allafatu Qulubuhum (Orang yang Diharapkan Hatinya): Mereka adalah orang-orang yang ditaati dalam kabilah-kabilah, yaitu para pemuka dari kalangan pemimpin dan tokoh, serta orang-orang yang ditaati dalam kabilah mereka, sehingga jika mereka masuk Islam, kabilah mereka pun masuk Islam dan mengikuti mereka, dan jika mereka kafir, kabilah mereka juga ikut kafir. Mereka adalah para tokoh dan pemimpin yang diharapkan kecenderungan hatinya kepada Islam, dan diberikan zakat untuk menguatkan iman mereka, atau agar orang yang semisal mereka masuk Islam, atau untuk melindungi sisi Islam dari musuh. Mereka diberikan zakat yang menjadi sebab kuatnya iman mereka, atau pembelaan mereka terhadap Islam, atau masuk Islamnya orang-orang di belakang mereka, dan semisalnya.
4. Fi Ar-Riqab (Untuk Memerdekakan Budak): Mereka adalah para budak yang diberikan harta untuk memerdekakan diri mereka. Mereka adalah budak mukatab (yang memiliki perjanjian dengan tuannya untuk merdeka dengan membayar sejumlah uang) yang membeli diri mereka sendiri dari tuan mereka dengan harta yang diangsur secara bertahap. Mereka diberikan zakat untuk melunasi hutang mereka dan dengan itu merdeka lah diri mereka. Menurut pendapat yang shahih, juga boleh membeli budak dari zakat lalu memerdekakannya. Maka, pemilik zakat boleh membeli budak dari zakat lalu memerdekakannya, karena hal itu termasuk dalam makna 'fi ar-riqab'. Menurut pendapat yang shahih, juga termasuk di dalamnya memerdekakan tawanan, yaitu tawanan kaum muslimin yang ada di tangan orang-orang kafir. Diberikan dari zakat kepada orang-orang kafir sebagai tebusan agar mereka melepaskan kaum muslimin dan membebaskan tawanan mereka.
5. Al-Gharimun (Orang yang Berhutang): Mereka adalah orang yang memiliki hutang, yang meminjam harta untuk kebutuhan-kebutuhan mereka yang mubah, kebutuhan keluarga mereka, atau untuk mendamaikan pihak yang berselisih. Mereka menanggung harta untuk mendamaikan antara manusia ketika terjadi fitnah, kerusakan, permusuhan, dan kedengkian. Seseorang berusaha mendamaikan antara manusia dan menanggung harta untuk mendamaikan mereka. Maka, orang yang menanggung ini diberikan -meskipun ia kaya- sejumlah yang ia tanggung dari zakat; karena ia telah berusaha dalam kebaikan dan melakukan kebaikan. Demikian pula orang yang berhutang yang tidak mampu melunasi hutangnya untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya, ia diberikan zakat untuk melunasi hutangnya.
6. Fi Sabilillah (Di Jalan Allah): Mereka adalah orang yang berjihad, yaitu para mujahid yang berperang. Mereka diberikan dalam peperangan mereka sesuatu yang menutupi kebutuhan mereka berupa senjata, kendaraan, dan nafkah, jika hal itu tidak mereka dapatkan dari Baitul Mal. Mereka diberikan zakat yang mencukupi keadaan mereka dan membantu mereka untuk memerangi musuh-musuh Allah, berupa kuda, unta, berbagai jenis alat perang, nafkah, dan senjata, agar mereka dapat berjihad melawan musuh-musuh Allah.
7. Ibnu Sabil (Musafir yang Kehabisan Bekalan): Mereka adalah orang yang bepergian dari satu negeri ke negeri lain, lalu terputus di jalan, baik karena habisnya bekal mereka di perjalanan jika perjalanan mereka panjang, atau karena musuh dari perampok jalan mengambil mereka dan mengambil harta mereka, atau karena sebab-sebab lain yang menghabiskan bekal mereka. Mereka diberikan zakat yang dapat mengantarkan mereka ke negeri mereka, meskipun mereka orang kaya; karena mereka sedang dalam perjalanan dan tidak memiliki sesuatu yang mencukupi keadaan mereka, dan mereka tidak wajib berhutang. Bahkan, mereka wajib diberikan di perjalanan sesuatu yang memenuhi kebutuhan mereka sampai mereka tiba di negeri mereka yang di sana terdapat harta mereka.
Maka, zakat mengandung kebaikan yang sangat besar dan maslahat yang banyak bagi kaum muslimin dengan menyalurkannya pada delapan golongan ini. Zakat memiliki pengaruh yang besar dalam mencukupi manusia, menolong mereka dalam menunaikan kewajiban yang Allah bebankan kepada mereka, dan meringankan beban yang memberatkan mereka seperti hutang dan lainnya yang penting bagi mereka, seperti memerdekakan budak, membekali para mujahid dengan sesuatu yang menolong mereka, membantu para musafir, dan lain sebagainya yang termasuk dalam delapan golongan. Ini merupakan bukti kasih sayang Allah dan kebaikan-Nya yang agung kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia menjadikan mereka saling tolong-menolong; orang kaya mereka menolong orang fakir mereka. Sehingga mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dari apa yang Allah berikan kepada mereka.
Dalam mengeluarkan zakat terdapat rasa syukur kepada Allah atas kebaikan yang Dia berikan kepada mereka. Dia-lah Subhanahu Yang Maha Pemberi Kebaikan dan Keutamaan. Di antara bentuk syukur kepada-Nya, wahai muslim, adalah engkau menunaikan zakat dan memuji Allah yang menjadikanmu orang yang memberi dan bukan menerima. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah." [9] Tangan yang di atas adalah yang memberi dan yang menginfakkan, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang mengambil dan meminta. Maka, pujilah Allah yang menjadikanmu pemilik tangan yang di atas; engkau menafkahkan, berbuat baik, dan dermawan kepada hamba-hamba Allah. Kemudian, dalam zakat terdapat penyucian bagimu dan penyucian bagi hartamu. Zakat adalah untukmu dan untuk hartamu, sebagaimana firman Allah: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." (QS. At-Taubah: 103). Zakat adalah kebaikan bagimu di dunia dan akhirat; engkau menyucikan hartamu dengannya, engkau menjaga hartamu dengannya, dan engkau menyucikan dirimu dengannya, sebagaimana firman Allah dalam ayat sebelumnya: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." Dan orang miskin yang fakir, jika engkau menolongnya dan memberinya dari apa yang Allah berikan kepadamu, maka bagimu dalam hal itu kebaikan yang besar dan keutamaan yang banyak; karena engkau telah menghilangkan kesulitannya, melapangkan kesusahannya, dan membantunya dengan hartamu. Hal itu memiliki kedudukan yang agung di sisinya, dan mungkin ia mendoakanmu dengan doa yang dikabulkan Allah, yang di dalamnya terdapat kebahagiaan dan keselamatanmu di dunia dan akhirat. Engkau memberi dari kebaikan yang banyak yang tidak membahayakanmu, sedangkan ia mengambil manfaat yang besar darinya. Dengan zakat, engkau menghilangkan kesusahan dan berbuat baik kepada anak-anak, orang tua yang lanjut usia, wanita tua, dan orang-orang yang terputus (di perjalanan). Dengan ini, engkau mendapatkan keutamaan yang besar dan pahala yang banyak.
Allah Subhanahu telah mengancam orang yang kikir dengan zakat dan tidak menunaikannya, dengan firman-Nya: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu'." (QS. At-Taubah: 34-35).
Ini adalah akibat orang yang kikir dengan zakat; balasannya adalah neraka. Ia disiksa dengan harta ini yang ia kumpulkan, kikir dengannya, dan bersusah payah karenanya, menjadi azab baginya pada hari Kiamat. Ia disiksa dengannya pada hari Kiamat sebagai balasan yang setimpal; karena ia kikir dan tidak menunaikan haknya, maka ia menjadi bencana baginya. Setiap harta yang tidak ditunaikan haknya dan apa yang Allah wajibkan di dalamnya adalah harta simpanan (kanz). Sedangkan harta yang ditunaikan zakatnya bukanlah harta simpanan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah suatu harta mencapai nishab lalu zakatnya ditunaikan, maka ia bukanlah harta simpanan." [10] Maka, harta yang ada padamu, meskipun berada di perut bumi yang ketujuh, jika engkau tunaikan hak-haknya, ia bukanlah harta simpanan bagimu dan tidak membahayakanmu. Sedangkan harta yang ada di muka bumi dan di hadapanmu adalah harta simpanan, jika engkau tidak menunaikan haknya, engkau akan disiksa karenanya pada hari Kiamat.
Telah shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: "Tidaklah seorang pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan haknya -dalam satu lafazh: zakatnya- kecuali pada hari Kiamat akan dibuatkan untuknya lempengan-lempengan dari api, lalu dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu disetrikakan pada dahi, lambung, dan punggungnya. Setiap kali dingin, dikembalikan lagi padanya, pada suatu hari yang kadarnya lima puluh ribu tahun, kemudian ia melihat jalannya, apakah ke surga atau ke neraka. Dan tidaklah seorang pemilik unta yang tidak menunaikan haknya, kecuali akan dihamparkan untuknya padang yang sangat luas, lalu unta-untanya yang paling gemuk dan paling banyak dagingnya menginjaknya dengan telapak kakinya dan menggigitnya dengan mulut-mulutnya. Setiap kali yang terakhir melewatinya, yang pertama mengulanginya, pada suatu hari yang kadarnya lima puluh ribu tahun, kemudian ia melihat jalannya, apakah ke surga atau ke neraka. Dan tidaklah seorang pemilik sapi atau kambing yang tidak menunaikan zakatnya -dalam satu lafazh: haknya- kecuali pada hari Kiamat akan dihamparkan untuknya padang yang sangat luas, lalu (ternaknya) melewatinya, menginjaknya dengan telapak kakinya dan menanduknya dengan tanduk-tanduknya. Setiap kali yang terakhir melewatinya, yang pertama mengulanginya, pada suatu hari yang kadarnya lima puluh ribu tahun, kemudian ia melihat jalannya, apakah ke surga atau ke neraka." [11]
Ini adalah ancaman yang sangat besar yang menunjukkan besarnya bahaya kikir dengan zakat dan tidak menunaikannya, dan bahwa hartanya pada hari Kiamat justru menjadi kejelekan dan bencana baginya, baik berupa uang, biji-bijian, buah-buahan, unta, sapi, atau kambing. Semuanya akan menjadi azab baginya pada hari Kiamat. Pada unta, sapi, dan kambing, Nabi telah menjelaskan bagaimana azabnya. Demikian pula pada emas dan perak, dan selainnya mengikuti padanya. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan perlindungan.
Maka, wajib atas kita, wahai saudara-saudara, dan atas seluruh kaum muslimin untuk saling menasihati dalam urusan yang agung ini. Wajib atas kita untuk saling menasihati dalam hak Allah, bersungguh-sungguh dalam hal itu, dan mengingatkan dengan Allah orang yang lalai, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Urusan zakat sudah jelas, urusan shalat sudah jelas, dan urusan puasa sudah jelas. Akan tetapi, manusia terkadang lalai, hatinya tertutup oleh banyak dosa, ibadah terasa berat baginya, dan maksiat terasa mudah baginya, seperti setan dan para pembantu setan yang menghias-hiasinya, hingga ia lalai dari Allah dan negeri akhirat, hingga terasa berat baginya menunaikan hak Allah dalam harta dan selain harta, dan hingga mudah baginya menaati setan dan berjalan bersama saudara-saudara setan, dalam langkah kebodohan dan kelalaian, serta dikuasainya hati oleh cinta harta dan syahwat, sedikitnya teman duduk yang shalih, dan banyaknya teman duduk yang menyimpang.
Maka, kewajiban adalah saling mengingatkan dengan Allah. Allah berfirman: "Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Adz-Dzariyat: 55). Dan firman-Nya: "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan." (QS. Al-Ghasyiyah: 21). Maka, seorang mukmin mengingatkan saudaranya, dan tidak boleh berkata: "Saudaraku sudah berilmu, dia tahu tentang ini." Tidak! Jika engkau melihat darinya sesuatu dari kelalaian dan kecerobohan, atau tampak bagimu sesuatu dari kelalaian dan berpaling, maka nasihatilah saudaramu dan ingatkanlah dia dengan Allah, dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan cara yang tepat, yang mengandung rasa sayang kepadanya, kekhawatiran terhadapnya, dan keinginan kuat akan keselamatan dan kebahagiaannya. Saudaramu adalah orang yang menasihatimu dan mengingatkanmu, dan bukanlah saudaramu orang yang melalaikanmu, berpaling darimu, dan hanya bersikap basa-basi kepadamu. Tetapi, saudaramu yang sebenarnya adalah orang yang menasihatimu, yang mengajarmu, dan mengingatkanmu; yang mengajakmu kepada Allah; yang menjelaskan kepadamu jalan keselamatan agar engkau menempuhnya; yang memperingatkanmu dari jalan kebinasaan dan menjelaskan buruknya akibatnya agar engkau menjauhinya. Janganlah putus asa dan jangan berkata: "Orang ini tidak ada kebaikan padanya, tidak ada yang bermanfaat baginya." Jangan putus asa! Allah Subhanahu berfirman: "Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah." (QS. Yusuf: 87). Dan firman-Nya: "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah'." (QS. Az-Zumar: 53). Betapa banyak orang yang berdosa, betapa banyak orang yang bermaksiat, telah berlalu bertahun-tahun dalam kelalaian dan 'mabuk'-nya serta dalam ketaatan kepada setan, kemudian ia diberi taufik kepada orang yang membimbingnya, mengingatkannya, dan mengajaknya kepada kebaikan, lalu ia tersadar dan mendoakan kebaikan bagi orang yang mengingatkannya, kemudian Allah memberinya hidayah dan ia kembali kepada kebenaran serta bertaubat kepada Allah dari apa yang telah lalu, maka Allah mengampuninya dan menghapus kesalahan-kesalahannya yang lampau.
Maka, janganlah putus asa! Dan jangan berputus asa, wahai saudara-saudara!
Baru saja, salah seorang saudara kalian setelah shalat Maghrib berbicara di telingaku dan berkata: "Sesungguhnya aku datang dari Masjid An-Nushairi, Masjid At-Turki, dan pasar-pasar penuh (orang) tetapi mereka tidak shalat." Ia menangis dan berkata: "Ini adalah urusan yang tidak bisa ditolerir." Urusan ini membutuhkan saling menasihati dan tolong-menolong, dan tidak boleh dikatakan: "Hisbah (lembaga amar ma'ruf nahi munkar) sudah cukup." Lembaga-lembaga hisbah memiliki kewajiban yang besar, dan mereka bertanggung jawab atas kelalaian mereka. Kita memohon kepada Allah untuk mereka pertolongan dan taufik, serta niat dan amal yang baik. Para penguasa juga memiliki kewajiban yang besar dan mereka lebih bertanggung jawab. Setiap muslim, penuntut ilmu, ulama, dan para hakim, masing-masing memiliki bagiannya dalam mengingkari kemungkaran dan berdakwah kepada kebaikan. Seandainya manusia saling tolong-menolong, bahu-membahu, dan saling menasihati dalam kebenaran, niscaya kejelekan akan berkurang dan kebaikan akan bertambah. Di pasar-pasar, ada orang yang menyia-nyiakan shalat dan duduk-duduk sedangkan orang-orang shalat. Shalat didirikan, sedangkan ia di sekitar masjid dalam keadaan duduk. Orang seperti ini harus diingatkan, diingatkan dengan Allah, dan diajak bicara. Setiap orang, bukan hanya satu orang! Setiap orang yang melewatinya harus mengingkari hal ini. "Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah? Tidakkah engkau takut kepada Allah? Orang-orang shalat sedangkan engkau duduk." Meskipun ia seorang musafir, tidak boleh baginya duduk di hadapan orang, bahkan ia harus berdiri untuk shalat bersama orang-orang, meskipun (shalatnya menjadi) nafilah (shalat sunnah). Jangan duduk di hadapan orang dan menampakkan diri seperti perbuatan orang-orang kafir. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati seorang laki-laki sedangkan shalat sedang didirikan dan ia tidak berdiri (untuk shalat), maka beliau bersabda: "Bukankah engkau seorang muslim?" [12] Dan beliau memerintahkannya untuk shalat bersama orang-orang, meskipun ia sudah shalat.
Dan dalam salat Subuh di Mina pada saat Haji Wada' (Haji Perpisahan), sebagian orang berkata kepada beliau (Rasulullah ﷺ): "Wahai Rasulullah, ada dua orang laki-laki yang tidak salat bersama kami." Lalu beliau memanggil keduanya, dan keduanya pun didatangkan dalam keadaan gemetar tulang-tulang rusuknya (ketakutan). Beliau bertanya kepada keduanya: "Apa yang menghalangi kalian untuk salat bersama kami?" Keduanya menjawab: "Wahai Rasulullah, kami sudah salat di tempat kami (perkemahan)." Beliau bersabda: "Janganlah kalian lakukan! Jika kalian telah salat di tempat kalian, kemudian kalian mendapati imam sedang salat, maka salatlah bersama beliau. Sesungguhnya salat itu bagi kalian adalah $N\bar{a}filah$ (salat sunah/tambahan) [13].
Maka, jika seseorang datang ke masjid dan orang-orang belum salat, yang disyariatkan baginya adalah janganlah ia duduk di belakang orang-orang, tetapi hendaklah ia ikut masuk salat bersama mereka. Jika ia masuk dari permulaan salat, ia menyempurnakannya, dan jika ada bagian yang terlewat, ia meng-qadhā' (mengganti) setelah itu, dan salat tersebut baginya adalah nafilah.
Dan ketika Nabi ﷺ diberitahu tentang sebagian pemimpin yang mengakhirkan salat dari waktunya, beliau bersabda kepada penanya: "Salatlah pada waktunya. Kemudian, jika kamu mendapatinya (salat) bersama mereka, maka salatlah bersama mereka. Janganlah kamu berkata, 'Aku sudah salat, maka aku tidak akan salat.' Akan tetapi, salatlah bersama mereka walaupun kamu sudah salat, maka salat itu bagimu akan menjadi nafilah" [14].
Maka, orang-orang yang duduk-duduk di jalanan pada waktu salat, wajib bagi kita untuk $Yunkar$ (mengingkari) perbuatan mereka itu. Sekalipun salah seorang dari mereka berkata: "Sungguh aku sudah salat," maka katakanlah kepadanya: "Meskipun kamu sudah salat, janganlah kamu duduk-duduk sementara orang-orang sedang salat di dekat masjid dan di sekitar masjid. Menyembunyilah dari pandangan orang jika kamu sudah salat, atau salatlah bersama orang-orang, maka itu akan menjadi $N\bar{a}filah$ bagimu. Janganlah kamu duduk di depan orang-orang sehingga kamu menjadi pintu bagi orang-orang malas, orang-orang yang menyimpang, dan orang-orang yang merasa berat untuk salat. Tetapi, bergegaslah untuk salat dan salatlah bersama saudara-saudaramu, dan itu akan menjadi nafilah bagimu jika kamu sudah salat. Janganlah kamu keluar dari tempat salatmu sampai orang-orang selesai salat."
Dan seyogyanya salat orang-orang berdekatan dengan para imam dan ahli masjid agar orang yang malas dan lalai tidak beralasan bahwa ia telah salat di sini atau sudah salat di sana. Maksudnya, yang wajib adalah tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, serta saling berwasiat dengan kebenaran. Allah Subhānahu wa Ta'ālā mengabarkan tentang hamba-hamba-Nya yang beruntung, selamat, dan bahagia, bahwa mereka saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran. Allah Subhānahu wa Ta'ālā berfirman:
{وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}
Artinya: "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." [Al-'Asr: 1-3].
Maka Allah Subhānahu wa Ta'ālā mengabarkan bahwa merekalah orang-orang yang beruntung dan berbahagia, yaitu yang terkumpul dalam diri mereka empat sifat: Iman yang jujur kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian $al-'Amal\text{ }al-\text{Ṣāliḥ}$ (amal saleh)—yakni iman yang membuahkan hasil, iman yang berbuah dan dampaknya terlihat pada perbuatan manusia. Karena, iman di hati saja tidak cukup. Maka, harus ada iman di hati disertai iman pada anggota tubuh. Ia beriman dengan hatinya dan beramal dengan anggota tubuhnya. Jika ia beriman bahwa salat adalah kewajiban, maka ia harus salat. Jika ia beriman bahwa zakat adalah kewajiban, maka ia harus berzakat. Jika ia beriman bahwa puasa adalah kewajiban, maka ia harus berpuasa. Demikianlah, amal adalah bagian dari iman dan ucapan adalah bagian dari iman. Maka iman adalah ucapan, amal, dan keyakinan ('Aqīdah).
Dan orang-orang yang berbahagia lagi beruntung adalah mereka yang memadukan antara iman yang jujur, amal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran, dan saling berwasiat dengan kesabaran. Merekalah orang-orang yang beruntung dan berbahagia, karena mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang jujur, mengesakan Allah ($waḥḥad\bar{u}\text{ }Allāh$), membenarkan Rasul mereka Muhammad 'Alayhi al-Ṣalāt wa al-Salām, dan membenarkan berita-berita pasti dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka menindaklanjuti ini dengan amal, yaitu mereka menunaikan kewajiban-kewajiban Allah dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah serta menjauhinya. Kemudian, mereka saling berwasiat dengan kebenaran bersama saudara-saudara mereka. Mereka tidak malas dan tidak lemah. Mereka saling berwasiat dengan kebenaran, tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, berdakwah kepada Allah, memerintahkan kepada yang ma'ruf (kebaikan), dan mencegah dari yang munkar (kemungkaran). Kemudian, di samping itu, mereka bersabar, karena hal-hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan kesabaran. Barang siapa menginginkan hal-hal ini tanpa kesabaran, sungguh ia telah mencari al-Muḥāl (kemustahilan). Harus ada kesabaran dan harus ada permohonan pertolongan kepada Allah dalam hal itu.
Anda memohon pertolongan kepada Tuhanmu atas hal-hal ini, mensyukuri-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam hal yang diwajibkan Allah atasmu. Anda menasihati dan berdakwah atas dasar itu. Anda harus bersusah payah. Tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat kesusahan dan kesulitan, tetapi jalan menuju surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai (makarih), berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Neraka dikelilingi oleh syahwat, dan surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai (makarih)" [15]. Maka, jalan menuju surga terdapat rintangan-rintangan yang harus dilampaui dengan kesabaran. Rintangan yang paling besar adalah hawa nafsumu dan setanmu. Dan para penyeru keburukan adalah rintangan yang paling besar: setan yang menghiasi, nafsu yang memerintahkan keburukan (Nafs Ammārah bi al-Sū'), pembantu-pembantu yang merusak, teman-teman yang merusak, dan kenalan-kenalan yang sesat. Mereka mencelakakanmu dan menyesatkanmu. Maka, harus ada kesabaran dalam menentang mereka, harus ada kesabaran dalam menaati Allah Yang Maha Pengasih, dan dalam mendurhakai setan. Dan harus ada kesabaran dalam menentang hawa nafsu. Karena hawa nafsu itu merusak dan menjerumuskan pemiliknya ke dalam neraka. Maka, urusan kebahagiaanmu tidak akan sempurna kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan kehati-hatian terhadap hawa nafsu, dan istikamah di jalan petunjuk, serta bersabar di atasnya.
