Fawaid Ilmiah

Hukum Mempelajari Salah Satu Madzhab

Syeikh Abdul Karim Al Khudhair berkata:


ولا بأس بتعلّم الفقه على مذهب من المذاهب الأربعة بشرط أن يتّبع الدليل إذا تبيّن له أنّ المذهب مخالف للدليل في مسألة ما من المسائل لأن طاعة الله ورسوله مقدّمة على طاعة كلّ احد وكذلك أن يتأدّب مع المدارس الفقهية الأخرى ولا يحمله التعصّب لمذهبه على مخاصمتهم بل يجعل الحقّ رائده ويحترم أقوال العلماء واجتهاداتهم وتكون طريقته المباحثة بالأدب للوصول إلى الحقّ والمناصحة بالحسنى للمخالفين إذا تبيّن له أنهم على خطأ 

ومن الخطأ أن يرفض القادر على التعلّم أن يتعلّم بحجّة أنّ العلماء وحدهم هم القادرون على فهم الأدلّة ، ونحن لا نقول لمن لا يستطيع الاجتهاد أن يستنبط من النصوص ويجتهد وليس عنده مَلَكَة ولا آلة الاجتهاد وإلا عمّت الفوضى ، ولكن نقول له إذا كنت ذا فهم فاعرف على الأقلّ ما هي حجّة إمامك وما دليله كي ترتبط بالقرآن والسنّة وتكون متّبعا على بصيرة لا مقلّدا إمّعة . والله الموفّق والهادي إلى سواء السبيل


Tidak masalah untuk memperlajari fikih salah satu madzhab dari 4 madzhab yang ada, dengan syarat tetap mengikuti dalil (jika nampak baginya bahwa madzhab tersebut bertentangan dengan dalil pada permasalahan tertentu) karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya lebih didahulukan dari pada taat kepada siapapun, demikian juga hendaknya berlaku santun pada madrasah-madrasah fikih yang lain. Jangan sampai rasa fanatik pada madzhabnya membawa dia memusuhi madzhab-madzhab lain, akan tetapi dia hendaknya menjadikan kebenaran sebagai panglima, dan menghormati pendapat para ulama, serta hasil ijtihad mereka. Dan hendaknya cara mengkaji madzhab diiringi adab supaya bisa sampai kepada kebenaran, dan supaya bisa menasehati orang orang yang berbeda dengannya menggunakan cara yang baik (jika memang mereka nampak berada pada kesalahan)

Termasuk kesalahan, jika seseorang yang mampu untuk mempelajari namun tidak mau mempelajari dengan alasan bahwa para ulama saja yang mampu memahami dalil-dalil. Kami tidak berkata kepada seseorang yang tidak mampu berijtihad agar menyimpulkan masalah dari nash-nash yang ada, kemudian ia melakukan ijtihad padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk itu, dan tidak jga menguasai alat berijtihad, kalau dia tetap melakukannya maka kerancuan yang akan menyebar kemana-mana, akan tetapi kami katakan kepadanya: “Jika anda mampu memahami maka kenalilah, minimal apa yang menjadi alasan dari imam anda, dan apa dalilnya ? agar anda tetap terikat dengan al Qur’an dan Sunnah, dengan begitu anda akan menjadi seorang muttabi’ yang didasari ilmu, dan anda tidak sebagai muqallid yang selalu meniru. Semoga Allah selalu memberikan taufik dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus.



Melayani Orang Tua Yang Membutuhkan Ataukah Shalat Sunnah di Malam Lailatul Qadr


Mufti Arab Saudi ditanya: yang mana lebih afdhal, berbakti kepada ibu atau melaksanakan shalat qiyam, tahajjud, dan berburu lailatul qadr jika keduanya bertepatan di satu waktu 

Beliau menjawab:

Demi Allah berbakti kepada ibu hukumnya wajib, termasuk ibadah, termasuk ketaatan kepada Allah. Kalau seseorang sibuk dengan melayani ibunya, mengobatinya, mendekatkan hal yang diperlukan olehnya, sibuk dengan makanan ibunya, kepentingan tidurnya ini merupakan ibadah… Qiyamullail sunnah yang ditekankan, adapun ini (berbakti kepada ibu) merupakan kewajiban…

https://www.youtube.com/watch?v=_t4ALLvLEaY


Membawa Anak Kecil Ke Masjid

Tidak mengapa mengajak anak kecil ke masjid dalam rangka melaksanakan shalat berjamaah dengan memperhatikan beberapa perkara:

1- Tidak menyebabkan kegaduhan dan mengganggu orang shalat. Hal tersebut dapat dihindari dengan memberikan nasehat  kepadanya.