Dan diketahui bahwa yang wajib atas setiap orang adalah bergegas menunaikan salat yang lima waktu pada waktunya secara berjamaah. Ia menjaga salat-salat tersebut, meninggalkan kesibukannya pada waktu salat, dan meninggalkan tidur pada waktu salat dan hal-hal lain yang menghalanginya dari salat. Tidak diragukan bahwa hal itu sulit bagi sebagian jiwa, tetapi jika seseorang melatih dirinya dan sungguh-sungguh melawannya (mujahadah), maka amal-amal ini akan menjadi kenikmatan yang ia rasakan dalam hatinya, dan jiwanya akan menjadi tunggangan baginya dalam hal ini, yang menaatinya. Karena ia telah melatihnya dan melawannya dengan sungguh-sungguh, maka setelah itu ia menjadi tunggangan yang jinak yang membantunya di jalan kebaikan, karena ia telah membiasakan dan melatihnya dalam kebaikan. Maka, jika waktu salat tiba, hatimu menjadi bersemangat dan kamu merasa tenang untuk menghadirinya, serta kamu bergegas dengan segala suka cita dan segala ketenangan. Demikian pula sisa amal-amal.
Namun, jika kamu meremehkan dan menyepelekannya, serta menaati nafsu yang memerintahkan keburukan (al-Nafs al-Ammārah bi al-Sū') untuk duduk dalam permainan, atau berbicara dengan teman-teman, atau tidur pada waktu salat Subuh, atau pada waktu salat Asar dan sebagainya; setan akan mempermainkanmu, hijab akan menebal di atasmu dan di atas hatimu, hawa nafsu akan menguat dan membesar, dan keinginan terhadap apa yang ada di sisi Allah menjadi lemah. Salat akan terasa berat dan sulit, karena hati sudah melemah karena menaati hawa nafsu dan setan serta apa yang dihias-hiasi setan untuk hamba berupa sikap menunda-nunda dan berdalih dengan hal-hal yang merugikan hamba, seperti mengharapkan rahmat Allah dan berkata: "Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," "Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Mulia." Ia menjadikannya dalih atas kebatilannya, dan ia melupakan firman Allah Ta'ālā:
t{نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيم وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الأَلِيمَ}
Artinya: "Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku itu adalah azab yang pedih." [Al-Hijr: 49-50].
Dan ia melupakan firman Allah Ta'ālā:
{غَافِرِ الذَّنبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ}
Artinya: "Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat lagi Keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia." [Ghāfir: 3].
Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang bagi yang bertobat dan kembali kepada-Nya, dan Dia Maha Besar hukuman-Nya, Maha Keras azab-Nya, dan Maha Dahsyat pembalasan-Nya bagi yang meremehkan hak-Nya dan menyepelekannya.
Semoga Allah menganugerahkan taufik dan petunjuk kepada kita semua, memberikan kita taufik dan kalian semua pada apa yang Dia ridai, menunjuki kita ke jalan-Nya yang lurus, mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, menolong kita dalam menaati Tuhan kita dan menunaikan hak-Nya, dan menjadikan kita semua termasuk yang tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, dan yang saling berwasiat dengan kebenaran serta kesabaran di atasnya. Sesungguhnya Dia Jalla wa 'Alā (Maha Agung dan Tinggi) adalah Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Dan semoga selawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, serta keluarga dan para sahabat beliau [16].
syarat wajib zakat, yaitu: islam, merdeka, mempunyai harta yang telah mencapai nishab, hartanya berada dalam kewenangannya, dan hartanya telah mencapai haul (telah berlalu kepemilikannya selama setahun hijriah) kecuali bila hartanya adalah muasysyarat (tanaman tertentu) sehingga tidak perlu menunggu haul.
Adapun Islam: maka orang kafir tidak wajib mengeluarkan zakat dan tidak diterima darinya sekalipun ia menyerahkannya atas nama zakat, berdasarkan firman Allah :
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. (QS. at-Taubah:54)
Akan tetapi bukan berarti ucapan kami bahwa tidak wajib dan tidak sah darinya bahwa dimaafkan darinya di akhirat, bahkan ia akan disiksa karenanya, berdasarkan firman Allah yang artinya: kecuali golongan kanan, * berada di dalam surga, mereka saling bertanya, * tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, * Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka) * Mereka menjawab:"Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, * dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, * dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, * dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, * hingga datang kepada kami kematian". (QS.al-Muddatstsir:39-47)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir disiksa karena tidak melaksanakan ajaran Islam, dan memang seperti itu.
Adapun merdeka, karena budak tidak memiliki apa-apa, karena hartanya milik tuannya, berdasarkan sabda Nabi : "Barangsiapa yang menjual hamba yang mempunyai harta maka hartanya untuk penjualnya kecuali disyaratkan oleh pembeli."
Jadi, ia tidak memiliki harta sehingga mendapat kewajiban zakat. Dan bila diumpamakan bahwa hamba mempunyai harta karena dikasih orang, maka kepemilikannya pada akhirnya kembali kepada tuannya, karena tuannya boleh mengambil apa yang ada di tangannya. Dan atas dasar inilah maka dalam kepemilikannya ada kekurangan, tidak permanen seperti harta orang-orang yang merdeka. Dan atas dasar ini pula kewajiban zakat adalah kepada pemilik harta dan budak tidak punya kewajiban sama sekali, dan kewajiban zakat tidak gugur dari harta ini. Adapun mempunyai nishab: maksudnya bahwa seseorang mempunyai harta yang mencapai nishab yang sudah ditentukan oleh syara'. Dan kadarnya berbeda satu sama lain. Apabila seseorang tidak mempunyai nishab maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat, karena hartanya sedikit yang tidak bisa memikul muwasaat.
Nishab ternak adalah kadar hitungan awal dan akhir, dan nishab yang lain adalah hitungan permulaan dan selebihnya terus dihitung.
Adapun berlalu satu tahun, karena kewajiban zakat dalam kurun waktu kurang dari satu tahun mengakibatkan penekanan terhadap orang-orang kaya dan kewajibannya lebih dari satu tahun mengurangi hak orang-orang fakir. Maka termasuk hikmah syara' bahwa ditentukan baginya waktu tertentu yang wajib mengeluarkan zakat, yaitu satu tahun. Dan dalam mengikat hal itu dengan tahun merupakan keseimbangan di antara hak orang-orang kaya dan hak para penerima zakat. Al-Bukhari 2379 dan Muslim 1543
Atas dasar inilah, jika seseorang meninggal dunia, atau harta musnah sebelum genap satu tahun, gugurlah kewajiban zakat. Namun dikecualikan dari genap satu tahun tiga perkara: pertama, keuntungan perdagangan. Kedua, hasil peternakan. Dan ketiga, hasil bumi.
Adapun keuntungan perdagangan, maka hitungan haulnya (setahunnya) adalah haul modalnya. Adapun hasil peternakan, maka haul hasil peternakan adalah haul induknya. Adapun muasysyarat, maka haulnya adalah saat panennya. Muasysyarat adalah biji-bijian dan buah-buahan. Contoh keuntungan dalam perdagangan: seseorang memberi barang seharga SR.10.000, lalu kurang sebulan dari satu tahun nilai barang itu bertambah, atau mendapat keuntungan setengah harga yang dia membelinya. Maka ia wajib mengeluarkan zakat dari modal dan dari keuntungan, sekalipun keuntungan itu belum genap satu tahun. Karena ia adalah cabang, dan cabang itu mengikut asal.
Adapun hasil peternakan, seperti seseorang mempunyai hewan ternak yang telah mencapai nishab. Kemudian di pertengahan tahun, ternah ini berkembang biak hingga mencapai dua nishab. Maka ia wajib mengeluarkan zakat untuk nishab yang diperoleh dari hasil perkembang biakan, sekalipun belum genap satu tahun, karena hasil perkembang biakan adalah cabang, maka ia mengikuti asal (induknya).
Adapun mu'asysyarat, maka haulnya adalah saat memetiknya seperti biji-bijian dan buah-buahan. Buah kurma umpamanya, tidak sempurna haul atasnya saat dipetik. Maka wajib zakat atasnya saat memanennya. Demikian pula pertanian yang ditanam dan dipanen sebelum genap satu tahun, maka wajib zakat saat memanennya, berdasarkan firman Allah : dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); (QS. al-An'aam:141)
maka tiga perkara ini dikecualikan dari ucapan kami: sesungguhnya disyaratkan sempurna satu tahun untuk kewajiban zakat. Syaikh Ibnu Utsaimin –Majmu Fatawa Wa Rasail 18/16
Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu ta'ala menerangkan:
الكافر إذا مات فلا بأس أن نقول: إنا لله وإنا إليه راجعون، والحمد لله، ولو كان من غير أقربائك؛ لأن كل الناس إليه راجعون، وكل الناس ملك لله سبحانه وتعالى، فلا بأس بهذا. ولكن لا يدعى له ما دام كافراً، ولا يقال له: {يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً} [الفجر الآيتان: 27-28]؛ لأن نفسه ليست مطمئنة، بل نفسه فاجرة، فلا يقال له هذا، وإنما يقال هذا في المؤمن. فالحاصل: أن الكافر إذا مات، لا بأس أن نقول: إنا لله وإنا إليه راجعون، ولا بأس أن يقول لك غيرك: أعظم الله أجرك فيه، وأحسن عزاءك فيه؛ لأنه قد يكون له مصلحة في حياته، وقد يكون في حياته يحسن إليك وينفعك، فلا بأس لكن لا يدعى له، ولا يستغفر له، ولا يتصدق عنه إذا مات كافراً.
Apabila seseorang yang kafir (non-Muslim) meninggal dunia, tidak ada larangan untuk mengucapkan "Inna Lillahi wa Inna Ilayhi Raji'un" (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali), serta "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah), meskipun orang tersebut bukan keluarga dekat kita. Hal ini dikarenakan semua umat manusia akan kembali kepada Allah dan semua mereka adalah milik Allah subhanahu wa ta'ala. Ini tidak apa-apa, Namun, tidak diperbolehkan untuk mendoakan kebaikan untuk dia (orang kafir), seperti yang dilakukan untuk orang Muslim, misalnya tidak boleh mengucapkan doa yang diperuntukkan bagi jiwa yang tenteram, seperti dalam ayat Al-Qur'an, "Ya ayyatuhal nafsul mutmainnah irji'i ila rabbiki radhiyyatan mardiyyah" (Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha lagi diridhai) [Al-Fajr: 27-28], karena jiwa orang kafir tidaklah tenang, melainkan jiwa yang buruk. Jadi ini tidak diucapkan ketika orang kafir meninggal, ini diucapkan saat yang meninggal adalah orang yang beriman.
Jadi, pada dasarnya, jika orang kafir meninggal dunia, tidak masalah untuk mengucapkan "Inna Lillahi wa Inna Ilayhi Raji'un" dan bagi orang lain boleh mengucapkan "A'zhama Allahu ajrak" (Semoga Allah memberimu pahala yang besar) dan "Ahsana 'azaa'k" (Semoga Allah memberimu kekuatan dalam berduka), karena bisa jadi orang tersebut memiliki hubungan baik dengan anda atau memberikan manfaat dalam hidup anda. Namun, tidak diperbolehkan mendoakan ampunan untuknya, memberikan sedekah atas namanya, atau memintakan pengampunan baginya setelah meninggal sebagai seorang kafir.
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Membaca ayat Kursi
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Baqarah: 255) (Dibaca 1 x)
Faedah: Siapa yang membacanya ketika petang, maka ia akan dilindungi (oleh Allah dari berbagai gangguan) hingga pagi. Siapa yang membacanya ketika pagi, maka ia akan dilindungi hingga petang.
Membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4) (Dibaca 3 x)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai Shubuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (QS. Al Falaq: 1-5) (Dibaca 3 x)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia.” (QS. An Naas: 1-6) (Dibaca 3 x)
Faedah: Siapa yang mengucapkannya masing-masing tiga kali ketika pagi dan petang, maka segala sesuatu akan dicukupkan untuknya.
أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ
Ash-bahnaa wa ash-bahal mulku lillah walhamdulillah, laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir. Robbi as-aluka khoiro maa fii hadzal yaum wa khoiro maa ba’dahu, wa a’udzu bika min syarri maa fii hadzal yaum wa syarri maa ba’dahu. Robbi a’udzu bika minal kasali wa su-il kibar. Robbi a’udzu bika min ‘adzabin fin naari wa ‘adzabin fil qobri.
Artinya:
“Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di alam kubur.” (Dibaca 1 x)
Faedah: Meminta pada Allah kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya, juga agar terhindar dari kejelekan di hari ini dan kejelekan sesudahnya. Di dalamnya berisi pula permintaan agar terhindar dari rasa malas padahal mampu untuk beramal, juga agar terhindar dari kejelekan di masa tua. Di dalamnya juga berisi permintaan agar terselamatkan dari siksa kubur dan siksa neraka yang merupakan siksa terberat di hari kiamat kelak.
اَللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ
Allahumma bika ash-bahnaa wa bika amsaynaa wa bika nahyaa wa bika namuutu wa ilaikan nusyuur.
Artinya:
“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu pagi, dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu petang. Dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami hidup dan dengan kehendak-Mu kami mati. Dan kepada-Mu kebangkitan (bagi semua makhluk).” (Dibaca 1 x)
Membaca Sayyidul Istighfar
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.
Allahumma anta robbii laa ilaha illa anta, kholaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mas-tatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu. Abu-u laka bi ni’matika ‘alayya wa abu-u bi dzambii. Fagh-firlii fainnahu laa yagh-firudz dzunuuba illa anta.
Artinya:
“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku pada-Mu (yaitu aku akan mentauhidkan-Mu) semampuku dan aku yakin akan janji-Mu (berupa surga untukku). Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” (Dibaca 1 x)
Faedah: Barangsiapa mengucapkan dzikir ini di siang hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati pada hari tersebut sebelum petang hari, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa yang mengucapkannya di malam hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati sebelum pagi, maka ia termasuk penghuni surga.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَصْبَحْتُ أُشْهِدُكَ وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلاَئِكَتَكَ وَجَمِيْعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ
Allahumma inni ash-bahtu usy-hiduka wa usy-hidu hamalata ‘arsyika wa malaa-ikatak wa jami’a kholqik, annaka antallahu laa ilaha illa anta wahdaka laa syariika lak, wa anna Muhammadan ‘abduka wa rosuuluk.
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku di waktu pagi ini mempersaksikan Engkau, malaikat yang memikul ‘Arys-Mu, malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tiada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau semata, tiada sekutu bagi-Mu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.” (Dibaca 4 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir ini ketika pagi dan petang hari sebanyak empat kali, maka Allah akan membebaskan dirinya dari siksa neraka.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ
Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fii diinii wa dun-yaya wa ahlii wa maalii. Allahumas-tur ‘awrootii wa aamin row’aatii. Allahummahfazh-nii mim bayni yadayya wa min kholfii wa ‘an yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fawqii wa a’udzu bi ‘azhomatik an ughtala min tahtii.
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau tenggelam dalam bumi dan lain-lain yang membuat aku jatuh).” (Dibaca 1 x)
Faedah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah meninggalkan do’a ini di pagi dan petang hari. Di dalamnya berisi perlindungan dan keselamatan pada agama, dunia, keluarga dan harta dari berbagai macam gangguan yang datang dari berbagai arah.
اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ
Allahumma ‘aalimal ghoybi wasy syahaadah faathiros samaawaati wal ardh. Robba kulli syai-in wa maliikah. Asyhadu alla ilaha illa anta. A’udzu bika min syarri nafsii wa min syarrisy syaythooni wa syirkihi, wa an aqtarifa ‘alaa nafsii suu-an aw ajurrohu ilaa muslim.
Artinya:
“Ya Allah, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Rabb pencipta langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku, setan dan balatentaranya (godaan untuk berbuat syirik pada Allah), dan aku (berlindung kepada-Mu) dari berbuat kejelekan terhadap diriku atau menyeretnya kepada seorang muslim.” (Dibaca 1 x)
Faedah: Do’a ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu untuk dibaca pada pagi, petang dan saat beranjak tidur.[
بِسْمِ اللَّهِ الَّذِى لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.
Artinya:
“Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca 3 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir tersebut sebanyak tiga kali di pagi hari dan tiga kali di petang hari, maka tidak akan ada bahaya yang tiba-tiba memudaratkannya.
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا
Rodhiitu billaahi robbaa wa bil-islaami diinaa, wa bi-muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallama nabiyya.
Artinya:
“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi.” (Dibaca 3 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir ini sebanyak tiga kali di pagi hari dan tiga kali di petang hari, maka pantas baginya mendapatkan ridha Allah.
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا
Yaa Hayyu Yaa Qoyyum, bi-rohmatika as-taghiits, wa ash-lih lii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin Abadan.
Artinya:
“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu).” (Dibaca 1 x)
Faedah: Dzikir ini diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Fathimah supaya diamalkan pagi dan petang.
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Ash-bahnaa ‘ala fithrotil islaam wa ‘alaa kalimatil ikhlaash, wa ‘alaa diini nabiyyinaa Muhammadin shallallahu ‘alaihi wa sallam, wa ‘alaa millati abiina Ibraahiima haniifam muslimaaw wa maa kaana minal musyrikin
Artinya:
“Di waktu pagi kami memegang agama Islam, kalimat ikhlas (kalimat syahadat), agama Nabi kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan agama bapak kami Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang musyrik.” (Dibaca 1 x di pagi hari saja)
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
Subhanallah wa bi-hamdih.
Artinya:
“Maha suci Allah, aku memuji-Nya.” (Dibaca 100 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan kalimat ‘subhanallah wa bi hamdih’ di pagi dan petang hari sebanyak 100 x, maka tidak ada yang datang pada hari kiamat yang lebih baik dari yang ia lakukan kecuali orang yang mengucapkan semisal atau lebih dari itu.
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.
Artinya:
“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 1o x)
Faedah: Barangsiapa yang membaca dzikir tersebut di pagi hari sebanyak sepuluh kali, Allah akan mencatatkan baginya 10 kebaikan, menghapuskan baginya 10 kesalahan, ia juga mendapatkan kebaikan semisal memerdekakan 10 budak, Allah akan melindunginya dari gangguan setan hingg petang hari. Siapa yang mengucapkannya di petang hari, ia akan mendapatkan keutamaan semisal itu pula.
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.
Artinya:
“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 100 x dalam sehari)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir tersebut dalam sehari sebanyak 100 x, maka itu seperti membebaskan 10 orang budak, dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus baginya 100 kesalahan, dirinya akan terjaga dari gangguan setan dari pagi hingga petang hari, dan tidak ada seorang pun yang lebih baik dari yang ia lakukan kecuali oleh orang yang mengamalkan lebih dari itu.
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
Subhanallah wa bi-hamdih, ‘adada kholqih wa ridhoo nafsih. wa zinata ‘arsyih, wa midaada kalimaatih.
Artinya:
“Maha Suci Allah, aku memujiNya sebanyak makhluk-Nya, sejauh kerelaan-Nya, seberat timbangan ‘Arsy-Nya dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya.” (Dibaca 3 x di waktu pagi saja)
Faedah: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Juwairiyah bahwa dzikir di atas telah mengalahkan dzikir yang dibaca oleh Juwairiyah dari selepas Shubuh sampai waktu Dhuha.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
Allahumma innii as-aluka ‘ilman naafi’a, wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa.
Artinya:
“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat (bagi diriku dan orang lain), rizki yang halal dan amal yang diterima (di sisi-Mu dan mendapatkan ganjaran yang baik).” (Dibaca 1 x setelah salam dari shalat Shubuh)
أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
Astagh-firullah wa atuubu ilaih.
Artinya:
“Aku memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya.” (Dibaca 100 x dalam sehari)
(Dari tenggelam matahari atau waktu Maghrib hingga pertengahan malam)
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Membaca ayat Kursi
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Baqarah: 255) (Dibaca 1 x)
Faedah: Siapa yang membacanya ketika petang, maka ia akan dilindungi (oleh Allah dari berbagai gangguan) hingga pagi. Siapa yang membacanya ketika pagi, maka ia akan dilindungi hingga petang.
Membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4) (Dibaca 3 x)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai Shubuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (QS. Al Falaq: 1-5) (Dibaca 3 x)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia.” (QS. An Naas: 1-6) (Dibaca 3 x)
Faedah: Siapa yang mengucapkannya masing-masing tiga kali ketika pagi dan petang, maka segala sesuatu akan dicukupkan untuknya.
أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ
Amsaynaa wa amsal mulku lillah walhamdulillah, laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir. Robbi as-aluka khoiro maa fii hadzihil lailah wa khoiro maa ba’dahaa, wa a’udzu bika min syarri maa fii hadzihil lailah wa syarri maa ba’dahaa. Robbi a’udzu bika minal kasali wa suu-il kibar. Robbi a’udzu bika min ‘adzabin fin naari wa ‘adzabin fil qobri.
Artinya:
“Kami telah memasuki waktu petang dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di kubur.” (Dibaca 1 x)
Faedah: Meminta pada Allah kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya, juga agar terhindar dari kejelekan di malam ini dan kejelekan sesudahnya. Di dalamnya berisi pula permintaan agar terhindar dari rasa malas padahal mampu untuk beramal, juga agar terhindar dari kejelekan di masa tua. Di dalamnya juga berisi permintaan agar terselamatkan dari siksa kubur dan siksa neraka yang merupakan siksa terberat di hari kiamat kelak.
اللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ أَصْبَحْنَا،وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوتُ، وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
Allahumma bika amsaynaa wa bika ash-bahnaa wa bika nahyaa wa bika namuutu wa ilaikal mashiir.
Artinya:
“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu petang, dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu pagi. Dengan rahmat dan pertolonganMu kami hidup dan dengan kehendakMu kami mati. Dan kepada-Mu tempat kembali (bagi semua makhluk).” (Dibaca 1 x)
Membaca Sayyidul Istighfar
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
Allahumma anta robbii laa ilaha illa anta, kholaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mas-tatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu. Abu-u laka bi ni’matika ‘alayya wa abu-u bi dzambii. Fagh-firlii fainnahu laa yagh-firudz dzunuuba illa anta.
Artinya:
“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku pada-Mu (yaitu aku akan mentauhidkan-Mu) semampuku dan aku yakin akan janji-Mu (berupa surga untukku). Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” (Dibaca 1 x)
Faedah: Barangsiapa mengucapkan dzikir ini di siang hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati pada hari tersebut sebelum petang hari, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa yang mengucapkannya di malam hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati sebelum pagi, maka ia termasuk penghuni surga.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَمْسَيْتُ أُشْهِدُكَ وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلاَئِكَتَكَ وَجَمِيْعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ
Allahumma inni amsaytu usy-hiduka wa usy-hidu hamalata ‘arsyika wa malaa-ikatak wa jami’a kholqik, annaka antallahu laa ilaha illa anta wahdaka laa syariika lak, wa anna Muhammadan ‘abduka wa rosuuluk.
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku di waktu petang ini mempersaksikan Engkau, malaikat yang memikul ‘Arys-Mu, malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tiada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau semata, tiada sekutu bagi-Mu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.” (Dibaca 4 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir ini ketika pagi dan petang hari sebanyak empat kali, maka Allah akan membebaskan dirinya dari siksa neraka.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ
Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fii diinii wa dun-yaaya wa ahlii wa maalii. Allahumas-tur ‘awrootii wa aamin row’aatii. Allahummahfazh-nii mim bayni yadayya wa min kholfii wa ‘an yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fawqii wa a’udzu bi ‘azhomatik an ugh-taala min tahtii.
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau tenggelam dalam bumi dan lain-lain yang membuat aku jatuh).” (Dibaca 1 x)
Faedah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah meninggalkan do’a ini di pagi dan petang hari. Di dalamnya berisi perlindungan dan keselamatan pada agama, dunia, keluarga dan harta dari berbagai macam gangguan yang datang dari berbagai arah.
اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ
Allahumma ‘aalimal ghoybi wasy-syahaadah faathiros samaawaati wal ardh. Robba kulli syai-in wa maliikah. Asyhadu alla ilaha illa anta. A’udzu bika min syarri nafsii wa min syarrisy-syaythooni wa syirkihi, wa an aqtarifa ‘alaa nafsii suu-an aw ajurrohu ilaa muslim.
Artinya:
“Ya Allah, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Rabb pencipta langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku, setan dan balatentaranya (godaan untuk berbuat syirik pada Allah), dan aku (berlindung kepada-Mu) dari berbuat kejelekan terhadap diriku atau menyeretnya kepada seorang muslim.” (Dibaca 1 x)
Faedah: Do’a ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Bakr Ash Shiddiq untuk dibaca pada pagi, petang dan saat beranjak tidur.
بِسْمِ اللَّهِ الَّذِى لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.
Artinya:
“Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca 3 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir tersebut sebanyak tiga kali di pagi hari dan tiga kali di petang hari, maka tidak akan ada bahaya yang tiba-tiba yang memudaratkannya.
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا
Rodhiitu billaahi robbaa wa bil-islaami diinaa, wa bi-muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallama nabiyyaa.
Artinya:
“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi.” (Dibaca 3 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan hadits ini sebanyak tiga kali di pagi hari dan tiga kali di petang hari, maka pantas baginya mendapatkan ridha Allah.
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا
Yaa Hayyu Yaa Qoyyum, bi-rohmatika as-taghiits, wa ash-lih lii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan.
Artinya:
“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu).” (Dibaca 1 x)
Faedah: Dzikir ini diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Fathimah supaya diamalkan pagi dan petang.
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
Subhanallah wa bi-hamdih.
Artinya:
“Maha suci Allah, aku memuji-Nya.” (Dibaca 100 x)
Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan kalimat ‘subhanallah wa bi hamdih’ di pagi dan petang hari sebanyak 100 x, maka tidak ada yang datang pada hari kiamat yang lebih baik dari yang ia lakukan kecuali orang yang mengucapkan semisal atau lebih dari itu.
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ
Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.
Artinya:
“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 1o x)
Faedah: Barangsiapa yang membaca dzikir tersebut di pagi hari sebanyak sepuluh kali, Allah akan mencatatkan baginya 10 kebaikan, menghapuskan baginya 10 kesalahan, ia juga mendapatkan kebaikan semisal memerdekakan 10 budak, Allah akan melindunginya dari gangguan setan hingg petang hari. Siapa yang mengucapkannya di petang hari, ia akan mendapatkan keutamaan semisal itu pula.
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
A’udzu bikalimaatillahit-taammaati min syarri maa kholaq.
Artinya:
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya.” (Dibaca 3 x pada waktu petang)
Faedah: Siapa yang mengucapkannya di petang hari, niscaya tidak ada racun atau binatang (seperti: kalajengking) yang mencelakakannya di malam itu.
Hawalah AAOIFI
Pernyataan Standar
1. Ruang Lingkup Standar
Standar ini mencakup transaksi Hawalah yang melibatkan pengalihan utang, yaitu pemindahan kewajiban utang dari satu pihak kepada pihak lain. Ruang lingkup standar ini tidak mencakup pengiriman uang melalui perbankan, kecuali jika pengiriman tersebut berbentuk Hawalah (pemindahan utang).
2. Definisi Hawalah
Hawalah utang adalah pemindahan kewajiban utang dari pihak pengalih (Muḥīl) kepada pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi). Adapun pemindahan hak adalah penggantian seorang kreditur dengan kreditur yang lain. Perbedaan antara pemindahan utang dan pemindahan hak ialah: dalam pemindahan utang, yang diganti adalah pihak yang berutang (debitur) dengan debitur lain; sedangkan dalam pemindahan hak, yang diganti adalah pihak yang berpiutang (kreditur) dengan kreditur lain.
3. Kebolehan Hawalah
3/1 Hawalah merupakan akad yang sah secara syar‘i dan bersifat akad tersendiri yang dilakukan atas dasar tabarru‘ (perbuatan kebaikan/kerelaan), bukan akad jual beli. Ia dibolehkan untuk memudahkan pembayaran dan penagihan.
3/2 Dianjurkan bagi pihak penerima pengalihan (Muhal) untuk menerima Hawalah apabila pihak yang akan menanggung pembayaran (Muḥal ‘Alaihi) diketahui mampu (mūsir) dan memiliki komitmen untuk melunasi pembayaran. Hal ini karena Hawalah memberi kemanfaatan bagi kreditur dan memberikan keringanan bagi debitur. Namun, apabila kondisi keuangan dan kredibilitas pihak yang akan menanggung pembayaran tidak diketahui, maka hukum Hawalah menjadi mubāḥ (sekadar boleh).
Penjelasan Istilah Syar‘i Penting:
Hawalah: Pengalihan utang dari satu pihak kepada pihak lain sesuai ketentuan fikih muamalah.
Muḥīl: Pihak yang mengalihkan utang (debitur awal).
Muḥal ‘Alaihi: Pihak yang dibebani membayar setelah pengalihan (debitur pengganti).
Muḥal: Pihak yang berpiutang/berhak menerima pembayaran.
Tabarru‘: Akad kebajikan tanpa tujuan komersial (misal sedekah, hibah).
Mubāḥ: Boleh, netral; tidak bernilai ibadah maupun makruh/haram.
Mūsir: Orang yang berkecukupan, mampu melunasi utang.
4. Bentuk Akad Hawalah
4/1 Akad Hawalah dapat disahkan melalui ijab (penawaran) dari pihak pengalih (Muḥīl) dan qabul (penerimaan) dari pihak yang berpiutang (Muḥal) dan pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) dengan cara yang jelas menunjukkan maksud para pihak untuk melaksanakan akad Hawalah dan memindahkan kewajiban utang dari satu pihak kepada pihak lain. Tidak disyaratkan harus menggunakan lafaz khusus seperti kata “pengalihan”.
4/2 Hawalah adalah akad yang bersifat mengikat (lazim). Oleh karena itu, tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
4/3 Disyaratkan bahwa pengalihan utang dalam Hawalah berlaku seketika (tanjīz), tidak digantung untuk jangka waktu tertentu, dan tidak bersifat sementara ataupun tergantung pada kejadian di masa depan. Namun, dibolehkan penundaan waktu pembayaran utang yang dialihkan sampai pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan.
5. Jenis-jenis Hawalah dan Ketentuan Hukumnya
5/1 Hawalah terbagi menjadi dua: Hawalah muqayyadah (terbatas) dan Hawalah muthlaqah (tidak terbatas).
5/1/1 Hawalah muqayyadah (terbatas) hukumnya boleh. Yaitu transaksi di mana pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) dibatasi untuk melunasi utang yang dialihkan hanya dari harta tertentu atau aset keuangan yang dimiliki oleh pihak pengalih (Muḥīl) dan berada dalam penguasaan pihak yang dibebani membayar tersebut.
5/1/2 Hawalah muthlaqah (tidak terbatas) juga hukumnya boleh. Ini adalah bentuk pengalihan utang di mana pihak pengalih (Muḥīl) tidak menjadi kreditur bagi pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi), namun Muḥal ‘Alaihi bersedia menanggung dan melunasi utang pihak pengalih dengan hartanya sendiri, kemudian menagih kembali kepada pihak pengalih setelah pelunasan, dengan syarat pengalihan pembayaran dilakukan atas perintah pihak pengalih.
5/1/3 Diperbolehkan melaksanakan Hawalah dengan cara pembayaran tunai saat itu juga (ḥālan). Ini adalah Hawalah di mana utang yang dialihkan kepada pihak yang dibebani membayar menjadi wajib dibayar seketika, baik utang itu sudah jatuh tempo kemudian dipindahkan untuk dilunasi segera, maupun utang yang belum jatuh tempo tetapi pihak penerima pengalihan (Muḥal) mensyaratkan agar dibayar seketika karena adanya akad Hawalah.
Catatan Istilah Penting:
Ijab-Qabul: Pernyataan penawaran dan penerimaan dalam akad.
Lazim: Mengikat dan tidak dapat dibatalkan sepihak.
Tanjīz: Berlaku langsung tanpa syarat penangguhan.
Muqayyadah: Terbatas pada sumber atau aset tertentu.
Muthlaqah: Tidak terbatas, dibayar dari harta pihak yang menanggung.
5/1/4 Diperbolehkan melaksanakan akad Hawalah dengan pembayaran tangguh (mu’ajjalah). Ini adalah Hawalah di mana utang yang dialihkan kepada pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) akan dilunasi di kemudian hari. Hal ini berlaku baik utang tersebut memang belum jatuh tempo dan dialihkan apa adanya, maupun utang yang sudah jatuh tempo tetapi pihak yang dibebani membayar mensyaratkan agar pelunasannya dilakukan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam kasus kedua, pihak yang dibebani membayar tidak boleh diminta pelunasan sebelum tanggal yang telah disepakati.
6. Syarat-syarat Hawalah
6/1 Kebolehan Hawalah mensyaratkan adanya kerelaan (persetujuan) dari seluruh pihak, yaitu pihak pengalih (Muḥīl), pihak yang berpiutang/penerima pengalihan (Muḥal), dan pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi).
6/2 Kebolehan Hawalah mensyaratkan bahwa pihak pengalih (Muḥīl) benar-benar berutang kepada pihak penerima pengalihan (Muḥal). Apabila seorang yang tidak berutang mengalihkan utang pihak lain, maka akad tersebut bukan Hawalah melainkan akad wakālah (perwakilan) untuk penagihan utang.
6/3 Tidak disyaratkan dalam Hawalah bahwa pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) berutang kepada pihak pengalih (Muḥīl). Apabila pihak yang dibebani membayar tidak berutang kepada pengalih, maka Hawalah tersebut termasuk Hawalah muthlaqah (tidak terbatas), sebagaimana dijelaskan pada butir 5/1/2.
6/4 Disyaratkan bahwa semua pihak dalam Hawalah memiliki kecakapan hukum (ahliyyah) untuk bertindak secara mandiri.
6/5 Disyaratkan dalam Hawalah bahwa utang yang dialihkan maupun utang yang menjadi sumber pelunasan harus jelas dan dapat dialihkan.
6/6 Disyaratkan dalam Hawalah muqayyadah (terbatas) bahwa jumlah utang yang dialihkan atau bagian dari utang yang dialihkan harus sepadan dengan utang yang dimiliki pihak pengalih kepada penerima pengalihan, baik dari segi jenis, macam, kualitas, maupun jumlah. Namun, diperbolehkan pengalihan sebagian kecil dari utang yang sepadan dengan utang penerima pengalihan untuk dilunasi dari jumlah utang yang lebih besar yang dimiliki pihak pengalih, dengan ketentuan bahwa penerima pengalihan hanya berhak menagih sebesar jumlah utang yang sepadan dengan haknya.
Catatan Istilah Penting:
Mu’ajjalah: Pembayaran yang ditangguhkan atau ditunda.
Wakālah: Akad perwakilan, misalnya untuk menagih atau mewakili urusan utang.
Ahliyyah: Kecakapan hukum/kelayakan bertindak dalam akad.
Muqayyadah: Hawalah terbatas pada harta atau aset tertentu.
Muthlaqah: Hawalah tidak terbatas, tidak bergantung pada aset tertentu.
7. Dampak Hawalah terhadap Hubungan antara Pengalih (Muḥīl) dan Penerima Pengalihan (Muḥal)
7/1 Hawalah yang sah menggugurkan kewajiban utang pihak pengalih (Muḥīl) beserta seluruh tuntutan yang terkait. Dengan kata lain, pihak penerima pengalihan (Muḥal) tidak lagi memiliki hak menuntut pelunasan dari pengalih. Namun, apabila penerimaan pengalihan disertai syarat bahwa pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) harus dalam keadaan mampu (mūsir), maka penerima pengalihan berhak menuntut kembali kepada pengalih jika ternyata pihak yang dibebani membayar tidak mampu (mu‘sir).
7/2 Penerima pengalihan berhak menuntut kembali kepada pengalih dalam keadaan-keadaan berikut:
(I) Pihak yang dibebani membayar meninggal dunia dalam keadaan bangkrut sebelum utang dilunasi.
(II) Lembaga atau badan usaha yang menjadi pihak yang dibebani membayar dilikuidasi dalam kondisi pailit sebelum utang dilunasi.
(III) Pihak yang dibebani membayar dinyatakan pailit ketika masih hidup, atau ia mengingkari telah mengadakan akad Hawalah dan mengucapkan sumpah di pengadilan, serta tidak ada bukti yang dapat membatalkan sumpahnya.
(IV) Lembaga atau badan usaha yang menjadi pihak yang dibebani membayar dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.
8. Dampak Hawalah terhadap Hubungan antara Pengalih (Muḥīl) dan Pihak yang Dibebani Membayar (Muḥal ‘Alaihi)
Setelah terlaksananya Hawalah muqayyadah (terbatas), pihak pengalih (Muḥīl) tidak lagi berhak menagih kembali kepada pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) atas jumlah yang telah dialihkan untuk melunasi utang, karena hak untuk menerima pembayaran tersebut telah berpindah kepada pihak penerima pengalihan (Muḥal).
9. Dampak Hawalah terhadap Hubungan antara Penerima Pengalihan (Muḥal) dan Pihak yang Dibebani Membayar (Muḥal ‘Alaihi)
9/1 Penerima pengalihan (Muḥal) berhak menuntut jumlah utang yang dialihkan kepadanya melalui Hawalah dari pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) sesuai dengan ketentuan dalam akad Hawalah. Sebaliknya, pihak yang dibebani membayar berkewajiban melunasi utang tersebut dan tidak berhak menolak pembayaran.
9/2 Pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) menempati posisi pihak pengalih (Muḥīl) dalam segala hak, perlindungan hukum, dan kewajiban. Demikian pula, dalam Hawalah muqayyadah, penerima pengalihan (Muḥal) menggantikan posisi pengalih dalam segala hak, perlindungan hukum, dan kewajiban terhadap pihak yang dibebani membayar.
Catatan Istilah Penting:
Mūsir: Orang yang mampu membayar utang.
Mu‘sir: Orang yang tidak mampu membayar utang (bangkrut/pailit).
Pailit: Keadaan bangkrut atau tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan.
Muqayyadah: Hawalah yang terbatas pada aset/harta tertentu.
10. Dampak Kematian dan Kepailitan terhadap Transaksi Hawalah
10/1 Hawalah tidak gugur karena meninggalnya pihak pengalih (Muḥīl) atau dilikuidasinya lembaga/badan usaha pengalih. Pihak penerima pengalihan (Muḥal) tetap menjadi pemilik tunggal atas jumlah utang yang wajib dibayar oleh pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi). Dengan demikian, setelah terjadinya Hawalah, utang tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam harta peninggalan atau aset likuidasi pengalih yang akan dibagikan kepada para kreditur secara proporsional.
10/2 Transaksi Hawalah tidak gugur karena meninggalnya pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi) atau dilikuidasinya lembaga/badan usaha yang berperan sebagai pihak yang dibebani membayar. Dalam kondisi ini, penerima pengalihan (Muḥal) tetap berhak menuntut pembayaran dari harta warisan pihak yang dibebani membayar, dari penjamin pribadi jika ada, atau dari aset lembaga yang dilikuidasi sebelum didistribusikan. Akan tetapi, apabila pihak yang dibebani membayar meninggal dunia dalam keadaan pailit, maka penerima pengalihan berhak menuntut kembali kepada pengalih (Muḥīl) sebagaimana ketentuan pada butir 7/2.
10/3 Transaksi Hawalah tidak gugur karena meninggalnya penerima pengalihan (Muḥal). Dalam hal ini, para ahli waris menggantikan kedudukan penerima pengalihan. Demikian pula, Hawalah tidak batal apabila lembaga/badan usaha penerima pengalihan dilikuidasi; likuidatornya mengambil alih posisi lembaga tersebut untuk tujuan penyelesaian.
11. Berakhirnya Kewajiban Hawalah
Kewajiban Hawalah berakhir dengan cara: (1) pelunasan utang, atau (2) kesepakatan bersama untuk mengakhiri akad, atau (3) penghapusan utang (ibra’) oleh pihak penerima pengalihan (Muḥal).
12. Penerapan Modern dari Ketentuan Hawalah
12/1 Penarikan dari Rekening Giro (Current Account)
Penerbitan cek atas rekening giro merupakan bentuk Hawalah apabila penerima cek adalah pihak yang berpiutang kepada penerbit atau pemilik rekening sebesar nilai cek tersebut. Dalam hal ini, penerbit cek bertindak sebagai pengalih (Muḥīl), bank sebagai pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi), dan penerima cek sebagai penerima pengalihan (Muḥal). Namun, apabila penerima cek bukan pihak yang berpiutang kepada penerbit, maka transaksi tersebut bukan Hawalah karena tidak ada utang yang mendasarinya. Dalam ketiadaan utang, transaksi itu termasuk akad wakālah (perwakilan) untuk penagihan dana atas nama pengalih, dan hal tersebut dibolehkan menurut syariah.
Catatan Istilah Penting:
Ibra’: Penghapusan utang oleh pihak yang berhak menagih.
Likuidasi: Pembubaran badan usaha/lembaga dan pembagian harta kepada pihak yang berhak.
Wakālah: Akad perwakilan, misalnya untuk penagihan atau pengelolaan dana.
Giro (Current Account): Rekening bank yang memungkinkan penarikan dan penerbitan cek.
12/2 Penarikan Melebihi Saldo Rekening (Overdraft)
Apabila penerima dana dari suatu cek adalah pihak yang berpiutang kepada penerbit cek, maka penerbitan cek atas rekening penerbit yang tidak memiliki saldo termasuk Hawalah muthlaqah (tidak terbatas) jika bank menyetujui penarikan melebihi saldo (overdraft). Namun, apabila bank menolak overdraft tersebut, maka hal itu bukan dianggap sebagai pengalihan utang (Hawalah). Dalam hal ini, pihak penerima cek tetap dapat menagih secara langsung kepada penerbit cek.
12/3 Cek Wisata (Travellers’ Cheques)
Pemegang cek wisata, yang telah membayar nilai cek tersebut kepada lembaga penerbit, adalah pihak yang berpiutang kepada lembaga penerbit tersebut. Apabila pemegang cek wisata meng-endors (mengalihkan) cek itu kepada krediturnya, maka hal tersebut menjadi pengalihan utang (Hawalah) kepada pihak ketiga atas lembaga penerbit yang berutang kepada pemegang cek. Ini termasuk Hawalah muqayyadah (terbatas), di mana jumlah utang yang dialihkan adalah sebesar nilai cek yang telah dibayarkan kepada lembaga penerbit.
12/4 Bills of Exchange (Wesel)
12/4/1 Bill of exchange (wesel) merupakan bentuk Hawalah apabila penerima manfaat (pemegang wesel) adalah pihak yang berpiutang kepada penarik wesel (drawer). Dalam hal ini, penarik wesel berperan sebagai pengalih (Muḥīl) yang memerintahkan bank pembayar untuk membayarkan sejumlah uang pada tanggal tertentu kepada penerima manfaat yang ditentukan. Pihak yang melaksanakan pembayaran adalah pihak yang dibebani membayar (Muḥal ‘Alaihi), sedangkan penerima manfaat atau pemegang wesel adalah penerima pengalihan (Muḥal). Namun, apabila penerima manfaat bukan pihak yang berpiutang kepada penarik wesel, maka penerbitan bill of exchange tersebut bukan Hawalah, tetapi akad wakālah (perwakilan) untuk menagih atau mencairkan dana atas nama penarik wesel.
12/4/2 Apabila tidak terdapat hubungan utang-piutang antara penarik wesel (drawer) dengan bank pembayar, maka penerbitan bill of exchange menjadi Hawalah muthlaqah (tidak terbatas).
Catatan Istilah Penting:
Overdraft: Penarikan dana melebihi saldo rekening yang diizinkan oleh bank.
Travellers’ Cheque: Cek perjalanan yang dapat diuangkan di berbagai tempat dan telah dibayar sebelumnya oleh pemegangnya kepada lembaga penerbit.
Bill of Exchange / Wesel: Surat perintah bayar yang mengikat pihak tertentu (misalnya bank) untuk membayar sejumlah uang kepada pemegangnya pada waktu tertentu.
Endors / Endosemen: Pengalihan hak tagih atau kepemilikan cek/wesel kepada pihak lain.
Wakālah: Akad perwakilan untuk menagih atau mengurus hak keuangan.
12/5 Endosemen Instrumen yang Dapat Dinegosiasikan (Negotiable Instrument)
12/5/1 Endosemen (endorsement) atas suatu instrumen yang dapat dinegosiasikan—dengan cara yang memindahkan hak kepemilikan nilainya kepada penerima manfaat—termasuk bentuk Hawalah apabila penerima manfaat tersebut adalah pihak yang berpiutang kepada pemberi endosemen (endorser). Namun, jika penerima manfaat bukan pihak yang berpiutang kepada pemberi endosemen, maka endosemen tersebut termasuk akad wakālah (perwakilan) untuk penagihan dana.
12/5/2 Endosemen atas bill of exchange (wesel) atas nama nasabah yang meminta lembaga keuangan untuk memasukkan dana hasil pencairan wesel tersebut ke dalam rekeningnya bukan Hawalah. Akad ini termasuk wakālah (perwakilan), yang dibolehkan dengan imbalan (ujrah) maupun tanpa imbalan.
12/5/3 Mengacu pada butir 12/5/1, dibolehkan bagi penerima manfaat pertama dari bill of exchange untuk meng-endors (mengalihkan) wesel tersebut kepada pihak lain. Penerima manfaat kedua juga boleh meng-endors-nya kepada pihak ketiga, dan seterusnya. Perputaran endosemen semacam ini merupakan bentuk Hawalah berantai (successive Hawalah) yang tidak dilarang dalam syariah.
12/5/4 Tidak diperbolehkan mendiskontokan bill of exchange dengan cara memindahkan kepemilikan nilainya kepada lembaga atau pihak lain sebelum jatuh tempo untuk memperoleh pembayaran tunai yang didiskon. Transaksi semacam ini termasuk praktik riba yang dilarang.
Catatan Istilah Penting:
Endosemen / Endorsement: Pengalihan hak kepemilikan atau hak tagih pada cek/wesel kepada pihak lain.
Negotiable Instrument: Surat berharga yang dapat dipindahtangankan, seperti cek dan wesel.
Wakālah: Akad perwakilan untuk menagih atau mengelola dana.
Ujrah: Imbalan atau fee atas jasa dalam akad wakālah.
Riba: Tambahan yang diharamkan dalam transaksi utang-piutang atau jual beli uang.
Successive Hawalah: Hawalah yang dilakukan secara berantai dari satu pihak ke pihak lain.