2- Mengantisipasi agar dia tidak mengotori masjid karena buang air kecil atau besar.

3- Kedua orang tuanya menghindari pemberian pakaian yang tidak layak dipakai untuk anak tersebut di masjid. Ini sebagian bentuk pendidikan dalam rangka menjaga kehormatan, dan hal ini berlaku di mana saja dia berada. Tidak diragukan lagi bahwa mesjid lebih utama bagi anak untuk memakai pakaian syar’i.

Dalil dibolehkannya mengajak anak kecil sebelum masa tamyiz dan balig adalah riwayat Qatadah radhiallahu anhu, dia berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ عَلَى عَاتِقِهِ ، فَصَلَّى ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا ، وَإِذَا رَفَعَ رَفَعَهَا 

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar sambil menggendong Umamah binti Abul Ash di pundaknya, lalu beliau shalat, apabila ruku beliau meletakkannya, jika bangkit, beliau mengangkatnya." (HR. Bukhari, no 5996, Muslim, no. 543)

Tidak sepantasnya menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membawa anak-anak yang suka mengganggu dan mengusik rumah Allah Ta'ala. Karena jika diperkirakan ada manfaat membawa mereka ke masjid, akan tetapi kerusakan yang ditimbulkan mereka lebih besar dari kebaikannya. Dan menghindari kerusakan didahulukan dari mendatangkan manfaat. .

Membawa anak kecil ke masjid selayaknya dilakukan karena situasi mendadak, atau ada keperluan atau sesuatu kejadian yang bersifat jarang terjadi, atau semacamnya. Perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap puterinya Zainab (Umamah) bukan merupakan kebiasaan yang terus dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan terdapat riwayat bahwa Umamah binti Zainab tersebut bergelayutan dengan kakeknya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat beliau keluar menuju masjid, maka kemudian beliau menggendongnya dan membawanya ke masjid.

Imam Ash-Shan'ani rahimahullah berkata, "Ucapan; 'Beliau dahulu shalat..' menunjukkan bahwa redaksi ini tidak berarti pengulangan secara mutlak, karena peristiwa menggendong Umamah hanya terjadi sekali pada beliau, tidak (terjadi pada waktu)  lain." (Subulussalam, 1/211)

Ibnu Qasim rahimahullah berkata, "Malik ditanya tentang anak kecil yang dibawa ke masjid?" Beliau berkata, "Jika dia tidak mengganggu karena usianya yang masih kecil, atau mengikuti arahan jika dilarang, maka saya memandang tidak apa-apa (dibawa ke masjid)." Lalu dia berkata, "Tapi jika dia mengganggu, maka saya memandang agar jangan dibawa ke masjid." (Al-Mudawwanah, 1/106)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, "Masjid hendaknya dipelihara dari apa saja yang mengganggunya dan mengganggu orang shalat di dalamnya. Misalnya dari suara keras anak-anak, atau tindakan mereka yang mengotori tikarnya, dan semacamnya. Khususnya pada saat shalat. Karena hal tersebut merupakan kemunkaran yang besar." (Majmu Fatawa, 22/204)

Ulama Lajnah Daimah (22/204) berkata, "Jika anaknya belum usia tamyiz, maka lebih baik tidak dibawa ke masjid, karena dia belum mengerti shalat dan mengerti makna berjamaah, disamping dia dapat mengganggu orang shalat."

(Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdul Aziz Al Syekh, Syekh Abdullah bin Ghudayyan, Syekh Saleh Al-Fauzan, Syekh Bakar Abu Zaid)

Fatawa Lajnah Daimah, Al-Majmua Ats-Tsaniah, 5/263-264)

Mungkin ada orang tua yang anaknya berisik di masjid berdalih bahwa anak kecil berisik di masjid adalah hal normal dan seharusnya orang yang melaksanakan shalat kalau dia khusyu' shalatnya dan ingat Allah maka dia akan fokus dan tidak akan terganggu dengan suara suara di sekitarnya. Wallahu ta'ala a'lam pandangan ini tidaklah tepat secara mutlak mengingat Nabi Muhammad saja yang shalatnya bagus dan tingkat fokus dan khusyu'nya tinggi masih terpengaruh dengan suara-suara di sekitar, termasuk suara anak kecil. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّي لَأَدْخُلُ فِي الصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي ، مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ

"Sungguh aku telah mulai shalat, lalu aku hendak shalat dengan panjang, namun aku mendengar suara tangis bayi, maka aku segerakan shalatku karena aku tahu, sang ibu sangat gelisah dengan tangisannya."  