12/6 Transfer Dana (Remittances)
Permintaan nasabah kepada lembaga keuangan untuk mentransfer sejumlah dana dalam mata uang yang sama dari rekening giro (current account) miliknya kepada penerima tertentu termasuk Hawalah apabila pemohon transfer tersebut memang berutang kepada penerima. Imbalan (fee) yang diperoleh lembaga keuangan dari transaksi ini merupakan kompensasi atas jasa pengiriman dana, bukan tambahan nilai atas jumlah yang ditransfer.
Namun, apabila pengiriman dana dilakukan dalam mata uang yang berbeda dari mata uang yang diserahkan pemohon, maka transaksi tersebut menjadi gabungan antara akad ṣarf (pertukaran mata uang) dan pengiriman dana (Hawalah), yang diperbolehkan menurut syariah. [lihat butir 2/11 dalam Standar Syariah tentang Perdagangan Mata Uang].
13. Tanggal Penerbitan Standar
Standar ini diterbitkan pada bulan Rabi‘ul Awwal 1423 H, bertepatan dengan 16 Mei 2002 M.
Catatan Istilah Penting:
Remittances / Transfer Dana: Pengiriman uang dari satu pihak ke pihak lain melalui lembaga keuangan.
Current Account (Rekening Giro): Rekening bank yang memungkinkan penarikan dan transfer dana kapan saja.
Ṣarf: Akad pertukaran mata uang, yang diatur dengan ketentuan khusus dalam fikih muamalah.
Yurbi Shadaqat
SIP
https://insanpeduli.org/zakat-solidaritas-insan-peduli/
Muhajir Peduli
https://www.instagram.com/lazmuhajir/
LAZ Rabbani
https://lazrabbani.or.id/
وقد سئل علماء اللجنة الدائمة للإفتاء : كان لي مساهمات في شركة ، وأفلست هذه الشركة قبل 25 عاما ، وكان هناك أوصياء على الشركة ، اشتروا بالمبلغ المتبقي أسهما في بنك الرياض قبل 25 عاما ، بمبلغ 1000 ريال للسهم الواحد ، والآن ثمن السهم الواحد ثلاثين ألف ، وأنا بحاجة لهذا المبلغ ، فهل يجوز لي أن آخذ المبلغ الحالي للسهم ؟ علما بأن شراءهم لأسهم هذا بنك الرياض تم بدون علمنا طيلة هذه المدة .
فأجابوا: "تسلم المبلغ كله ، أصله وفائدته ، ثم أمسك أصله ؛ لأنه ملك لك ، وتصدق بالفائدة في وجوه الخير ؛ لأنها ربا ، والله يغنيك من فضله ويعوضك خيرا منها ، ويعينك على قضاء حاجتك ، ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب ، ومن يتوكل على الله فهو حسبه .
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم" انتهى .
عبد العزيز بن عبد الله بن باز .. عبد الرزاق عفيفي .. عبد الله بن غديان .. عبد الله بن قعود .
"فتاوى اللجنة الدائمة" (13/506) .
وسئلوا أيضا (13/508) : ما حكم المساهمة في الشركات والبنوك ؟ وهل يجوز للشخص المكتتب في شركة أو بنك أن يبيع الأسهم الخاصة بعد الاكتتاب على مكاتب بيع وشراء الأسهم ، ومن المحتمل بيعها بزيادة عن قيمة ما اكتتب به الشخص ؟ وما حكم الفائدة التي يأخذها المكتتب كل سنة عن قيمة أسهمه المكتتب فيها ؟
فأجابوا : "المساهمة في البنوك أو الشركات التي تتعامل بالربا لا تجوز ، وإذا أراد المكتتب أن يتخلص من مساهمته الربوية فيبيع أسهمه بما تساوي في السوق ، ويأخذ رأس ماله الأصلي فقط ، والباقي ينفقه في وجوه البر ، ولا يحل له أن يأخذ شيئاً من فوائد أسهمه أو أرباحها الربوية ، أما إن كانت المساهمة في شركة لا تتعامل بالربا فأرباحها حلال " انتهى .
Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ pernah ditanya:
“Saya mempunyai beberapa saham di perusahaan, perusahaan tersebut mengalami inflasi sejak 25 tahun yang lalu, perusahaan tersebut mempunyai beberapa pengawas, uang yang tersisa oleh mereka dipakai untuk membeli saham di bank Riyadh sebelum 25 tahun lalu dengan harga 1000 riyal per saham, sekarang satu saham harganya 3000 riyal. Saat ini saya sangat membutuhkan dana, apakah sekarang saya boleh mengambil uang yang untuk saham ?, agar diketahui juga bahwa mereka membelikan saham di bank Riyadh tersebut tanpa sepengetahuan kami selama ini.
Mereka menjawab:
“Ambil uang anda semuanya baik pokok dan bunganya, lalu ambil pokoknya; karena itu menjadi hak milik anda, adapun bunganya sedekahkan pada jalur kebaikan; karena hal itu riba. Semoga Allah akan menjadikan kaya dengan karunia-Nya dan mengganti anda dengan yang lebih baik lagi dan membantu anda untuk menutupi kebutuhan anda. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rizeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dia akan mencukupkannya. Dan Allah adalah Dzat Pemberi Taufik, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya”.
(Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razzaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadyan, Abdullah bin Qu’ud)
(Fatawa Lajnah Daimah: 13/506)
Mereka juga pernah ditanya (13/506):
“Bagaimanakah hukumnya ikut membeli saham pada perusahaan dan bank ?, apakah diperbolehkan bagi seseorang yang berlangganan pada perusahaan atau bank tersebut menjual saham khususnya kepada kantor-kantor pemasaran saham, dan ada kemungkinannya harga jualnya melebihi harga yang sudah menjadi langganan orang tersebut ?, bagaimanakah hukumnya bunga yang diambil oleh pelanggan setiap tahunnya dari nilai sahamnya ?
Mereka menjawab:
“Saham di bank dan perusahaan yang menggunakan system riba tidak boleh, jika pelanggan ingin membebaskan diri dari saham ribawinya hendaknya menjual sahamnya sesuai dengan harga pasar lalu diambil modal asalnya saja, sedangkan sisanya diinfakkan pada jalan kebaikan, tidak dihalalkan baginya untuk mengambil sedikitpun dari bunga atau keuntungan dari saham ribawinya. Adapun jika sahamnya tersebut diinvestasikan pada perusahaan yang tidak mengandung riba, maka keuntungannya adalah halal”.
بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ هَلْ تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ إِذَا كَانَتْ صَحْوًا قُلْنَا لَا قَالَ فَإِنَّكُمْ لَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ رَبِّكُمْ يَوْمَئِذٍ إِلَّا كَمَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَتِهِمَا ثُمَّ قَالَ يُنَادِي مُنَادٍ لِيَذْهَبْ كُلُّ قَوْمٍ إِلَى مَا كَانُوا يَعْبُدُونَ فَيَذْهَبُ أَصْحَابُ الصَّلِيبِ مَعَ صَلِيبِهِمْ وَأَصْحَابُ الْأَوْثَانِ مَعَ أَوْثَانِهِمْ وَأَصْحَابُ كُلِّ آلِهَةٍ مَعَ آلِهَتِهِمْ حَتَّى يَبْقَى مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ مِنْ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ وَغُبَّرَاتٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ ثُمَّ يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ تُعْرَضُ كَأَنَّهَا سَرَابٌ فَيُقَالُ لِلْيَهُودِ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ قَالُوا كُنَّا نَعْبُدُ عُزَيْرَ ابْنَ اللَّهِ فَيُقَالُ كَذَبْتُمْ لَمْ يَكُنْ لِلَّهِ صَاحِبَةٌ وَلَا وَلَدٌ فَمَا تُرِيدُونَ قَالُوا نُرِيدُ أَنْ تَسْقِيَنَا فَيُقَالُ اشْرَبُوا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي جَهَنَّمَ ثُمَّ يُقَالُ لِلنَّصَارَى مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ فَيَقُولُونَ كُنَّا نَعْبُدُ الْمَسِيحَ ابْنَ اللَّهِ فَيُقَالُ كَذَبْتُمْ لَمْ يَكُنْ لِلَّهِ صَاحِبَةٌ وَلَا وَلَدٌ فَمَا تُرِيدُونَ فَيَقُولُونَ نُرِيدُ أَنْ تَسْقِيَنَا فَيُقَالُ اشْرَبُوا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي جَهَنَّمَ حَتَّى يَبْقَى مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ مِنْ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ فَيُقَالُ لَهُمْ مَا يَحْبِسُكُمْ وَقَدْ ذَهَبَ النَّاسُ فَيَقُولُونَ فَارَقْنَاهُمْ وَنَحْنُ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَيْهِ الْيَوْمَ وَإِنَّا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِيَلْحَقْ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ وَإِنَّمَا نَنْتَظِرُ رَبَّنَا قَالَ فَيَأْتِيهِمْ الْجَبَّارُ فِي صُورَةٍ غَيْرِ صُورَتِهِ الَّتِي رَأَوْهُ فِيهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ فَيَقُولُ أَنَا رَبُّكُمْ فَيَقُولُونَ أَنْتَ رَبُّنَا فَلَا يُكَلِّمُهُ إِلَّا الْأَنْبِيَاءُ فَيَقُولُ هَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ آيَةٌ تَعْرِفُونَهُ فَيَقُولُونَ السَّاقُ فَيَكْشِفُ عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ لِلَّهِ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَيَذْهَبُ كَيْمَا يَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجَسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجَسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ الْمُؤْمِنُ عَلَيْهَا كَالطَّرْفِ وَكَالْبَرْقِ وَكَالرِّيحِ وَكَأَجَاوِيدِ الْخَيْلِ وَالرِّكَابِ فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ وَنَاجٍ مَخْدُوشٌ وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَمُرَّ آخِرُهُمْ يُسْحَبُ سَحْبًا فَمَا أَنْتُمْ بِأَشَدَّ لِي مُنَاشَدَةً فِي الْحَقِّ قَدْ تَبَيَّنَ لَكُمْ مِنْ الْمُؤْمِنِ يَوْمَئِذٍ لِلْجَبَّارِ وَإِذَا رَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ نَجَوْا فِي إِخْوَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِخْوَانُنَا كَانُوا يُصَلُّونَ مَعَنَا وَيَصُومُونَ مَعَنَا وَيَعْمَلُونَ مَعَنَا فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى اذْهَبُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ إِيمَانٍ فَأَخْرِجُوهُ وَيُحَرِّمُ اللَّهُ صُوَرَهُمْ عَلَى النَّارِ فَيَأْتُونَهُمْ وَبَعْضُهُمْ قَدْ غَابَ فِي النَّارِ إِلَى قَدَمِهِ وَإِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ فَيُخْرِجُونَ مَنْ عَرَفُوا ثُمَّ يَعُودُونَ فَيَقُولُ اذْهَبُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ مَنْ عَرَفُوا ثُمَّ يَعُودُونَ فَيَقُولُ اذْهَبُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ إِيمَانٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ مَنْ عَرَفُوا قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَإِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي فَاقْرَءُوا { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا } فَيَشْفَعُ النَّبِيُّونَ وَالْمَلَائِكَةُ وَالْمُؤْمِنُونَ فَيَقُولُ الْجَبَّارُ بَقِيَتْ شَفَاعَتِي فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ أَقْوَامًا قَدْ امْتُحِشُوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهَرٍ بِأَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ مَاءُ الْحَيَاةِ فَيَنْبُتُونَ فِي حَافَتَيْهِ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ قَدْ رَأَيْتُمُوهَا إِلَى جَانِبِ الصَّخْرَةِ وَإِلَى جَانِبِ الشَّجَرَةِ فَمَا كَانَ إِلَى الشَّمْسِ مِنْهَا كَانَ أَخْضَرَ وَمَا كَانَ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ كَانَ أَبْيَضَ فَيَخْرُجُونَ كَأَنَّهُمْ اللُّؤْلُؤُ فَيُجْعَلُ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِيمُ فَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ فَيَقُولُ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ الرَّحْمَنِ أَدْخَلَهُمْ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ فَيُقَالُ لَهُمْ لَكُمْ مَا رَأَيْتُمْ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Bukair] telah menceritakan kepada kami [Allaits bin Sa'd] dari [Khalid bin Yazid] dari [Sa'id bin Abu Hilal] dari [Zaid] dari ['Atha' bin Yasar] dari [Abu Sa'id Al Khudzri] berkata, "Kami bertanya, "Ya Rasulullah, apakah kita akan melihat Tuhan kita pada hari kiamat?" Nabi balik bertanya: "Apakah kalian merasa kesulitan melihat matahari dan bulan ketika terang benderang?" kami menjawab, "Tidak." Nabi meneruskan: "Begitulah kalian tidak kesulitan melihat melihat Tuhan kalian ketika itu, selain sebagaimana kesulitan kalian melihat keduanya." Kemudian beliau berkata: "Lantas ada seorang penyeru memanggil-manggil, "Hendaklah setiap kaum pergi menemui yang disembahnya!" Maka pemuja salib pergi bersama salib mereka, dan pemuja patung menemui patung-patung mereka, dan setiap pemuja Tuhan bersama tuhan-tuhan mereka hingga tinggal orang-orang yang menyembah Allah, entah baik atau durhaka dan ahli kitab terdahulu. Kemudian jahannam didatangkan dan dipasang, ia seolah-olah fatamorgana, lantas orang-orang yahudi ditanya, "Apa yang dahulu kalian sembah?" Mereka menjawab, "Kami dahulu menyembah Uzair anak Allah." Lalu ada suara, "Kalian dusta! Allah sama sekali tidak mempunyai isteri dan tidak pula anak." Lalu apa yang kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Kami ingin jika Engkau memberi kami minuman!" Lantas ada suara, "Minumlah kalian!" Lalu mereka berjatuhan di neraka jahannam. Lantas orang-orang Nashara diseru, "Apa yang kalian dahulu sembah?" Mereka menjawab, "Kami dahulu menyembah Isa al Masih, anak Anak Allah." Mereka dijawab, "Kamu semua bohong! Allah sama sekali tidak mempunyai isteri atau bahkan anak, dan apa yang kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Kami ingin agar Engkau memberi kami minuman!" Lalu dijawab, "Minumlah kalian!" Dan langsung mereka berjatuhan di neraka jahannam hingga tersisa manusia yang menyembah Allah, entah yang baik atau berbuat durhaka. Mereka ditanya, "Apa yang menyebabkan kalian tertahan padahal manusia lainnya sudah pergi?" Mereka menjawab, "Kami memisahkan diri dari mereka dan kami adalah manusia yang paling membutuhkan-Nya, kami dengar ada seorang juru seru menyerukan diri, "Hendaklah setiap kaum menemui yang mereka sembah! Hanyasanya kami menunggu-nunggu Tuhan kami." Beliau melanjutkan, "Lantas Allah (Al jabbar) mendatangi mereka dengan bentuk yang belum pernah mereka lihat pertama kali, lalu Allah firmankan: 'Akulah Tuhan kalian.' Mereka menjawab, 'Engkau adalah rabb kami, dan tidak ada yang berani mengajak-Nya bicara selain para nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lantas para nabi berkata, 'Bukankah di antara kalian dan Allah ada tanda yang kalian mengenalnya? ' Mereka menjawab, 'Ya, yaitu betis, ' maka Allah pun menyingkap betis-Nya sehingga setiap mukmin bersujud kepada-Nya. Lalu tersisalah orang-orang yang sujud kepada Allah karena riya dan sum'ah sehingga ia pergi sujud dan punggungnya kembali menjadi satu bagian, kemudian titian (jembatan) jahannam didatangkan dan dipasang antara dua tepi jahannam, kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, memang jembatan jahannam tersebut misterinya apa? ' Nabi menjawab: 'Jembatan itu bisa menggelincirkan, menjatuhkan, ada pengait-pengait besi, ada duri-duri yang lebar dan tajam, durinya besok yang terbuat dari kayu berduri namanya Sa'dan (kayu berduri tajam). Orang mukmin yang melewatinya sedemikian cepat, ada yang bagaikan kedipan mata, ada yang bagaikan kilat, ada yang bagaikan angin, dan ada yang bagaikan kuda pilihan. Ada yang bagaikan kuda tunggangan, ada yang selamat dengan betul-betul terselamatkan, namun ada juga yang selamat setelah tercabik-cabik oleh besi-besi pengait itu, atau terlempar karenanya di neraka jahannam, hingga manusia terakhir kali melewati dengan diseret seret, dan kalian tidak bisa sedemikian gigihnya menyumpahiku terhadap kebenaran yang jelas bagi kalian daripada terhadap seorang mukmin ketika itu kepada Allah Al Jabbar. Jika mereka melihat bahwasanya mereka telah selamat di kalangan teman-teman mereka, mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kawan-kawan kami mendirikn shalat bersama kami dan berpuasa bersama kami, dan beramal bersama kami! ' Allah Ta'ala berfirman, 'Pergilah kalian, siapa diantara kalian dapatkan dalam hatinya masih ada seberat dinar keimanan, maka keluarkanlah dia', dan Allah mengharamkan bentuk mereka dalam neraka. Maka mereka datangi kawan-kawan mereka sedang sebagian mereka telah terendam dalam neraka ada yang sampai telapak kakinya, setengah betisnya, sehingga mereka keluarkan siapa saja yang mereka, kemudian mereka kembali dan Allah berkata, 'Pergilah kalian sekali lagi, dan siapa yang kalian temukan dalam hatinya seberat atom keimanan, maka keluarkanlah dia.' Maka mereka keluarkan siapa saja yang mereka kenal." Rasulullah berkata: 'Jika kalian tidak mempercayaiku, maka bacalah: '(Allah tidak menzhalimi seberat biji sawi pun, jika ada kebaikan, maka Allah melipatgandakan balasannya) ' (Qs. An nisaa': 40), maka para nabi shallallahu 'alaihi wasallam, malaikat dan orang-orang yang beriman, kesemuanya memberi syafaat. Kemudian Allah Al Jabbar berkata, syafaat-Ku masih ada. Lantas Allah menggenggam segenggam dari neraka dan mengentaskan beberapa kaum yang mereka telah terbakar, lantas mereka dilempar ke sebuah sungai di pintu surga yang namanya 'Sungai kehidupan' sehingga mereka tumbuh dalam kedua tepinya sebagaimana biji-bijian tumbuh dalam genangan sungai yang kalian sering melihatnya di samping batu karang dan samping pohon, apa yang diantaranya condong kepada matahari, maka berwarna hijau, dan apa yang diantaranya condong kepada bayangan, maka berwarna putih, lantas mereka muncul seolah-olah mutiara dan dalam tengkuk mereka terdapat cincin-cincin. Mereka kemudian masuk surga hingga penghuni surga berkata, 'Mereka adalah 'utaqa' Ar Rahman (orang-orang yang dibebaskan Arrahman), Allah memasukkan mereka bukan karena amal yang mereka lakukan, dan bukan pula karena kebaikan yang mereka persembahkan sehingga mereka memperoleh jawaban 'Bagimu yang kau lihat dan semisalnya'."
Syafaat pada hari kiamat nanti tidak akan terjadi kecuali kalau terpenuhi tiga syaranya, hal itu telah ditunjukkan dalam Firman-Nya:
وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm: 26)
Dan firman-Nya:
يَوْمَئِذٍ لا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً
“Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Toha: 109)
Dan firman-Nya :
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يَشْفَعُونَ إِلا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
“Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya: 28)
Serta firman-Nya:
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (QS. Al-Baqarah: 255)
Syaratnya adalah:
1. Izin Allah subhanahu wata’ala kepada orang yang memberi syafaat untuk memberi syafaat.
2. Keredoaan Allah Subahanhu kepada orang yang memberi syafaat.
3. Keredaoan-Nya kepada orang yang akan diberi syafaat.
Terdapat riwayat dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bahwa sebagian orang tidak diterima syafaatnya pada hari kiamat, di antara mereka adalah orang yang seringkali melaknat. Diriwayatkan oleh Muslim (2598) dari Abu Darda’ berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّعَّانِينَ لا يَكُونُونَ شُهَدَاءَ وَلا شُفَعَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang yang seringkali melaknat, mereka tidak akan menjadi saksi dan tidak dapat memberi syafaat pada hari kiamat.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu ta'ala pernah ditanya: Bolehkah wanita menyembelih hewan sembelihan?
Beliau menjawab:
نعم، إذا كانت تحسن الذبح لا بأس، وقد أقر النبي ﷺ المرأة على ذبح بعض الغنم، فالمقصود أن المرأة كالرجل لها أن تذبح الذبيحة الغنم والبقر والإبل لا بأس، إذا كانت تعرف ذلك فذبيحتها حل إذا كانت مسلمة أو كتابية
Ya (boleh), kalau dia pandai menyembelih, tidak ada masalah, dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menyetujui seorang perempuan menyembelih beberapa ekor kambing. Maksudnya, seorang wanita seperti laki-laki, dia berhak menyembelih domba, sapi, dan unta. Tidak apa-apa. ini bila dia mengetahui hal itu, sembelihannya halal jika dia beragama Islam atau ahli kitab.
Ulama Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya:
“Saya mempunyai beberapa saham di perusahaan, perusahaan tersebut mengalami inflasi sejak 25 tahun yang lalu, perusahaan tersebut mempunyai beberapa pengawas, uang yang tersisa oleh mereka dipakai untuk membeli saham di bank Riyadh sebelum 25 tahun lalu dengan harga 1000 riyal per saham, sekarang satu saham harganya 3000 riyal. Saat ini saya sangat membutuhkan dana, apakah sekarang saya boleh mengambil uang yang untuk saham ?, agar diketahui juga bahwa mereka membelikan saham di bank Riyadh tersebut tanpa sepengetahuan kami selama ini.
Mereka menjawab:
“Ambil uang anda semuanya baik pokok dan bunganya, lalu ambil pokoknya; karena itu menjadi hak milik anda, adapun bunganya sedekahkan pada jalur kebaikan; karena hal itu riba. Semoga Allah akan menjadikan kaya dengan karunia-Nya dan mengganti anda dengan yang lebih baik lagi dan membantu anda untuk menutupi kebutuhan anda. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rizeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dia akan mencukupkannya. Dan Allah adalah Dzat Pemberi Taufik, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya”.
(Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razzaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadyan, Abdullah bin Qu’ud)
(Fatawa Lajnah Daimah: 13/506)
Mereka juga pernah ditanya (13/506):
“Bagaimanakah hukumnya ikut membeli saham pada perusahaan dan bank ?, apakah diperbolehkan bagi seseorang yang berlangganan pada perusahaan atau bank tersebut menjual saham khususnya kepada kantor-kantor pemasaran saham, dan ada kemungkinannya harga jualnya melebihi harga yang sudah menjadi langganan orang tersebut ?, bagaimanakah hukumnya bunga yang diambil oleh pelanggan setiap tahunnya dari nilai sahamnya ?
Mereka menjawab:
“Saham di bank dan perusahaan yang menggunakan system riba tidak boleh, jika pelanggan ingin membebaskan diri dari saham ribawinya hendaknya menjual sahamnya sesuai dengan harga pasar lalu diambil modal asalnya saja, sedangkan sisanya diinfakkan pada jalan kebaikan, tidak dihalalkan baginya untuk mengambil sedikitpun dari bunga atau keuntungan dari saham ribawinya. Adapun jika sahamnya tersebut diinvestasikan pada perusahaan yang tidak mengandung riba, maka keuntungannya adalah halal”.
Jangan pernah menyesali dengan kehilangan harta tersebut; karena harta tersebut adalah harta haram yang tidak ada kebaikannya bagi anda, semoga Allah berkenan menggantinya dengan yang lebih baik lagi, sebagaimana hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
أن من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Bahwa barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik lagi”.
Semoga Allah senantiasa menuntun kepada kita semua kepada sesuatu yang Dia cintai dan Ridhoi.
Wallahu A’lam
Hukum terkait makelar
Pertama.
Upah makelar dan mediator boleh diambil dari penjual atau pembeli, atau dari keduanya sesuai dengan syarat yang ditentukan dan adat kebiasaan yang mengatur. Inilah pendapat yang dianut oleh madzhab Maliki. Menurut mereka (madzhab Maliki), jika belum disyaratkan atau belum ada adat kebiasaan yang mengatur, maka upah makelar diambil dari penjual saja.
Dr. Abdurrahman Shalih Al-Athram Hafizhahullah mengatakan, “Jika tidak ada kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat, pendapat yang lebih tepat, komisi makelar menjadi tanggungan orang yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator. Jika penjual yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator, maka komisi menjadi tanggungan penjual. Jika pembeli yang memerintahkannya, maka pembayaran komisi mengikatnya. Demikian juga, jika keduanya, penjual dan pembeli, menjadikannya sebagai mediator mereka, maka komisi berasal dari keduanya.”
(Kitab Al-Wasathah At-Tijariyah, hal. 382).
Silahkan lihat kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi (3/129).
Dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (13/129) disebutkan, “Banyak sekali perdebatan seputar besaran komisi yang diambil oleh makelar. Ada yang mengatakan 2,5 % dan ada yang mengatakan 5%. Berapakah besaran komisi yang sesuai dengan syariat, ataukah hal itu sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan makelar?”
Jawaban, “Jika tercapai kesepakatan antara makelar, penjual, dan pembeli bahwa makelar menerima komisi dari pembeli atau penjual, atau dari keduanya, dengan besaran upah tertentu, maka hal itu diperbolehkan. Tak ada batasan untuk besaran upah dengan persentase tertentu. Berapa pun besarannya diperbolehkan, selama disepakati dan disetujui oleh pihak yang menyerahkan upah. Akan tetapi, diharapkan upah tersebut tetap berada dalam batasan yang berlaku di masyarakat, dengan besaran yang memberikan manfaat kepada broker sebagai kompensasi atas mediasi dan upaya yang telah dikerahkannya untuk menyukseskan transaksi antara penjual dan pembeli. Besaran upah bagi broker juga diharapkan tidak memberatkan penjual atau pembeli karena adanya tambahan yang melebihi kebiasaan.”
Bakr Abu Zaid, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Ali Syaikh, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Kedua.
Jika makelar bekerja kepada salah satu pihak yang bertransaksi, ia tidak boleh berkonspirasi dengan pihak lain untuk menambah atau mengurangi harga transaksi, karena hal itu termasuk penipuan dan pengkhianatan. Terlebih lagi jika makelar diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan transaksi (kontrak). Ia adalah wakil dalam kondisi tersebut. Wakil adalah orang yang diberikan kepecayaan, sehingga setiap keuntungan yang dihasilkan diberikan kepada orang yang menjadikannya sebagai wakil.
Dikatakan dalam kitab Mathalib Ulin Nuha (3/132), ”Status hibah (pemberian) dari penjual yang diberikan kepada wakil yang membeli barang darinya seperti pengurangan harga, sehingga nilai hibah tersebut disertakan pada akad karena diperuntukkan bagi orang yang menjadikannya wakil.”
Jika kewenangan broker terbatas pada kegiatan memandu penjual atau pembeli, tanpa diberi kewenangan untuk melaksanakan transaksi (akad); serta tidak ada harga spesifik yang ditetapkan bagi broker, tapi ia diminta untuk mencari harga yang terbaik –baik harga penjualan atau harga pembelian-, maka konspirasi yang dilakukannya bersama dengan selain pihak yang mempekerjakannya merupakan kecurangan dan pengkhianatan.
Silahkan lihat kitab Al-Wasathah At-Tijariyah, karangan DR. Abdurrahkan bin Shalih Al-Athram, hal. 115.
Ketiga.
Jika broker bekerja untuk salah satu pihak yang bertransaksi dengan imbalan tertentu, maka ia tidak wajib memberitahukannya kepada pihak yang lain meski imbalan tersebut dibebankan ke dalam harga transaksi selama besarannya tidak mencolok (ziyadah fahisyah) yang menyebabkan kerugian. Maka hal ini dilarang.
Jika penjual berkata, “Juallah barang ini dengan harga 100, dan komisimu sebesar 10 dari harga tersebut.’ Jika ternyata barang itu di pasaran hanya seharga 90, broker tidak wajib memberitahukan besaran komisinya kepada pembeli selama ia menyetujui harga barang tersebut, serta tidak terdapat kecurangan dan penipuan.
Sejumlah ahli fikih menegaskan bahwa upah broker berasal dari biaya yang dibebankan pada harga dalam transaksi murabahah yang berdasarkan pada amanah untuk menginformasikan harga transaksi. Tentu lebih layak hal itu diterapkan dalam hal upah broker yang dibebankan pada harga transaksi dalam transaksi jual-beli yang masih terjadi tawar-menawar harga, dimana tidak ada kewajiban untuk menginformasikan harga yang sebenarnya.
Al-Kasani mengatakan tentang jual-beli Murabahah, “Tidak apa-apa jika upah orang yang memutihkan, orang yang mewarnai, orang yang mencuci, orang yang membuat tali, orang yang menjahit, orang yang menjadi perantara, orang yang menggembalakan kambing, harga sewa, ongkos yang dihabiskan untuk makan, pakaian, dan item lain yang diperlukan budak pekerja secara wajar, dan pakan hewan disertakan dalam modal suatu barang dan barang itu lalu dijual secara murabahah atau tauliyah dengan menyertakan semua upah di atas dengan mempertimbangkan aturan yang berlaku di masyarakat; karena kebiasaan yang dipraktikkan para pedagang adalah mereka menyertakan seluruh item tersebut ke dalam modal dan menganggapnya sebagai bagian dari modal.” (Bada’i’us Shanai’, 5/223).
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih Hafizhahullah pernah ditanya, “Saya mempunya kantor di salah negara timur, pekerjaannya sebagai wakil antara penjual dan pembeli. Pembeli datang dari berbagai negara. Saya membantu pembelian dan pengiriman. Sebagai imbalannya, saya diberikan komisi yang telah disepakati. Apakah komisi ini halal ataukah haram? Kalau sekiranya saya mengambil komisi dari perusahaan setelah akad (kontrak) ditulis dan disetujui oleh pembeli, akan tetapi komisi ini diambil tanpa sepengetahuan pembeli? Terima kasih.”
Beliau menjawab, “Segala puji hanya milik Allah semata. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah. Amma ba’du. Komisi yang Anda ambil ini adalah upah makelar. Upah bagi makelar ini asalnya hukumnya boleh. Hal itu berdasarakan firman Allah Azza wa Jalla,
يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود
المائدة:1
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah : 1).
Juga firman Allah Ta’ala,
وأحل الله البيع وحرم الربا
البقرة:275
“...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah : 275).
Juga sabda Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam,
المسلمون على شروطهم رواه الترمذي (1352) وأبو داود (3594) وغيرهما من حديث عمرو بن عوف المرني - رضي الله عنه -
“Orang-orang Islam itu sesuai dengan persyaratannya.” (HR. At-Tirmidzi (1352) Abu Dawud (3594) dan lainnya dari hadits Amr bin Auf Al-Muzani Radhiyallahu ’Anhu).
Kecuali kalau mengandung larangan agama, seperti menyalahi aturan yang mengenai penduduk suatu negara, atau menyalahi aturan yang harus dipenuhi kedua pihak yang berakad (baik penjual maupun pembeli), dan seterusnya. Yang penting, kalau di sana ada penyimpangan yang telah sama-sama diketahui oleh kedua belah pihak atau yang telah disepakati oleh kedua belah pihak atau adat kebiasaan yang telah dikenal di negara itu, bahwa dia tidak diperbolehkan mengambil komisi (upah) dari perusahaan jika dia telah mengambil upah dari pembeli. Dan begitulah, dia tidak diperbolehkan. Kalau tidak ada hal semacam itu, maka hukum asalnya adalah mubah.” (Fatawa Al-Islam Al-Yaum).
Selayaknya ada pengecualian dari hal itu apabila ada resiko (bahaya) yang menimpa pembeli atau salah satu pihak, dikarenakan mahalnya upah makelar atau terlalu makelar mendominasi akad dalam rangka menjaga kemaslahatannya.
Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqithi Hafizhahullah ditanya, “Ada orang ingin menjual tanah dengan harga 100, kemudian orang lain (makelar) mengatakan, ‘Saya menjualkannya 120 untukmu. Saya akan memberitahu pembeli bahwa pemilik tanah ingin harga 120.” Jual beli pun terlaksana. Kemudian penjual memberikan 100 dan dia (makelar) mengambil 20 di samping tambahan prosentasi upah dari pembeli. Apakah hal ini sah? Terima kasih. Semoga Allah memberikan pahala kepada Anda.”
Beliau menjawab, “Permasalahan ini banyak sekali yang menanyakan.
Pertama, terkait dengan pemilik tanah yang sebenarnya. Kalau dia mengatakan kepada Anda, “Juallah seharaga 100, maka hendaknya Anda memperhatikan kepentingan saudara-saudara anda kaum Muslimin, terutama kalau anda dapatkan mereka membutuhkan tanah ini, atau orang-orang yang akan membelinya membutuhkan dana. Maka hendaknya Anda bertakwa kepada Allah. Ini termasuk nasihat untuk semua kaum Muslimin.
Tidak selayaknya seseorang itu terlalu tamak tanpa melihat hak-hak dan kebutuhan saudara-saudaranya. Kalau orang lain melakukan hal itu kepada dirinya, dia tidak akan rela dengan hal ini. Seorang Muslim itu mencintai sesuatu pada saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu pada dirinya sendiri. Ia membenci sesuatu pada saudaranya sebagaimana dia membenci sesuatu pada dirinya sendiri. Selayaknya dia tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan padahal mampu menjualnya dengan harga lebih murah.” Beliau melanjutkan, “Yang lebih utama adalah bertakwa kepada Allah dalam masalah saudara-saudaranya. Jangan menjadikan keuntungan pribadinya merusak (harga) di pasaran.” (Syarh Zadul Mustaqni’).
Sebaiknya dikecualikan juga dari masalah tersebut, yaitu kalau seandainya pembelinya adalah teman atau kerabat yang berbaik sangka kepada si makelar. Si pembeli sama sekali tidak tahu masalah kemakelaran dan pengambilan komisi, maka penawaran yang disertai sanjungan yang dilakukan si makelar terhadap barang dagangan itu termasuk penipuan kepadanya.
Dr. Shalah As-Shawi pernah ditanya, “Saya mengambil sejumlah uang sebagai komisi tanpa sepengetahuan pihak pembeli, apakah hal ini haram atau halal?”
Beliau menjawab, ”Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat serta orang yang loyal kepadanya. Amma ba’du.
Sesungguhnya pada dasarnya komisi makelar itu halal, jikalau transaksi yang dimediasikannya adalah transaksi yang disyariatkan. Akan tetapi, masalah yang Anda tanyakan itu berbeda dengan kondisi kenyataan. Kalau pembeli berasumsi kepada Anda bahwa pekerjaan ini sukarela tanpa ada balasan, karena sebelumnya ada ikatan kedekatan, maka selayaknya Anda mengambil komisi yang tidak diperkirakan oleh pembeli. Sementara kalau permasalahannya tidak seperti itu, maka pada dasarnya komisi itu halal.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.“
Mufti Arab Saudi ditanya: yang mana lebih afdhal, berbakti kepada ibu atau melaksanakan shalat qiyam, tahajjud, dan berburu lailatul qadr jika keduanya bertepatan di satu waktu
Beliau menjawab:
Demi Allah berbakti kepada ibu hukumnya wajib, termasuk ibadah, termasuk ketaatan kepada Allah. Kalau seseorang sibuk dengan melayani ibunya, mengobatinya, mendekatkan hal yang diperlukan olehnya, sibuk dengan makanan ibunya, kepentingan tidurnya ini merupakan ibadah… Qiyamullail sunnah yang ditekankan, adapun ini (berbakti kepada ibu) merupakan kewajiban…
https://www.youtube.com/watch?v=_t4ALLvLEaY
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya terkait menetapkan syarat dalam ibadah haji. Apakah ada kondisi tertentu sehingga seorang jamaah haji dapat menetapkan syarat lalu mengucapkan,
إن حَبَسَنِي حابسٌ فمحلي حيث حَبَسْتَنِي؟
"Jika ada sesuatu yang menghalaniku, maka tempat tahallulku di tempat aku terhalang."
Beliau menjawab:
"Menetapkan syarat bagi orang yang melaksanakan haji adalah dengan mengatakan saat memulai ihram,
إن حَبَسَنِي حابسٌ فمحلي حيث حَبَسْتَنِي
"Jika ada sesuatu yang menghalaniku, maka tempat tahallulku di tempat aku terhalang."
Menetapkan syarat ini tidak disunahkan kecuali seseorang mengalami kekhawatiran karena sakit, atau wanita khawatir mengalami haid, atau seseorang yang terlambat dan khawatir tertinggal melaksanakan haji. Dalam kondisi tersebut, hendaknya dia menetapkan syarat. Jika dia telah menetapkan syarat dan terjadi kondisi yang menghalanginya untuk menyempurnakan ibadah tersebut, maka dia boleh tahallul dan tidak ada kewajiban apa-apa baginya.
Adapun jika seseorang tidak merasakan kekhawatiran, maka sunahnya adalah tidak menetapkan syarat, tapi hendaknya dia memantapkan niatnya dan bertawakkal kepada Allah serta berbaik sangkat kepada Allah Azza wa Jalla."
(Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 25/18)
وقد سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : بالنسبة للاشتراط في الحج، هل هناك حالات معينة يَشْتَرِط فيها الحاج ويقول: إن حَبَسَنِي حابسٌ فمحلي حيث حَبَسْتَنِي؟
فأجاب : "الاشتراط في الحج أن يقول عند عقد الإحرام: إن حَبَسَنِي حابسٌ فمحلي حيث حَبَسْتَنِي.
وهذا الاشتراط لا يُسَنُّ إلا إذا كان هناك خوف مِن مرض أو امرأة تخاف من الحيض ، أو إنسان متأخر يخشى أن يفوته الحج ، ففي هذه الحالة ينبغي أن يشترط ، وإذا اشترط وحصل ما يمنع من إتمام النسك ، فإنه يتحلل وينصرف ولا شيء عليه.
أما إذا كان الإنسان غير خائف فالسنة أن لا يشترط ، بل يعزم ، ويتوكل على الله ، ويحسن الظن بالله عزَّ وجلَّ " انتهى من "لقاء الباب المفتوح" (25/18).
Tidak mengapa mengajak anak kecil ke masjid dalam rangka melaksanakan shalat berjamaah dengan memperhatikan beberapa perkara:
1- Tidak menyebabkan kegaduhan dan mengganggu orang shalat. Hal tersebut dapat dihindari dengan memberikan nasehat kepadanya.
2- Mengantisipasi agar dia tidak mengotori masjid karena buang air kecil atau besar.
3- Kedua orang tuanya menghindari pemberian pakaian yang tidak layak dipakai untuk anak tersebut di masjid. Ini sebagian bentuk pendidikan dalam rangka menjaga kehormatan, dan hal ini berlaku di mana saja dia berada. Tidak diragukan lagi bahwa mesjid lebih utama bagi anak untuk memakai pakaian syar’i.
Dalil dibolehkannya mengajak anak kecil sebelum masa tamyiz dan balig adalah riwayat Qatadah radhiallahu anhu, dia berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ عَلَى عَاتِقِهِ ، فَصَلَّى ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا ، وَإِذَا رَفَعَ رَفَعَهَا
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar sambil menggendong Umamah binti Abul Ash di pundaknya, lalu beliau shalat, apabila ruku beliau meletakkannya, jika bangkit, beliau mengangkatnya." (HR. Bukhari, no 5996, Muslim, no. 543)
Tidak sepantasnya menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membawa anak-anak yang suka mengganggu dan mengusik rumah Allah Ta'ala. Karena jika diperkirakan ada manfaat membawa mereka ke masjid, akan tetapi kerusakan yang ditimbulkan mereka lebih besar dari kebaikannya. Dan menghindari kerusakan didahulukan dari mendatangkan manfaat. .
Membawa anak kecil ke masjid selayaknya dilakukan karena situasi mendadak, atau ada keperluan atau sesuatu kejadian yang bersifat jarang terjadi, atau semacamnya. Perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap puterinya Zainab (Umamah) bukan merupakan kebiasaan yang terus dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan terdapat riwayat bahwa Umamah binti Zainab tersebut bergelayutan dengan kakeknya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat beliau keluar menuju masjid, maka kemudian beliau menggendongnya dan membawanya ke masjid.
Imam Ash-Shan'ani rahimahullah berkata, "Ucapan; 'Beliau dahulu shalat..' menunjukkan bahwa redaksi ini tidak berarti pengulangan secara mutlak, karena peristiwa menggendong Umamah hanya terjadi sekali pada beliau, tidak (terjadi pada waktu) lain." (Subulussalam, 1/211)
Ibnu Qasim rahimahullah berkata, "Malik ditanya tentang anak kecil yang dibawa ke masjid?" Beliau berkata, "Jika dia tidak mengganggu karena usianya yang masih kecil, atau mengikuti arahan jika dilarang, maka saya memandang tidak apa-apa (dibawa ke masjid)." Lalu dia berkata, "Tapi jika dia mengganggu, maka saya memandang agar jangan dibawa ke masjid." (Al-Mudawwanah, 1/106)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, "Masjid hendaknya dipelihara dari apa saja yang mengganggunya dan mengganggu orang shalat di dalamnya. Misalnya dari suara keras anak-anak, atau tindakan mereka yang mengotori tikarnya, dan semacamnya. Khususnya pada saat shalat. Karena hal tersebut merupakan kemunkaran yang besar." (Majmu Fatawa, 22/204)
Ulama Lajnah Daimah (22/204) berkata, "Jika anaknya belum usia tamyiz, maka lebih baik tidak dibawa ke masjid, karena dia belum mengerti shalat dan mengerti makna berjamaah, disamping dia dapat mengganggu orang shalat."
(Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdul Aziz Al Syekh, Syekh Abdullah bin Ghudayyan, Syekh Saleh Al-Fauzan, Syekh Bakar Abu Zaid)
Fatawa Lajnah Daimah, Al-Majmua Ats-Tsaniah, 5/263-264)
Mungkin ada orang tua yang anaknya berisik di masjid berdalih bahwa anak kecil berisik di masjid adalah hal normal dan seharusnya orang yang melaksanakan shalat kalau dia khusyu' shalatnya dan ingat Allah maka dia akan fokus dan tidak akan terganggu dengan suara suara di sekitarnya. Wallahu ta'ala a'lam pandangan ini tidaklah tepat secara mutlak mengingat Nabi Muhammad saja yang shalatnya bagus dan tingkat fokus dan khusyu'nya tinggi masih terpengaruh dengan suara-suara di sekitar, termasuk suara anak kecil. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي لَأَدْخُلُ فِي الصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي ، مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ
"Sungguh aku telah mulai shalat, lalu aku hendak shalat dengan panjang, namun aku mendengar suara tangis bayi, maka aku segerakan shalatku karena aku tahu, sang ibu sangat gelisah dengan tangisannya."
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah merasa terganggu saat melaksanakan shalat Dhuhur dengan makmum yang membaca keras surat al-A'la. Dalam sunan Abu Daud no. 828 dinukil suatu hadits:
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عَليهِ وسلَّمَ صلَّى الظُّهرَ فجاءَ رجلٌ فقَرأ خلفَه سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأعْلَى فَلمَّا فرغَ قالَ أيُّكُم قرأ قالوا رجُلٌ قالَ قَد عرَفتُ أنَّ بَعضَكُم خَالَجَنيها
Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuhur, datanglah seorang laki-laki dan menjadi makmum, kemudian makmum itu membaca surat al-A'la. Ketika Nabi selesai shalat Dhuhur Beliau berkata siapa yang tadi membaca surat tersebut. Para sahabat menjawab: laki laki tertentu. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: aku tahu bahwa sebagian kalian mencabut bacaan itu dari lisanku.
Maksudnya seakan akan Rasul shallallahu alaihi wa sallam tercabut bacaannya dan membuat bacaan Rasul bercampur baur.
Dalam riwayat imam Muslim no.398 disebutkan dengan redaksi:
أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ، فَجَعَلَ رَجُلٌ يَقْرَأُ خَلْفَهُ بسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى، فَلَمَّا انْصَرَفَ قالَ: أيُّكُمْ قَرَأَ، أوْ أيُّكُمُ القَارِئُ، فَقالَ رَجُلٌ أنَا، فَقالَ: قدْ ظَنَنْتُ أنَّ بَعْضَكُمْ خَالَجَنِيهَا.
Wallahu ta'ala a'lam
Salamdakwah akan menyajikan tulisan Ustadz Kholid Syamhudi mengenai Bulan Ramadhan dengan berseri, semoga para member salamdakwah dapat menyimak dan mengingat materi tulisan ini dengan lebih mudah, insyaAllah.
Bulan Romadhon hampir tiba, kaum musliminpun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagian. Bagaimana tidak?! Bulan yang penuh barokah dan keutamaan. Bulan diturunkannya Al Qur’an yang menunjuki manusia kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat. Maka tak heran kaum muslimin menyambutnya dengan penuh suka cita. Demikianlah Allah memberikan keutamaan pada bulan ini yang tidak dimiliki bulan-bulan lainnya.
1. Keutamaan Bulan Ramadhan [1]
Sangat jelas dan gamblang keutamaan Romadhon dibanding bulan lainnya, namun kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas keutamaannya sebagai motivator semangat kaum muslimin beramal sholeh padanya. Diantara keutamaan tersebut adalah:
a. Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran karena Alquran diturunkan pada bulan tersebut sebagaimana firman Allah ::
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (Surat Albaqarah ayat 185)
Dalam ayat di atas, bulan Ramadhan dinyatakan sebagai bulan turunnya Alquran, lalu pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang dimulai dengan huruf <ف> –yang berfungsi menunjukkan makna ‘alasan dan sebab’– dalam firmanNya: <فََمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ>. Hal itu menunjukkan bahwa sebab pemilihan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa adalah karena Alquran diturunkan pada bulan tersebut.
b. Dalam bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka sebagaimana sabda Rasulullah ,
« إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ »
“Jika datang bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu para setan.” [2]
Oleh karena itu, kita dapati dalam bulan ini sedikit terjadi kejahatan dan kerusakan di bumi karena sibuknya kaum muslimin dengan berpuasa dan membaca Alquran serta ibadah-ibadah yang lainnya; dan juga dibelenggunya para setan pada bulan tersebut.
c. Di dalamnya terdapat satu malam yang dinamakan lailatul qadar, satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Qadr.
إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Surat Al Qadr ayat:1-3)
Melihat keutamaan-keutamaan ini tentunya membuat seorang muslim lebih bersemangat dalam menyambutnya dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin menjelang datangnya bulan tersebut.
2. Persiapan Menghadapi Ramadhan
Diantara yang harus dipersiapkan seorang muslim dalam menyambut kedatangan bulan yang mulia ini adalah:
a. Menghitung bulan sya’ban
Salah satu bentuk persiapan dalam menghadapi Ramadhan yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah menghitung bulan Sya’ban, karena satu bulan dalam hitungan Islam adalah 29 hari atau 30 hari sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam hadits Ibnu Umar, beliau bersabda:
« الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ »
“Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.”[3]
Maka tidaklah berpuasa sampai kita melihat hilal (tanda masuknya bulan). Oleh karena itu, untuk menentukan kapan masuknya Ramadhan diperlukan pengetahuan hitungan bulan Syaban.
b. Melihat hilal Ramadhan (Ru’yah)
Untuk menentukan permulaan bulan Ramadhan diperintahkan untuk melihat hilal, dan itulah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/289-290) dan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy (3/27). Dan ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyah yang berkata, “Kita sudah tahu secara pasti, Agama Islam beramal dengan melihat hilal dalam berpuasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal. Adapun pengambilannya dengan cara mengambil berita orang yang menghitungnya dengan hisab, baik dia melihatnya atau tidak, maka tidak boleh.” [4]Demikian juga Ibnu daqiqil ‘Ied menyatakan: “Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan puasa (Romadhon)”.[5]
Kemudian perkataan beliau ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Sedang munculnya masalah bersandar dengan hisab dalam hal ini baru terjadi pada sebagian ulama setelah tahun 300-an. Mereka mengatakan bahwa jikalau terjadi mendung (sehingga hilal tertutup ) boleh bagi yang mampu menghitunghisab beramal dengan hisabnya, namun itu hanya untuk dirinya sendiri. Jika hisab itu menunjukkan ru’yah, maka dia berpuasa, dan jika tidak, maka tidak boleh.[6] Lalu, bagaimana keadaan kita sekarang?
Adapun dalil tentang kewajiban menentukan permulaan bulan Ramadhan dengan melihat hilal sangat banyak, di antaranya adalah:
1. Hadits Ibnu Umar terdahulu.
2. Hadits Abu Hurairah. Beliau berkata, “Rasulullah bersabda,
« صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ »
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian (untuk idul fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah Syakban 30 hari.” (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
3. Hadits ‘Adi bin Hatim, beliau berkata, “Rasulullah bersabda,
« إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ »
“Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” [7]
Penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal dapat ditetapkan dengan persaksian seorang Muslim yang adil sebagaimana yang dikatakan Ibnu Umar:
تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Manusia sedang mencari hilal, lalu aku khabarkan Nabi bahwa aku telah melihatnya maka beliau berpuasa dan memerintahkan manuasia untuk berpuasa.” [8]
c. Tidak berpuasa pada hari yang diragukan
Berpuasa pada hari yang diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, adalah terlarang sebagaimana di sebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
« لاَ تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلاً يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ »
“Janganlah mendahului puasa Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari (sebelumnya), kecuali orang yang (sudah biasa) berpuasa satu puasa (yang tertentu), maka hendaklah dia berpuasa.” [9]
[1] Diringkas dari Sifat Saum An Nabi karya Syeikh Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy dan Syeikh Ali Hasan Ali Abdilhamid, cetakan keenam tahun 1417 H –1997 M, penerbit Al Maktabah Al Islamiyah, Amaan, Yordania. hal 18-20.
[2] Riwayat al-Bukhariy dan Muslim
[3] Riwayat al-Bukhariy
[4] Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/132.
[5] Ihkamul Ahkaam dinukil dari AL I’laam Bi Fawaaid Umdatul Ahkam karya Ibnu Mulaqqin 5/179.
[6] Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/133
[7] Riwayat ath-Thahawy dan ath-Thabrany dalam al-Kabir 17/171, dan dihasankan Syaikh al-Albany dalamIrwa’ al-Ghalil nomor hadits 901.
[8] Riwayat Abu Dawud, ad-Darimy, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqy
[9] Riwayat Muslim
___________________________
3. Amalan Di Bulan Romadhon.
Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan sa’ban, maka masuk dan datanglah bulan romadhon. Kaum muslimin mulai melakukan kegiatan dan amal sholehnya dimalam dan siang romadhan. Diantara amalan yang dilakukan seorang muslim adalah:
1. Qiyam romadhon ( Sholat tarawih).
Sholat taraweh disyariatkan dalam malam romadhon baik secara berjamaah atau tidak berjamaah. Disamping itu juga memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang muslim melaksanakannya.
1.1. Keutamaannya
Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam Ramadhan dengan ibadah solat. Amalan ini memiliki keutamaan-keutamaan bagi pelakunya, yaitu:
a. Mendapat pengampunan dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah e:
« مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Barangsiapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mencari keridhaan Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[10]
Lalu Rasulullah meninggal sedang perintah tersebut (meninggalkan jamaah taraweh) masih berlaku, demikian juga pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar sebagaimana riwayat Muslim.
b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada sebagaimana hadits Amr bin Murroh yang berbunyi:
جَاءَ رَسُوْلَ اللهِ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَلَيْتُ صَلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ : « مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ »
“Datang kepada Rasulullah seorang laki-laki Bani Qudhaah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat tiada sesembahan yang hak, kecuali Allah, dan bersyahadat bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku solat lima waktu, puasa satu bulan (Ramadhan), dan aku telah menegakkan (malam-malam) Ramadhan serta aku tunaikan zakat?’ Maka Rasulullah e bersabda, ‘Barangsiapa yang mati atas hal ini, dia termasuk dalam (kelompok) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” [11]
1.2. Persyariatan qiyam ramadhan (sholat taraweh) dengan berjamaah
Disyariatkan berjamaah dalam pelaksanaan qiyam Ramadhan. Bahkan berjamaah itu lebih utama disbanding tidak berjamaah, karena Rasulullah telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan keutamaannya sebagaimana dalam hadits Abu Dzar:
صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةَ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةَ قَامَ بِناَ حَتىَّ ذَهَبَ شَطْرُ الَّليْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ نَفَلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ الَّليْلَةِ، فَقَالَ: « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »، فَلَمَّا كَانَتِ الرَّاِبِعَةَ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهَ وَالنَّاسُ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِيْنَا أَنْ يَفُوْتًنَا الْفَلاَحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلاَحُ؟ قَالَ: السَّحُوْرُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَةَ الشَّهْرِ
“Kami berpuasa bersama Rasulullah Ramadhan. Beliau tidak melaksanakan qiyam (solat taraweh) bersama kami selama bulan itu kecuali sampai tinggal tujuh hari. Saat itu, beliau tegak (solat taraweh) bersama kami sampai berlalu sepertiga malam. Pada hari keenam (tanggal 24) beliau tidak solat bersama kami. Baru kemudian pada hari kelima (tanggal 25) beliau solat lagi (solat taraweh) bersama kami sampai berlalu 1/2 malam. Saat itu aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau menambah solat pada malam ini.’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang solat bersama imamnya sampai selesai, niscaya ditulis baginya amalan Qiyamul Lail.’ Lalu pada malam keempat (tanggal 26) kembali beliau tidak solat bersama kami. Dan pada malam ketiga (tanggal 27), beliau kumpulkan keluarga dan istri-istrinya serta manusia, lalu menegakkan (malam tersebut) bersama kami sampai kami takut kehilangan kemenangan.” Berkata (rawi dari Abu Dzar), “Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Beliau (Abu Dzar) menjawab, ‘Sahur. Kemudian beliau e tidak menegakkannya setelah itu.” [12]
Sedangkan Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah terus menerus disebabkan takut hal itu diwajibkan kepada kaum muslimin. Lalu tidak mampu mengerjakannya, sebagaimana jelas dalam hadits Aisyah (yang diriwayatkan dalam shahihain):
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ وَ صَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلُّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فتَحَدَّثُوْا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ،فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبعَةُ عَجِزَ اْلمَسْجِدِ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّىخَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ،فَلَمَّا قَضَىالْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ :”أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَ لَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَ الأََمْرُ عَلَى ذَلِكَ.
Bahwasanya Rasululloh keluar pada suatu malam lalu sholat di masjid,dan sholat bersamanya beberapa orang dengan sholatnya,lalu pada pagi harinya manusia membicarakan hal itu,maka berkumpullah orang lebih banyak dari mereka,lalu (Rasulullah) sholat dan sholat bersamanya orang-orang tersebut. lalu keesokan harinya manusia membicarakan hal itu,maka banyaklah ahli masjid pada malam ke tiga,lalu Rasululloh keluar dan sholat bersama mereka. Ketika malam ke empat masjid tidak dapat menampung ahlinya sehingga beliau keluar untuk sholat shubuh, ketika selesai shubuh,beliau menghadap manusia,lalu bertsyahud dan berkata:”Adapun kemudian, sudah jelas bagiku kukedudukan kalian,akan tetapi aku takut diwajibkan hal ini atas kalian lalu kalian tidak mampu melaksanakannya”.Lalu Rasululloh meninggal dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah[13]
Sebab qiyam Romadhon (sholat tarawih) tidak dilakukan secara berjamaah ini hilang dengan wafatnya Rasululloh. Hal ini karena dengan wafatnya beliau agama ini telah sempurna.
Dengan demikian amalan ini telah disyariat namun tidak dikerjakan Rasululloh lantaran kekhawatiran beliau, kemudian amalan ini dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab pada kekhalifaannya.
Pensyariatan berjamaah ini juga untuk wanita, bahkan boleh menjadikan imam khusus untuk mereka, sebagaimana dilakukan kholifah Umar. Beliau mengangkat Ubai bin Kaab sebagai Imam untuk laki-laki dan Sulaiman bin Abu Hatsmah untuk wanita. Demikian juga kholifah Ali bin Abu Thalib memerintahkan kamu muslimin sholat tarawih berjamaah dan mengangkat seorang imam untuk laki-laki dan urfuzah ats-Tsaqafi untuk imam bagi wanita [14]
1.3. Jumlah rakaatnya
Adapun jumlah rakaatnya adalah 11 rakaat menurut yang rajih insyallah dan boleh kurang dan lebih darinya, karena Rasulullah tidak menentukan banyaknya dan panjang bacaannya.
1.4. Waktunya
Waktunya dimulai dari setelah sholat ‘Isya’ sampai munculnya fajar shubuh, dengan dalil sabda Rasululloh :
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً ،وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَىصَلاَةِ اْلفَجْرِ
Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu sholat dan dia adalah witir maka sholatlah kalian antara sholat ‘Isya sampai shlat Fajar. [15]
Dan sholat malam diakhir malam lebih utama bagi yang mampu untuk bangun diakhir malam, dengan dalil sabda Rasululloh :
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ أَخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِراللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ الَّليْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ
Barang siapa yang takut tidak bangun di akhir malam,maka berwitirlah di awalnya,dan barang siapa yang tamak untuk biasa bangun di akhirnya,maka hendaklan berwitir di akhir malam,karena sholat di akhir malam itu dipersaksikan,dan itu lebih utama. [16]
Tetapi kalau terdapat sholat teraweh berjamaah di awal malam maka itu lebih utama dari sholat taraweh di akhir malam sendirian.
[10] Riwayat al-Bukhari dan Muslim
[11] Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya dan oleh selainnya dengan sanad yang sahih
[12] Riwayat Ashhabus Sunan
[13] .HR Al Bukhory dan Muslim
[14] diriwayatkan oleh al-Baihaqiy
[15] (HR Ahmad dari Abi Bashroh,dan dishohihkan Al Albany dalam Qiyamur Romadhon 26).
[16] (HR Muslim).
___________________
1.5. Rincian Rakaat Sholat Taraweh.
Adapun sholat taraweh yang dilakukan Rasululloh adalah dengan perincian sebagai berikut:
1. 13 Rakaat dengan perincian:2 rakaat-2 rakaat dan dengan satu witir.
2. 13 Rakaat dengan perincian : 8 rakaat ditutuyp dengan salam pada setiap dua rakaat,ditambah 5 rakaat witir dengan tidak duduk dan salam kecuali di rakaat yang kelima.
3. 11 rakaat dengan perincian: dua-dua rakaat dan ditutup dengan satu witir.
4. 11 Rakaat dengan perincian: 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat yang kedelapan,lalu bertasyahud dan sholawat serta berdiri tanpa salam,lalu berwitir serakaat dan salam dan ditambah 2 rakaat dilakukan dalam posisi duduk.
5. 9 Rakaat dengan perinciaan : 6 rakaat dilakukan tanpa duduk kecuali di rakaat keenam,lalu bertasyahut dan bersholawat tanpa salam,kemudian berdiri untuk witir serakaat lalu salam,kemudian sholat 2 rakaat dengan duduk.
1.6. Qunut.
Setelah selesai dari membaca surat dan sebelum ruku’ kadang-kadang beliau berqunut,dan boleh dilakukan setelah ruku’
1.7. Bacaan Setelah Witir.
Apabila telah selesai dari witir maka hendaklah membaca:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس
dengan memanjangkan suara dan meninggikannya pada yang ketiga.
2. Puasa.
Setelah melakukan sholat taraweh dimalam hari, seorang muslim bersiap melakukan amalan puasa dibulan romadhon.
1 Definisi Puasa
1.1. Definisi Secara Bahasa
Ash-Shiyam (puasa) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, seperti firman Allah :
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
“Aku telah bernazar kepada Allah untuk menahan diri (dari berbicara)” (Maryam, 19::26).
1.2. Definisi Secara Istilah Syari
Adapun secara istilah syari adalah ‘menahan diri dengan niat ibadah dari hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat’.[17]
1.2. Kewajiban Berpuasa di Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah atas orang-orang mukmin dan merupakan salah satu dari Rukun Islam yang Lima, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Alquran dan as-Sunnah serta ijmak kaum muslimin.
a. Dalil dari Alquran:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqarah, 2:183).
b. Dalil dari as-Sunnah:
1. Hadits Thalhah bin Ubaidullah, Beliau berkata,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ ثَائِرَ الرَّأْسِ – وفيه – فَقَالَ:أَخْبِرْنِيْ بِمَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِن َالصِّيَامِ، فقال: « رَمَضَان إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا »
“Seorang arab pedalaman datang kepada Nabi dalam keadaan kusut rambutnya – dan terdapat - laki-laki itu, ‘Beritahulah aku apa yang diwajibkan atasku dari puasa.’ Rasulullah menjawab, ‘Ramadhan, kecuali kalau engkau ingin tambahan.’” [18]
2. Hadits Ibnu Umar. Beliau berkata, “Rasulullah bersabda,
« بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَاْلحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان »
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu: syhadatain, menegakkan solat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa bulan Ramadhan.” (Riwayat al-Bukhariy).
c. Dalil dari Ijmak kaum muslimin:
Kaum muslimin telah menyepakati kewajiban puasa Ramadhan sejak dahulu sampai sekarang.
1.3. Keutamaan Puasa[19]
Telah ada perintah yang menunjukkan bahwa puasa merupakan satu ibadah yang dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Di samping itu, telah dijelaskan keutamaan-keutamaannya, di antaranya adalah yang terkandung dalam firman Allah :
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab, 33:35).
Dan juga firman Allah:
وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (Al-Baqarah, 2:184).
Rasulullah sendiri telah menjelaskan keutamaan puasa dalam hadits-haditsnya yang sahih, antara lain adalah:
a. Puasa merupakan benteng atau perisai sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
« يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ لَهُ وِجَاءً »
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang tidak mampu, maka seharusnya dia berpuasa karena puasa itu adalah benteng atau perisai baginya[20].
Hadits ini menjelaskan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan memperlemahnya, sehingga dia bisa menjadi perisai seorang muslim dari syahwat dan hawa nafsu – dua hal yang selalu menggiring manusia ke neraka Jahannam. Oleh karena itu, Nabi bersabda dalam hadits yang lain,
« مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ الله إِلاََّ باَعَدَ الله بذَلِكَ وَجْهَهُ عَنِ الَّنارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا »
“Tidaklah ada seorang hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan puasanya itu dari api neraka (sepanjang perjalanan) tujuh puluh tahun.” [21]
b. Puasa dapat memasukkan pelakunya ke dalam surga, sebagaimana hadits Abu Umamah bahwa beliau pernah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga.” Beliau menjawab,
« عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لاَ مِثْلَ لَهُ »
“Berpuasalah, tidak ada yang seperti puasa.” [22]
c. Orang yang berpuasa itu mendapat dua kebahagiaan, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah bersabda:
« قَالَ الله: كُلُّ عَمَلِ بني آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به، والصيام جنة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب، فإن سابه أحد أو قاتله فليقل: إني امرؤٌ صائم، والذي نفس محمدٍ بيده لخُلوف فم الصائم أطيبُ عند اللّه من ريح المسك، للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح وإذا لقي ربَّه فرح بصومه »
“Allah berfirman, ‘Semua amalan Bani Adam untuknya, kecuali puasa, maka itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.’ Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian berpuasa pada satu hari, maka janganlah berkata-kata kotor dan keji. Jika ada orang yang mencelanya dan menyakitinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa itu memiliki dua kebahagiaan yang membahagiakannya, yaitu jika berbuka, dia berbahagia, dan jika berjumpa dengan Rabnya dia berbahagia dengan puasanya.” [23]
Dalam hadits inipun terdapat dua keutamaan yang lain, yaitu:
d. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan, dan
e. Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah daripada wangi misik.
f. Orang-orang yang berpuasa diberikan pintu khusus di surga yang diberi nama ar-Rayyan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,
« إِنَّ فِيْ الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرّيَّان، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ،]فَاِذَا دَخَلَ اَّخِرُهُمْ أُغْلِقَ، وَمَنْ دَخَلَ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا] »
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang dinamakan ar-Rayyan. Masuk dari pintu itu orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat; tidak masuk dari pintu itu seorangpun selain mereka. Kalau mereka semua telah masuk (ke dalam surga), maka pintu itu ditutup sehingga tidak dapat lagi seorangpun masuk melaluinya. Maka jika telah masuk orang yang terakhir dari mereka, pintu itupun ditutup. Barangsiapa yang masuk, akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan haus selamanya.” [24]
[17] Lihat Taisirul Fiqh karya Dr. Sholih bin Ghanim As Sadlaan , cetakan kedua tahun 1417 H-1997M. tanpa penerbit. Hal 79
[18] (Riwayat Bukhariy dan Muslim).
[19] Diringkas dari Sifat Saum An Nabi n Hal 11-17
[20] Riwayat al-Bukhariy 3/106 dan Muslim no. 1400 dari hadits Ibnu Masud.
[21] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim dari hadits Abu Sa’id al-Khudriy).
[22] (Riwayat an-Nasaiy, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dengan sanad yang sahih).
[23] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
___________________
1.4. Amalan -Amalan Yang Berhubungan Dengan Puasa
1. Niat
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya karena Rasulullah bersabda,
« مَنْ لَمْ ُيْجِمِع الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فََلاَ صِيَامَ لَهُ »
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” [25]
Niat tempatnya di hati sedang melafalkannya itu termasuk kebidahan. Kewajiban berniat puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.
2. Waktu Puasa
Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar subuh sampai terbenam matahari dengan dalil firman Allah,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar.”(Al-Baqarah, 2:186).
Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan bahwa fajar ada dua:
a. Fajar kazib (fajar awal). dalam waktu ini belum boleh dilakukan solat subuh dan dibolehkan untuk makan dan minum bagi yang berpuasa.
b. Fazar shodiq (fajar yang kedua/subuh) sebagaimana hadits Ibnu Abbas , Rasulullah bersabda,
«الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ يَحِلُّ الصَّلاَة ُوأَمَّا الثَّانِيْ فإِنَّهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَ يَحِلُّ الصَّلاَةَ »
“Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka dibolehkan makan dan tidak boleh melakukan solat, sedang yang kedua, maka diharamkam makan dan dibolehkan solat.” [26]
Untuk mengenal keduanya dapat dilihat dari bentuknya. Fajar yang pertama, bentuknya putih memanjang vertikal seperti ekor serigala. Sedangkan fajar yang kedua, berwarna merah menyebar horisontal (melintang) di atas lembah-lembah dan gunung-gunung dan merata di jalanan dan rumah-rumah, dan jenis ini yang ada hubungannya dengan puasa.
Jika tanda-tanda tersebut telah tampak, maka hentikanlah makan dan minum serta bersetubuh. Sedangkan adat yang ada dan berkembang saat ini – yang dikenal dengan nama imsak – merupakan satu kebidahan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar – seorang ulama besar dan ahli hadits yang bermazhab Syafi’i yang meninggal tahun 852 H – berkata dalam kitabnya yang terkenal Fath al-Bary Syarh al-Jami’ ash-Shohih (4/199), “Termasuk kebidahan yang mungkar adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu mengadakan azan yang kedua kira-kira sepertiga jam sebelum fajar dalam bulan Ramadhan dan mematikan lentera-lentera sebagai alamat untuk menghentikan makan dan minum bagi yang ingin berpuasa, dengan persangkaan bahwa apa yang mereka perbuat itu demi kehati-hatian dalam beribadah. Hal seperti itu tidak diketahui, kecuali dari segelintir orang saja. Hal tersebut membawa mereka untuk tidak azan, kecuali setelah terbenam beberapa waktu (lamanya) untuk memastikan (masuknya) waktu-menurut persangkaan mereka- lalu mengakhirkan buka puasa dan mempercepat sahur. Maka mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Oleh karena itu, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak kejelekan pada diri mereka. الله المستعان .”
Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam matahari lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar bahwa Rasulullah bersabda,
« إِذَا أَقْبَلَ الَّليْلُ مٍنْ هَهُنَا وَ أَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ »
“Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” [27]
Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang tidak memerlukan alat teropong untuk mengetahuinya.
3. Sahur
3.1. Hikmahnya
Setelah mewajibkan berpuasa dengan waktu dan hukum yang sama dengan yang berlaku bagi orang-orang sebelum mereka, maka Allah mensyariatkan sahur atas kaum muslimin dalam rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudriy:
« فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ »
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” [28]
3.2. Keutamaannya
Keutamaan sahur antara lain:
1. Sahur adalah berkah sebagaimana sabda Rasulullah :
« إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ »
“Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, jangan kalian meninggalkannya.”[29].
Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu mengikuti sunnah dan menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk menambah puasa dan juga mengandung nilai menyelisihi ahli kitab.
2. Salawat dari Allah dan malaikat bagi orang yang bersahur, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudry bahwa Rasulullah bersabda,
« السَحُوْر أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ ولَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ َماءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّْونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ »
“Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” [30]
3.3. Sunnah Mengakhirkannya
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati subuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah di dalam hadits Ibnu Abbas dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
تَسَحَرْنَا مَعَ النَّبِيْ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آية
“Kami bersahur bersama Rasulullah, kemudian beliau pergi untuk solat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara azan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.”[31].
3.4. Hukumnya
Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasulullah untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga sabda beliau :
« تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ »
“Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.” [32]
b. Larangan beliau dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa’id yang terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139) menukilkan ijmak atas kesunahannya.
[24] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy).
[25](Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar).
[26] (Riwayat Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruqutny, dan al-Baihaqy dengan sanad yang sahih)
[27] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)
[28] (Riwayat Muslim).
[29] Riwayat an-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang sahih)
[30] (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad).
[31] (Riwayat Bukhariy dan Muslim)
[32] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
_______________
4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa
Di dalam puasa ada perkara-perkara yang merusaknya, yang harus dijauhi oleh seorang yang berpuasa pada siang harinya. Perkara-perkara tersebut adalah:
a. Makan dan minum dengan sengaja sebagaimana yang difirmankan Allah:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makanlah dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam dari fajar.” (Al-Baqarah, 2:186).
b. Sengaja untuk muntah ( muntah dengan sengaja).
c. Haid dan nifas.
d. Injeksi yang berisi makanan (infus).
e. Bersetubuh.
Kemudian ada perkara-perkara lain yang harus ditinggalkan oleh seorang yang berpuasa ,yaitu:
1.Berkata bohong sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
« مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ »
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata bohong dan beramal dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (Riwayat al-Bukhariy).
2.Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan) sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
« لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ »
“Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum. Puasa itu hanyalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka katakanlah, ‘Saya sedang puasa. Saya sedang puasa.’” [33]
5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan
Ada beberapa perkara yang dianggap tidak boleh padahal dibolehkan, di antaranya:
a. Orang yang junub sampai datang waktu fajar sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata:
كَانَ رَسُلُ الله يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ و يَصُوْمُ
“Sesungguhnya Nabi mendapatkan fajar (subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya kemudian mandi dan berpuasa.” [34]
b. Bersiwak.
c. Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika bersuci.
d. Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa dan dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda.
e. Injeksi yang bukan berupa makanan.
f. Berbekam.
g. Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h. Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i. Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.
6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh karena itu, ia memberikan kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang tertentu yang tidak mampu atau sangat sulit untuk berpuasa. Mereka itu adalah sebagai berikut:
1. Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).
Musafir diperkenankan untuk berpuasa dan berbuka sebagai rahmat dari Allah, sebagaimana firmanNya:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Surat Al Baqorah. 2:185). Demikian pula Rasululloh ditanya tentang puasa musafir sebagaimana dalam hadits Hamzah bin Amru Al Aslamiy:
أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al Aslamiy bertanya kepada Rasululoh: “Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?” Hamzah adalah seorang yang banyak berpuasa, Lalu Rasululloh menjawab: “Jika kamu suka berpuasalah dan jika suka berbukalah”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
2. Orang yang sakit.
Dibolehkan berbuka bagi orang sakit sebagai rahmat dari Allah. Namun dengan ketentuan sakitnya tersebut akan memerikan kemudhoratan kepada dirinya atau bertambah parah atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhannya bila berpuasa[35] .
3. Wanita yang sedang haid atau nifas.
Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa orang yang haidh dan nifas dilarang berpuasa dan keduanya harus mengqadha puasanya dihari yang lain.
4. Orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua dan lemah.
Orang yang sudah tua dan lemah diperbolehkan berbuka dengan kewajiban memberi makan setiap hari seorang miskin, sebagaimana disampaikan Ibnu Abas: “orang yang sudah tua baik laki-laki atau perempuan yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi makan setiap harinya seorang miskin”.[36]
5. Wanita yang hamil atau menyusui.
[33] (Riwayat Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
[34] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
[35] Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syeikh Saalim dan Ali Hasan hal 59
[36] Riwayat Al Bukhori 4505
______________________
7. Berbuka Puasa
7.1. Waktu berbuka
Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari dan telah lalu penjelasannya pada pembahasan waktu puasa. Rasululloh berbuka sebelum sholat maghrib sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.
7.2. Mempercepat Buka Puasa
Termasuk dalam sunnah puasa adalah mempercepat waktu berbuka dalam rangka mengikuti contoh Rasulullah dan para sahabatnya sebagaimana yang dikatakan oleh Amr bin Maimun al-Audy bahwa sahabat-sahabat Muhammad adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya.[37]
Adapun manfaatnya adalah:
1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin Saàd bahwa Rasulullah bersabda,
« لَا يَزَالُ النَّاسَ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ »
“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.” [38]
2. Merupakan sunnah Nabi .
3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
« لاَ يَزَالُ الدَّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ »
“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum muslimin) mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan Kristen (Nashrani) mengakhirkannya.” [39]
Buka puasa dilakukan sebelum solat maghrib karena itu merupakan akhlak para nabi. Sedangkan Rasulullah memotivasi kita untuk berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada kurma, maka memakai air. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap umatnya. Setelah berbuka, beliau melakukan sholat maghrib
7.3. Makanan berbuka
Memang tidak ketentuan jenis makanan yang harus dimakan ketika berbuka puasa, namun Rasululloh mendahulukan Ruthob ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan Anas bin Malik:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Nabi berbuka sebelum sholat dengan Ruthob jika tidak ada maka dengan kurma dan jika tidak ada maka meinum seteguk air.(Riwayat Ahmad 3/163, Abu Daud 2/306 dan At Tirmidziy 3/70).
7.4. Bacaan orang yang berbuka.
Disyariatkan seorang yang berpuasa ketika berbuka membaca do’a, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amru bin Al Ash:
“Sesungguhnya seorang yang berpuasa ketika berbuka memiliki do’a yang tidak tertolak”.
Sedangkan doa yang utama adalah do’a yang ma’tsur dari nabi :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Nabi jika berbuka membaca: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ . [40]
8. Adab Orang yang Berpuasa.
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syari, di antaranya:
1. Memperlambat sahur. (telah lalu penjelasannya)
2. Mempercepat berbuka puasa.(telah lalu penjelasannya)
3. Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka . (telah lalu penjelasannya)
4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa. (telah lalu penjelasannya)
5. Bersiwak.
6. Berderma dan tadarus Alquran.
7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir.
[37] Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf no 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199.
[38](Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
[39] (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan).
[40] riwayat Abu daud 2/306 dengan sanad yang hasan.
______________________
9. I’tikaf
9.1.Makna I’tikaf
I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang bermakna berdiam diri pada sesuatu. Kata ini dipakai juga untuk ibadah dengan tinggal dan menetap dimasjid untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Pelaku ibadah ini dinamakan Mu’takif atau ‘Aakif.
9.2. Hikmah I’tikaf
Adapun hikmahnya berkata ibnul Qayim: “Ketika perbaikan dan keistiqomahan hati dalam berjalan menuju Allah tergantung konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap Allah secara penuh. Lalu jika hati terpecah tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal kelebihan makan dan minum, kelebihan bergaul dengan manusia, banyak ngomong dan tidur menambah hati berantakan dan memporak porandakannya serta memutus atau melemahkan atau mengganggu dan menghentikan hati dari jalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hambaNya menuntut disyariatkan puasa untuk mereka. Puasa yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum dan mengosongkan hati dari campuran syahwatyang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba didunia dan akheratnya. Tentunya hal ini tidka merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akheratnya seorang hamba.
Kemudian mensyariatkan mereka I’tikaf yang tujuan dan intinya adalah hati tinggal menghadap Allah, menyatukan kekuatannya, berkholwat dengan Nya, menghilangkan kesebukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap Allah saja.
9.3. Pensyariatannya
I’tikaf disyariatkan Allah dalam firmanNya:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari shiyam bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shiyam itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa. (Al Baqoroh 187)
Demikian juga hal ini dilakukan Rasululloh sebagaimana dikisahkan oleh hadits dibawah ini.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya[41].
I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan untuk dilakukan pada bulan Romadhon dan selainnya, baik didahului dengan puasa atau tidak, akan tetapi yang paling utama di bulan Ramadhon dan disepuluh hari terakhir sebagaimama dijelaskan hadits-hadits berikut ini.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
Sesungguhnya Rasululloh n telah beri’tikaf disepuluh hari pertengahanromadhon lalu I’tikaf pada tahun tersebut sampai pada malam keduapuluh satu yaitu malam beliau keluar I’tikaf dipaginya beliau berkata barang siapa yang beri’tikaf bersamaku maka hendaklah beri’tikaf di sepuluh terakhir[42]. dan perintah dan persetujuan beliau kepada Umar dalam hadits :
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ نَذْرَكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً
Dari Umar bin Khothab beliau berkata: wahai Rasululloh saya pernah bernazar dizaman jahiliyah untuk I’tikaf satu malam di masjid haram. Lalu beliau menjawab: tunaikan nazarmu. Lalu Umar beri’tikaf semalam.
9.4. Syarat Dan tempatnya
I’tikaf hanya boleh dilakukan dimasjid dan tidak keluar darinya kecuali hajat dan darurat. Tidak boleh dilakukan pada selain masjid. Sebagaimana firman Allah:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. (Al Baqoroh 187)
9.5. Hal-hal Yang Diperbolehkan Dalam I’tikaf.
Boleh keluar masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepalanya keluar masjid untuk dicuci atau disisiri. Aisyah berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
Nabi jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya lalu saya sisiri, dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (kebutuhan)[43].
Dibolehkan berwudhu dimasjid.
Boleh membuat kemah kecil atau kamar kecil dengan kain di bagian belakang masjid sebagai tempat beri’tikaf, sebagaimana Aisyah membuat kemah kecil untuk Nabi beri’tikaf.
Dibolehkan meletakkan kasur atau dipan dalam I’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan dibelakang tiang taubah.[44]
Boleh mengantar istrinya yang mengunjungunya dimasjid sampai pintu masjid. Dengan dalil:
أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا
Shofiyah berkata bahwa beliau dating menziarahi nabi dalam I’tikaf beliau di sepuluh akhir romadhon lalu berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit pulang. Rasulullohpun bangkit bersamanya mengantar sampai ketika di pintu masjid didekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang anshor, lalu keduanya memberi salam kepada Nabi dan beliau berkata kepada keduanya: “perlahan, sesungguhnya dia adalah shofiuyah bintu Huyaiy. Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh” dan keduanya menganggap hal yang besar.( Bukhori).
Wanita boleh beri’tikaf dimasjid selama aman dari fitnah, dengan dalil:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.[45]
[41] Riwayat Bukhori No.1886
[42] Riwayat Bukhori No. 1887
[43] Riwayat Muslim
[44] Hadits ini sanadnya hasan, diriwayatkan Ibnu najah dalam Zawaaid sunannya.
[45] Riwayat Bukhori No. 1886
____________________
10. Malam Qadar (Lailatul Qadr)
10.1. Sebab Penamaannya.
Para Ulama berselisih tentang sebab penamaan Lailatul qadr dalam dua pendapat:
Pertama: Sebabnya adalah karena keagungan dan kemuliaannya. Keagungan dan kemuliaan ini karena Al Qur’an diturunkan seluruhnya kelangit dunia pada malam tersebut, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Qadr.
Kedua: Sebabnya karena pada malam tersebut Allah menulis seluruh taqdir, rezeki dan ajal kepada para malaikat untuk tahun tersebut, sebagaimana firman Allah :
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (Surat Addukhon. 44:4)[46]
10.2. Keutamaannya.
Cukuplah keutamaan malam tersebut dengan dua hal:
Pertama: Malam tersebut lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firmanNya:
إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Surat Al Qadr ayat:1-3)
Kedua: Pada malam tersebut Allah menuliskan seluruh taqdir tahun tersebut kepada para malaikat, sebagaimana firman Allah:
إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Surat Ad Dukhon 44:3-6)
10.3. Waktunya.
Para Ulama bersepakat menyatakan bahwa malam qadr terus ada setiap tahunnya sampai hari kiamat nanti.[47] Mereka berselisih dalam penentuan malam tersebut menjadi lima belas pendapat[48]. Namun yang rojih ada dimalam-malam ganjil sepuluh hari terakhir romadhan.
10.4. Tanda-tandanya.
Rasululloh memberikan tanda-tanda malam qadar agar dapat diketahui umatnya, diantara tanda-tandanya adalah:
Pagi harinya matahari terbit tidak terik (menyilaukan mata) sampai meninggi. Hal ini diisyaratkan dalam hadits ٌRozzi bin Hubaisy yang bertanya kepada Ubai bin Ka’ab:
قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا
Aku bertanya: Apa dalilnya engkau menegaskan hal tersebut wahai Abul Mundzir? Beliau menjawab dengan alamat atau tanda yang Rasululloh khabarkan yaitu matahari terbit waktu itu tidak terik. [49] Dalam riwayat Abu Daud:
تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِع
Matahari dipagi hari malam tersebut seperti bejana besar tidak memiliki cahaya yang terik sampai meninggi.[50]
Malam harinya cerah dan terang, tidak dingin dan tidak pula panas, sebagaimana sabda Rasululloh:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لا حَارَةَ وَلاَ بَارِدَةَ تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيْحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ
Malam qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin, pagi harinya matahari terbit lemah kemerahan.[51] Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah[52] tanpa tambahan kata (سَمْحَةٌ ) dan (صَبِيْحَتِهَا ) diganti (يوْمِهَا)
10.5. Hikmah disembunyikan waktunya.
Hikmah disembunyikan waktu malam ini adalah agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.[53]
[46] Lihat Al I’lam Bi Fawa’id Umdatil Ahkam karya Ibnu Al Mulaqqin 5/391-392
[47] ibid 5/397.
[48] Ibid 5/398-404
[49] riwayat Muslim 1999
[50] riwayat Abu Daud 1170.
[51] Riwayat Ath Thoyalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/331 dan Al bazzar dengan sanad yang hasan. (lihat Sifat saum nabi hal 90.).
[52] Shohih Ibnu Khuzaimah 3/331-332
[53] lihat Al I’lam 5/407.
____________________
11. Zakat Fithroh.
Zakat fithroh merupakan zakat yang disyari’atkan dalam islam berupa satu sho’ dari makanan yang dikeluarkan seorang muslim di akhir Romadhon,dalam rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat Allah dalam berbuka dari Romadhon dan penyempurnaannya, oleh karena itu dinamakan shodaqah fithroh atau zakat fithroh.[54]
11.1. Hukumnya
Zakat fithroh merupakan salah satu dari kewajiban -kewajiban yang dibebani kepada kaum muslimin dan diwajbkan untuk dikeluarkan oleh seorang muslim baik laki-laki atau perempuan,besar,kecil,budak atau merdeka.
Dalilnya adalah :
a. Hadits Ibnu Umar :
فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَ الأنُثْىَ وَ الصَّغِيْرِ وَ الْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ،وَ أَمَرَ بِهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسُ إِلَى الصَّلاَةِ
Rasululloh telah mewajibkan zakat fithroh satu sho’ dari korma atau satu sho’ dari gandum atas hamba sahaya ,orang merdeka,perempuan,laki-laki dan anak kecil dan besar.dan memerintahkan untuk menunaikannya sebelum keluarnya manusia menuju sholat.
b. Hadits Abi Said Al Khudry :
كُنَّا نُعْطِيهَا فِيْ َزمَانِ النَّبِي صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ.
Kami dahulu pada zaman Nabi memberikanya(zakat fithroh) satu sho’ dari makanan atau satu saho’ dari korma atau satu sho’ darigandum atau kismis(anggur kering).
c.. Perkataan Said bin Musayyab dan Umar bin Abdul Aziz dalam menafsirkan firman Allah :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya.(Al A’la :14) dengan zakat fithroh.
e. Ijma’ yang dinukil Ibnbu Qudamah dari Ibnul Munzir,beliau berkata: Telah bersepakat setiap ahli ilmu bahwa zakat fithroh adalah wajib.(lihat Al Mughny 3/80)
11.2. Hikmahnya
Zakat fithroh memiliki hikmah yang banyak,diantaranya:
1. Dia merupakan zakat untuk tubuh yang telah diberikan kehidupan tahun tersebut.
2. Terdapat padanya kemudahan-kemudahan terhadap kaum muslimin baik yang kaya maupun yang miskin.
3. Dia merupakan ungkapan syukur atas nikmat Allah yang dilimpahkan kepada orang yang berpuasa.
4. Dengannya sempurna kebhagiaan kaum muslimin pada hari ied dan dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang terjadi pada bulan Romadhon.
5. Dia menjadi makanan bagi para fakir miskin,dan pembersih bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang mengurangi kesempurnaannya pada bulan Romadhon. (lihat Fatawa Romadhon 2/909-911) dengan dalil sabda Rasululloh :
فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ.
Rasululloh telah mewajibkan zakat fitroh sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan serta memberi makan orang yang miskin.[55]
11.3. Jenis Yang Boleh dikeluarkan Untuk Zakat Fitroh Dan Yang Berhak Menerima.
Jenis yang dibolehkan dalam pengeluaran zakat fitroh adalah semua makanan pokok penduduk negeri tersebut menurut pendapat yang rojih[56] dengan kesepakatan para ulama pada jenis-jenis yang ada dalam Nash hadits. Sedang mengeluarkan harga zakat tersebut tidak diperbolehkan para ulama baik dengan uang atau daging atau yang lainnya.[57]
Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya asal dalam shodaqoh,bahwasanya diwajibkan atas dasar persamaan terhadap para orang faqir,sebagaimana firman Allah :
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ
Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,(surat Al Maidah : 89)
Dan Nabi telah mewajibkan zakat fithroh satu sho’ dari korma atau gandum, karena itulah makanan pokk penduduk Madinah,dan seandainya itu bukan makanan pokoknya,bahkan makan makanan pokok yang lainnya,maka beliau tidak membebani mereka untuk mengeluarkan dari makanan yang bukan merupakan makanan pokok mereka,sebagaimana tidak memerintahkan dengan hal itu dalan kafarot. Dan shodaqoh fithroh termasuk dari jenis kafarot, karena hal ini (zakat fithroh) berhubungan dengan badan dan ini (kafarot) juga berhubungan dengan badan,berbeda dengan shodaqoh harta(mal),karena dia diwajibkan dengan sebab harta dari jenis yang Allah telah berikan.
Sedangkan orang yang berhak menerima adalah fakir miskin saja, dengan dalil hadits Nabi:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ.
Rasululloh telah mewajibkan zakat fitroh sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan serta memberi makan orang yang miskin.
11.4. Ukuran Zakat Fithroh.
Sebagaimana ada dalam hadits-hadits terdahulu bahwa ukuran yang dikeluarkan adalah 1 sho’ yang setara kurang lebih 3 kg beras,menurut hitungan Syeikh Ibnu Baz (lihat Fatawa Romadhon 2:915 dan 2 :926).sedangkan menurut ukuran sebagian ulama setara dengan 2.275 Kg dan menurut Syeikh Ibnu Utsaimin 2,45 Kg dan dinegeri kita berlaku 2,5 Kg. Mengambil yang lebih banyak lebih baik.
11.5. Waktu Mengeluarkannya.
Waktu mengeluarkannya yang utama adalah sebelum manusia keluar menuju sholat Ied dan boleh dipercepat satu atau dua hari sebelumnya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar .dan tidak boleh setelah sholat Ied,dengan dalil hadits Ibnu Abbas marfu’:
فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَ مَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ.
Maka barang siapa yang menunaikannya sebelum keluar manusia menuju sholat,maka zakat yang diterima,dan barang siapa yang menunaikan setelah sholat,maka dia adalah shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh.(HR Abi Daud).
Demikianlah waktu mengeluarkannya, namun bila ada udzur seperti lupa atau yang lainnya maka ditunaikan ketika ingat walaupun setelah selesai sholat ‘ied[58]. Dan yang rojih dari pendapat para ulama tentang menunaikan zakat fithroh di awal Romadhon adalah tidak boleh, sebagaimana dinyatakan Syeikh Muhammad Ibnu Utsaimin.[59]
Demikian makalah ini dibuat, mudah-mudahan bermanfaat.
Ma’had Ibnu Abaas, Beku, Kliwonan, Masaran: 22 Rajab 1433H.
Penulis
Kholid bin Syamhudi
[54] (lihat Fatawa Romadhon ,2/901).
[55] ( HR Abu Daud,Ibnu Majah,Ad Daruquthny,Al Hakim dan Al Baihaqy , dan dishasankan oleh Imam An Nawawy dalam Al Majmu’ (6/126),Ibnu Qudamah dalam Al Mughny (3/50) dan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albany dalam Irwa’ Al Gholil (3/333)
[56] lihat Fatawa Romadhon 2/914
[57] ibid 2/916-927.
[58] Lihat Fataw Romadhon 2/931-935
[59] ibid 2/935
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله عز وجل من هذه الأيام
يعني أيام العشر قالوا يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم
لم يرجع من ذلك بشيء
رواه البخاري
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ia berkata, Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda,
“ Tiada hari yang amalan sholih pada hari-hari itu lebih Allah cintai melebihi hari-hari ini. yaitu 10 hari (dzulhijjah).”
Para sahabat bertanya,
“ Tidakkah (lebih dicintai) jihad fii Sabilillah ?”
Beliau menjawab,“ Tidak juga jihad fii sabilillah. Kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak pernah kembali lagi.”
HR Bukhari – shohih at targhib 1248
Syaikh Sholeh al-Fauzan hafidhohullahu ta'ala pernah ditanya:
Pertanyaan: Kapan saya mulai mengajar anak-anak tentang agama?
Beliau menjawab:
Pendidikan anak-anak dimulai ketika mereka mencapai usia tamyiz (bisa membedakan baik dan buruk, sekitar usia 7 tahun) , maka pendidikan agama mereka dimulai ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,: “Perintahlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, pukul lah mereka disebabkan tidak mau shalat ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya).
Jika anak mencapai usia tamyiz, maka Ayahnya diperintahkan mengajari anaknya dan mendidik anaknya untuk berbuat baik dengan mengajarinya Al-Qur'an dan hadis-hadis yang mudah, serta mengajarinya hukum-hukum yang sesuai dengan usia anak tersebut, seperti mengajarinya cara berwudhu dan cara sholat. Mengajarinya dzikir ketika akan tidur dan ketika bangun tidur. mengajarinya dzikir ketika makan dan minum.
Ini sebabnya jika dia telah mencapai usia tamyiz, maka dia memahami apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.
Orang tua juga perlu melarangnya dari hal-hal yang tidak pantas dan menjelaskan kepadanya bahwa hal-hal tersebut tidak boleh dia lakukan, seperti seperti berbohong, bergosip, dan seterusnya, hingga dia dibesarkan dalam kebaikan dan meninggalkan keburukan sejak kecil, dan ini adalah hal yang sangat penting yang diabaikan oleh beberapa orang terhadap anak-anaknya.
في بعض المساجد، وخاصة بعد صلاة العصر يقرأ الإمام أو أحد الإخوة عدة أحاديث من رياض الصالحين في كل ليلة، فهل هذا العمل من البدعة؟
الجواب: ليس هذا بدعة، هذا من التذكير والتعليم؛ لأن هذا من باب تعليم الجماعة وإرشادهم إلى ما ينبغي لهم، الدروس في المسجد بعد العصر، أو بعد العشاء، أو في أي وقت لتعليم الجماعة وتعليم الحاضرين هذا كله مطلوب، نعم، هذا من باب التعليم.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu ta'ala pernah ditanya: di beberapa masjid (khususnya) setelah ashar imam atau salah seorang Ikhwah membaca beberapa hadits Riyadhusholihin di setiap malam, apakah amalan ini termasuk bid'ah?
Belaiu menjawab:
Ini bukanlah termasuk bid'ah, ini termasuk mengingatkan dan mengajar, ini termasuk bentuk mengajari jamaah dan mengarahkan mereka pada apa yang selayaknya. pemberian pelajaran di masjid setelah ashar, setelah Isya' atau di waktu kapanpun dalam rangka mengajari kelompok masyarakat dan orang orang yang hadir, ini semua perlu, ya , ini termasuk edukasi
Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah. Fatwa No. (1870) disebutkan:
س: إنهم كانوا يصلون إحدى الصلوات في البيت وأخذ منبه التليفون يرن وأشغلهم بالرنين مدة طويلة، فهل يجوز في مثل هذه الحالة أن يتقدم المصلي أو يتأخر ويرفع سماعة التليفون ويكبر أو يرفع صوته بالقراءة ليعلم صاحب التليفون أنه يصلي، قياسًا على فتح الباب للطارق أو رفع الصوت له؟ج: إذا كان المصلي بالحالة التي ذكرت وأخذ التليفون يرن جاز له أن يرفع السماعة ولو تقدم قليلاً أو تأخر كذلك، أو أخذ عن يمينه أو شماله، بشرط أن يكون مستقبل القبلة، وأن يقول: (سبحان الله) تنبيهًا للمتكلم بالتليفون؛ لما ثبت في الصحيحين "أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت ابنته، فإذا ركع وضعها وإذا قام حملها" ، وفي رواية مسلم : وهو يؤم الناس في المسجد ، ولما روى أحمد وغيره عن عائشة رضي الله عنها قالت: "كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فمشى حتى فتح لي ثم رجع إلى مقامه، ووصفت أن الباب في القبلة" ، وما رواه البخاري ومسلم "أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من نابه شيء في صلاته فليسبح الرجال وليصفق النساء" وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Pertanyaan: Mereka sedang melaksanakan salah satu shalat di rumah, kemudian alarm telepon berbunyi dan perhatian mereka terganggu oleh dering tersebut dalam waktu yang lama, apakah dalam keadaan seperti ini orang yang shalat boleh maju atau mundur kemudian mengambil gagagng telepon kemudian mengucap takbir atau mengangkat suaranya ketika membaca bacaan supaya orang yang menelpon tahu bahwa ia sedang melaksanakan shalat, ini dianalogikan dengan membukakan pintu untuk orang yang mengetuk pintu atau mengangkat suara untuk dia (supaya dia mendengar)?
Jawaban: Jika orang yang shalat berada pada keadaan tersebut dan teleponnya berbunyi, maka boleh ia mengangkat telepon tersebut, meski untuk hal itu ia perlu berjalan sedikit ke depan atau ke belakang, atau geser ke kanan atau ke kiri, dengan syarat tetap menghadap kiblat kemudian ia mengucapkan: subhanallah (Maha Suci Allah) supaya orang yang menelpon tahu keadaan yang ditelepon
Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dalam kitab Shaih Bukhari dan kitab Shahih Muslim
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat dalam keadaan Beliau menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."Jika suku' beliau letakkan anak itu dan bila berdiri beliau gendong lagi."
dan dalam riwayat Muslim: ketika itu Beliau mengimami orang-orang di masjid. Dan berdasarkan riwayat imam Ahmad dan yang lainnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata:
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian kembali ke tempatnya (untuk melaksanakan shalat).” ‘Aisyah menggambarkan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat.
Dan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim “bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang terganggu oleh sesuatu dalam shalatnya, hendaklah dia mengucapkan subhanallah (Para lelaki) sedangkan wanita bertepuk tangan.” Allah lah yang memberi petunjuk, shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wa sahbihi wa sallam
Berikut ini sebagian fatwa dalam masalah ini
Ulama' yang duduk di Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya
هل الأرض كروية أو مسطحة ؟
Apakah bumi itu bulat atau datar?”
Mereka menjawab:
الأرض كروية الكل مسطحة الجزء " .
Bumi secara keseluruhan adalah bulat, namun datar ketika dilihat sebagian”. (Fatawa Lajnah Daimah: 26/414)
Syaikh Utsaimin rahimahullahu ta'ala menerangkan
" لو قال قائل: إن الله عز وجل أخبر أن الأرض قد سطحت، قال: ( وإلى الأرض كيف سطحت) الغاشية/ 20 ، ونحن نشاهد أن الأرض مكورة ، فكيف يكون خبره خلاف الواقع ؟
فجوابه : أن الآية لا تخالف الواقع ، ولكن فهمه خاطئ إما لقصوره أو تقصيره ، فالأرض مكورة مسطحة ، وذلك لأنها مستديرة ، ولكن لكبر حجمها لا تظهر استدارتها ، وحينئذ يكون الخطأ في فهمه، حيث ظن أن كونها قد سطحت مخالف لكونها كروية
“Jika ada seseorang yang berkata: Sesungguhnya Allah –subhanahu wa ta’ala- telah mengabarkan bahwa bumi adalah datar (terhampar) dalam firman-Nya:
وإلى الأرض كيف سطحت (سورة الغاشية: 20)
“Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”. (QS. al Ghasyiyah: 20)
Kami menyaksikan bahwa bumi adalah bulat, bagaimana mungkin berita dari Allah bertentangan dengan realita ?!. Maka jawabannya adalah: Bahwa ayat tersebut tidak bertentangan dengan realita, namun pemahamannya yang salah karena ketidaktahuannya atau tidak mau belajar. Sebenarnya bumi itu bulat dan datar, yaitu: bulat seperti bola tetapi karena bentuknya besar maka tidak nampak bulatnya, disinilah letak kesalahfahamannya, hingga menyangka bahwa bumi telah terhampar datar bertentangan dengan kenyataan bahwa sebenarnya adalah bulat”. (Majmu Fatawa wa Rasail Utsaimin: 8/644)
Wallahu ta'ala a'lam
Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya:
السؤال: هذه رسالة وردتنا من النماص من سعد الشهري ، يقول في رسالته: نحن في منطقة الجنوب بعضنا يضحي ببقر، أي: كل سبعة أشخاص يشترون بقرة ويضحون بها، أي كل واحد منهم يأخذ سبع هذه البقرة، عنه وعن أهل بيته منذ قديم الزمان، وفي هذا العام قال بعض القضاة: إن البقرة لا يجوز أن يضحي بها؛ لأنها لا تضحي إلا عن سبعة أشخاص، دون عوائلهم، فأرجو إرشادنا في هذا الأمر، هل السبع من البقرة يضحي عن الرجل وأهل بيته، أم وحده دون أهله؟ ولكم منا جزيل الشكر؟
Pertanyaan: Ini adalah pesan yang kami terima dari Al-Namas dari Saad Al-Shehri, dia mengatakan dalam pesannya: Kami berada di wilayah selatan, beberapa dari kami mengorbankan sapi, artinya: setiap tujuh orang membeli seekor sapi dan mengorbankannya, Artinya masing-masing dari mereka mengambil sepertujuh dari sapi ini, atas nama dirinya dan keluarganya sejak zaman dahulu. Tahun ini, beberapa hakim berkata: Tidak boleh sapi dikorbankan. Karena kurbannya hanya atas nama tujuh orang, tidak termasuk keluarganya, maka mohon petunjuknya dalam hal ini, apakah kurban tujuh ekor sapi atas nama satu orang dan keluarganya, atau sendirian tanpa keluarganya? terima kasih kami yang sebesar-besarnya kepada Anda?
الجواب: قد صح عن النبي عليه الصلاة والسلام أن أمر بالاشتراك في البدنة والبقرة عن سبعة، فإذا أجزأت عن سبعة من الناس، في الضحايا والهدايا، فهكذا يجوز للرجل أن يجعل السبع الذي يذبحه عن نفسه، يكون عنه وعن أهل بيته؛ لأن الرجل وأهل بيته كالشيء الواحد، فلا أرى بأساً في ذلك، حتى يكون السبع عنه وعن أهل بيته، ولا حرج في ذلك
Jawaban: Telah diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan tujuh orang berserikat pada qurban unta dan sapi, jika itu mencukupi untuk tujuh orang pada kegiatan qurban dan hadiah, maka diperbolehkan untuk seorang laki-laki untuk menjadikan sepertujuh yang dia qurbankan untuk dirinya dan untuk keluarganya; Karena seorang dan keluarganya adalah seperti satu bagian, jadi saya tidak melihat ada yang salah dengan itu, sehingga sepertujuh itu pahalanya untuk dia dan keluarganya, dan tidak ada yang salah dengan itu.
https://binbaz.org.sa/fatwas/6010/اجزاء-سبع-البقرة-عن-المضحي-واهله
Ulama' yang duduk di Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa pernah ditanya :
Tidak diragukan lagi bahwa kaum Luth telah melakukan perbuatan yang paling keji (homoseksualitas). Apakah pelaku dosa besar seperti ini diterima tobatnya jika belum dikenakan hukum had? Apakah pelaksanaan hukum had menjadi syarat agar seseorang dinyatakan benar-benar bertobat? Pelaku dosa besar (sodomi) ini adalah orang fasik, lalu apakah tobat dapat menghapus kefasikan? Apakah masih ada kemungkinan bagi orang yang melakukan homoseksualitas dan dosa besar lainnya untuk mendapatkan predikat takwa? Apa yang harus dilakukan jika pelaku tinggal di negara yang tidak menerapkan hukum had? Apa solusi bagi seseorang yang menderita disorientasi seksual (kecenderungan suka sesama jenis) sejak kecil, sementara usianya saat ini hampir mencapai dua puluh tahun? Apa hukum had yang sesuai untuk perbuatan dosa besar seperti homoseksualitas, terutama jika seseorang bertindak sebagai pelaku pasif (yang disetubuhi) dan aktif (yang menyetubuhi)? Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa hukum had bagi pelaku sodomi diserahkan kepada hakim karena tidak ada dalil yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan tidak ada kesamaan pendapat dari para Khulafa` ar-Rasyidin? Mohon beri kami fatwa atas hal ini, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan dan membimbing langkah Anda.
Mereka menjawab:
Pertama, kaum muslimin telah berijma bahwa tindakan sodomi termasuk dosa besar yang telah Allah haramkan dalam Al-Quran. Allah Ta'ala berfirman, Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,(165) dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas (yakni keluar dari batas halal dan memilih untuk melakukan perbuatan haram)
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Allah tidak akan melihat (dengan pandangan rahmat) seorang lelaki yang melakukan hubungan seksual sesama lelaki, atau yang menggauli istrinya melalui anus."
Kedua, pintu tobat selalu terbuka bagi semua pelaku maksiat bahkan kafir sekalipun hingga matahari terbit dari barat (Hari Kiamat).
Syarat tobat atas pelanggaran terhadap hak Allah adalah berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang telah lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Pelaksanaan hukum had tidak termasuk dalam syarat tobat. Allah Ta'ala berfirman, Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya". dan Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ketiga, sebaiknya seseorang yang jatuh dalam perbuatan maksiat berupaya untuk menutupi dan tidak mengumbar dosanya dengan tirai Allah. Ia harus meminta ampun dan bertobat kepada Allah dengan tulus. Sebab, ada hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi "Jauhilah perbuatan-perbuatan keji yang dilarang Allah. Barangsiapa melakukannya, maka hendaklah ia bersembunyi dengan tirai Allah dan bertobat kepada-Nya, karena sesungguhnya orang yang tampak catatan kesalahannya kepada kami, maka kami akan terapkan hukum Allah atasnya." Menurut adz-Dzahabi, sumber hadis tersebut adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Hukum had dalam syariat atas tindakan kriminal ini dikembalikan kepada hakim syar'i. Ia yang memiliki kewenangan untuk memutuskannya berdasarkan aturan dan kondisi terkait. Wabillahittaufiq, wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Abdullah bin Ghadyan Anggota
Abdullah bin Qu'ud Anggota
Abdurrazzaq Afifi Wakil Ketua
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Ketua
Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 24/349-350 Fatwa Nomor 7803
الأصل وجوب العمل بالقول الراجح، وعدم العمل بالقول المرجوح، لمن علم أنه مرجوح، قال الشوكاني في إرشاد الفحول: وَمَنْ نَظَرَ فِي أَحْوَالِ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ، وَتَابِعِيهِمْ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ، وَجَدَهُمْ مُتَّفِقِينَ عَلَى الْعَمَلِ بِالرَّاجِحِ، وَتَرْكِ الْمَرْجُوحِ ... اهـ
وجاء في الموسوعة الفقهية: حُكْمُ الْعَمَل بِالْمَرْجُوحِ.
قَال الزَّرْكَشِيُّ: إِذَا تَحَقَّقَ التَّرْجِيحُ وَجَبَ الْعَمَل بِالرَّاجِحِ، وَإِهْمَال الآْخَرِ، لإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى الْعَمَل بِمَا تَرَجَّحَ عِنْدَهُمْ مِنَ الأْخْبَارِ ... اهـ
لكن إذا كان في العمل بالقول المرجوح دفع مضرة، أو حرج، أو تحقيق مصلحة معتبرة شرعًا، فقد ذكر أهل العلم جوازَ العمل به حينئذ، جاء في فتاوى الشيخ محمد بن إبراهيم -رحمه الله تعالى-: إذا ثبتت الضرورة، جاز العمل بالقول المرجوح نظرًا للمصلحة، ولا يتخذ هذا عامًّا في كل قضية، بل الضرورة تقدر بقدرها، والحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا ... اهـ
وقال أيضًا: المسأَلة الخلافية إِذا وقعت فيها الضرورة ... جاز للمفتي أَن يأْخذ بالقول الآخر من أَقوال أَهل العلم، الذي فيه الرخصة. اهـ
وقال أيضًا: إذا كان قول مرجوح، وهو الأغلظ لسد باب الشر، فإنه تسوغ الفتوى به. اهـ
وقال بعض أهل العلم أيضًا: إنه يجوز للمقلد أن يعمل بالمرجوح في حق نفسه، إذا لم يكن في العمل به جمع بين الحل والحرمة، جاء في حاشية عميرة: فَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ مُرَجِّحٌ، فَلِلْمُقَلِّدِ أَنْ يَعْمَلَ بِأَيِّ الْقَوْلَيْنِ شَاءَ، وَيَجُوزُ الْعَمَلُ بِالْمَرْجُوحِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ، لَا فِي الْإِفْتَاءِ، وَالْقَضَاءِ، إذَا لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَ مُتَنَاقِضَيْنِ، كَحِلٍّ وَحُرْمَةٍ فِي مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ. اهـ
وقد سئلت اللجنة الدائمة: ما الحكم الشرعي في تبادل العملات (في السوق السوداء) مثلا 3000 دج بـ 3000 فرنك فرنسي، أي بنسبة 300% مع العلم أن التبادل عن الطريق الشرعي هو مثلا 300 دج بـ 340 فرنك فرنسي.
فأجابت: إذا كان التبادل بين عملتين من جنس واحد، وجب التساوي بينهما، والتقابض بالمجلس، وحرم التفاضل بينهما، وحرم تأخير القبض فيهما، أو في إحداهما شرعا، وإذا كانتا من جنسين جاز التفاضل بينهما شرعا، سواء كان ذلك في السوق السوداء أم في غيرها، وحرم تأخير بعضهما أو إحداهما .اهـ.
Syaikh Utsaimin ditanya mengenai sejauh mana kebenaran kitab tafsir mimpi, seperti kitab tafsir mimpi Ibnu Sirin rahimahullah?
Beliau menjawab:
Jawaban dari pertanyaan ini adalah: Saya menasehati saudaraku kaum Muslimin untuk tidak menyimpan kitab-kitab ini dan tidak membacanya, sebab itu bukanlah wahyu yang diturunkan, akan tetapi itu hanya pendapat yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Di sisi lain, mimpi bisa jadi sama tapi hakikatnya berbeda, tergantung apa yang ia lihat dalam mimpi, tergantung waktu dan tergantung tempat.
Bila kita melihat mimpi tertentu itu tidak berarti bahwa setiap kita bermimpi hal yang sama maka ta'wilnya sama dengan yang pertama. Bahkan itu berbeda, kadang kita menta'wil mimpi seseorang dengan begini, dan kita menta'wil mimpi orang lain yang sama dengan ta'wil yang berbeda...
Majmu' Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 26/360-361 no.152
Alhamdulillah.
Pertama:
Orang yang bertaklid kepada ulama yang telah dikenal ilmu dan amanahnya tidaklah berdosa, karena dia sesungguhnya sedang mengimplementasikan firman Allah Taala,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (سورة النحل: 43)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl: 43
Seorang ulama bagi seorang awam, adalah dalil itu sendiri. Dia harus mengkaji darinya dan mengikuti fatwanya.
Asy-Syathibi berkata dalam kitab Al-Muwafaqat (4/292)
“Fatawa para mujtahid bagi masyarakat awam bagaikan dalil syar’i bagi para mujtahid. Dalilnya adalah bahwa ada tidaknya dalil-dalil bagi orang yang bertaklid sama saja, karena mereka tidak dapat memanfaatkannya sedikitpun. Maka mendalami dan mengambil kesimpulan dalil-dalil tersebut, bukanlah wewenang mereka, dan bahkan tidak boleh sama sekali hal itu bagi mereka, karena Allah telah katakan,
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl: 43
Orang yang bertaklid bukanlah ulama, maka tidak ada jalan baginya keculai bertanya kepada para ulama dan menjadikannya sebagai rujukan dalam beragama secara mutlak.
Maka, mereka (para ulama) jika demikian, adalah orang-orang yang menempati kedudukan syariat bagi kalangan awam dan perkataan mereka menempati kedudukan syariat.”
Disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (32/47-49), “Wajib bagi peminta fatwa, jika mengalami suatu peristiwa, hendaknya bertanya kepada orang yang dikenal ilmu dan keadilannya.
Ibnu Abidin berkata dengan mengutip ucapan Al-Kamal bin Al-Hammam, “Kesepakatan dalam mencari solusi adalah meminta fatwa kepada ulama yang dikenal mampu berijtihad dan adil (beriman dan bertakwa) ada kepada orang yang diberikan wewenang untuk itu dan orang-orang meminta fatwa darinya serta menghormatinya. Akan tetapi, jangan minta fatwa, jika di nilai orang tersebut tidak memiliki salah satu dari keduanya, yaitu tidak pandai berijtihad atau tidak adil (ada cacat dalam masalah iman dan ketakwaannya).
Bagaimana jika seorang pencari fatwa mendapati ulama lebih dari satu dan semuanya adil serta layak berfatwa. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang berfatwa boleh memilih di antara mereka, dia dapat bertanya kepadanya apa yang dia inginkan lalu mengamalkan berdasarkan fatwanya. Tidak wajib baginya bersungguh-sungguh untuk menetapkan siapa yang paling utama di antara mereka untuk dijadikan tempat bertanya. Dia cukup bertanya siapa kepada siapa yang menurutnya paling utama, kalau dia mau. Kalau tidak, dia boleh bertanya kepada yang tidak lebih utama, walaupun ada yang lebih utama.
Mereka berdalil dengan firman Allah Taala,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Juga berdasarkan dalil bahwa orang-orang pada masa-masa awal mereka bertanya kepada seorang sahabat, padahal ada sahabat yang lebih utama dan lebih senior yang dapat mereka tanya. Jika seseorang bertanya kepada lebih dari satu ahli fatwa dan jawaban mereka sama, maka dia harus mengamalkannya jika dia merasa tenang dengan fatwa mereka.
Jika mereka berbeda pendapat, para ahli fiqih memiliki dua pandangan;
Mayoritas ahli fiqih; Ulama mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian ulama mazhab Hambali, Ibnu Suraij, Samma’ani, Ghazali ulama mazhab Syafii, mereka berpendapat bahwa orang awam tidak boleh memilih di antara pendapat mereka begitu saja, diambil yang dia suka dan ditinggalkan yang dia suka, tapi dia harus mengamalkan dengan menguatkan salah satu pendapat semampunya.
Yang lebih benar dan lebih kuat menurut ulama dari kalangan mazhab Syafii dan sebagian mazhab Hambali adalah bahwa kalangan awam boleh memilih di antara pendapat para ahli fatwa yang berbeda-beda. Karena seorang awam dituntut bertaklid, hal itu terbukti dengan bertaklid kepada siapa saja ahli fatwa yang dia kehendaki.”
Kedua:
Yang wajib bagi anda wahai penanya, adalah menyampaikan kasus anda kepada seorang ulama yang terkenal keilmuannya, serta amanah dan kepercayaannya, kemudian anda ambil fatwanya dan berpegangteguh kepadanya. Tidak boleh yang anda tuju adalah sekedar mencari keringanan dan yang fatwanya yang paling mudah, kecuali dalam satu kondisi, yaitu apabila masalah yang dipertentangkan antara para ulama sifatnya ijtihad dan cabang, tidak terdapat nash dalam Al-Quran dan Sunah yang menguatkan pendapat-pendapat tersebut, akan tetapi penguatnya adalah pandangan logika dan ijtihad semata. Maka ketika itu tidak mengapa mengambil yang keringanan di antara berbagai pendapat yang dibutuhkan seoran muslim. Kaidah syariat mengatakan, “Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Terdapat dalam “Liqoat Al-Bab Al-Maftuh”, Syekh Ibnu Utsaimin (Pertemuan ke 46, soal no. 2). Pertanyaan, “Apakah boleh meminta fatwa kepada lebih dari seorang ulama? Jika terjadi perbedaan fatwa, apakah peminta fatwa mengambil yang paling mudah dan atau yang lebih hati-hati? Jazaaumullah khairan.”
Jawab:
Tidak dibolehkan seseorang, jika dia telah meminta fatwa kepada seorang ulama yang dipercaya ucapannya, lalu dia meminta fatwa kepada selainnya.
Karena hal itu menyebabkan sikap mempermainkan agama Allah dan mencari-cari keringanan. Karena jika dia bertanya kepada seseorang ulama, lalu jawabannya tidak cocok, dia bertanya lagi kepada ulama lainnya, jika tidak cocok, dia bertanya kepada ulama yang ketiga, demikian seterusnya. Para ulama menyatakan bahwa sikap mencari-cari yang mudah dalam agama adalah kefasikan.
Akan tetapi kadang seseorang tidak mengetahui ulama kecuali si fulan misalnya, lalu dia bertanya karena mendesak. Dia niat apabila bertemu dengan ulama yang lebih dipercaya ilmu dan agamanya maka dia akan bertanya kepadanya. Hal seperti ini tidak mengapa jika dia bertanya kepada yang pertama karena darurat, lalu ketika dia bertemua dengan lebih utama, maka dia bertanya lagi.
Jika para ulama berbeda pendapat di hadapannya dalam suatu fatwa, atau berdasarkan apa yang dia dengar dari nasehat dan ceramah mereka, maka hendaknya dia mengikuti ulama yang menurut dia lebih kuat ilmu dan agamanya. Jika menurutnya keduanya sama-sama kedudukannya dalam hal ilmu dan agama, maka sebagian ulama berpendapat hendaknya dia pilih yang lebih hati-hati, atau yang paling berat. Ada juga yang berpendapat, hendaknya dia memilih yang lebih mudah. Pendapat ini yang benar, karena jika fatwa-fatwa yang ada kedudukannya seimbang di hadapan anda, maka anda dapat memilih yang lebih ringan, karena agama Alah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan kemudahan, bukan berdasarkan kesulitan. Aisyah radhiallahu anha berkata saat menjelaskan sifat Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إنه ما خير بين أمرين إلا اختار أيسرهما ما لم يكن إثماً
“Sungguhnya beliau, jika berada dalam dua perkara yang dipilih, niscaya akan memilih yang paling ringan. Selama tidak berdosa.”
Maka dengan demikian, seseorang tidak boleh memilih perkara yang paling ringan kecuali dengan dua syarat;
1. Tidak bertentangan dengan pendapat jumhur ulama baik kalangan salaf maupun khalaf. Tidak diragukan lagi bahwa yang paling layak dan paling hati-hati adalah mengikuti mazhab mereka.
2. Dalil-dalil yang disampaikan oleh kedua pandangan yang berbeda tersebut kedudukannya sama, maka ketika itu, anda dapat mengambil yang lebih ringan di antara kedua pendapat. Wallahu a’lam.islamqa.info