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah merasa terganggu saat melaksanakan shalat Dhuhur dengan makmum yang membaca keras surat al-A'la. Dalam sunan Abu Daud no. 828 dinukil suatu hadits:

 أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عَليهِ وسلَّمَ صلَّى الظُّهرَ فجاءَ رجلٌ فقَرأ خلفَه سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأعْلَى فَلمَّا فرغَ قالَ أيُّكُم قرأ قالوا رجُلٌ قالَ قَد عرَفتُ أنَّ بَعضَكُم خَالَجَنيها

Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuhur, datanglah seorang laki-laki dan menjadi makmum, kemudian makmum itu membaca surat al-A'la. Ketika Nabi selesai shalat Dhuhur Beliau berkata siapa yang tadi membaca surat tersebut. Para sahabat menjawab: laki laki tertentu. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: aku tahu bahwa sebagian kalian mencabut bacaan itu dari lisanku.

Maksudnya seakan akan Rasul shallallahu alaihi wa sallam tercabut bacaannya dan membuat bacaan Rasul bercampur baur.


Dalam riwayat imam Muslim no.398 disebutkan dengan redaksi:

أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ، فَجَعَلَ رَجُلٌ يَقْرَأُ خَلْفَهُ بسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى، فَلَمَّا انْصَرَفَ قالَ: أيُّكُمْ قَرَأَ، أوْ أيُّكُمُ القَارِئُ، فَقالَ رَجُلٌ أنَا، فَقالَ: قدْ ظَنَنْتُ أنَّ بَعْضَكُمْ خَالَجَنِيهَا.


Wallahu ta'ala a'lam

Amalan di Bulan Ramadhan

Salamdakwah akan menyajikan tulisan Ustadz Kholid Syamhudi mengenai Bulan Ramadhan dengan berseri, semoga para member salamdakwah dapat menyimak dan mengingat materi tulisan ini dengan lebih mudah, insyaAllah. 

Bulan Romadhon hampir tiba, kaum musliminpun menyambutnya dengan penuh harap dan kebahagian. Bagaimana tidak?! Bulan yang penuh barokah dan keutamaan. Bulan diturunkannya Al Qur’an yang menunjuki manusia kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat. Maka tak heran kaum muslimin menyambutnya dengan penuh suka cita. Demikianlah Allah memberikan keutamaan pada bulan ini yang tidak dimiliki bulan-bulan lainnya.

1. Keutamaan Bulan Ramadhan [1]

 

Sangat jelas dan gamblang keutamaan Romadhon dibanding bulan lainnya, namun kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas keutamaannya sebagai motivator semangat kaum muslimin beramal sholeh padanya. Diantara keutamaan tersebut adalah:

a. Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran karena Alquran diturunkan pada bulan tersebut sebagaimana firman Allah ::

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

 “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (Surat Albaqarah ayat 185)

Dalam ayat di atas, bulan Ramadhan dinyatakan sebagai bulan turunnya Alquran, lalu pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang dimulai dengan huruf <ف> –yang berfungsi menunjukkan makna ‘alasan dan sebab’– dalam firmanNya: <فََمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ>. Hal itu menunjukkan bahwa sebab pemilihan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa adalah karena Alquran diturunkan pada bulan tersebut.

b. Dalam bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka sebagaimana  sabda Rasulullah ,

« إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ »

“Jika datang bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu para setan.” [2]

Oleh karena itu, kita dapati dalam bulan ini sedikit terjadi kejahatan dan kerusakan di bumi karena sibuknya kaum muslimin dengan berpuasa dan membaca Alquran serta ibadah-ibadah yang lainnya; dan juga dibelenggunya para setan pada bulan tersebut.

c. Di dalamnya terdapat satu malam yang dinamakan lailatul qadar, satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Qadr.

إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Surat Al Qadr ayat:1-3)

         Melihat keutamaan-keutamaan ini tentunya membuat seorang muslim lebih bersemangat dalam menyambutnya dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin menjelang datangnya bulan tersebut.

 

2. Persiapan Menghadapi Ramadhan

 

Diantara yang harus dipersiapkan seorang muslim dalam menyambut kedatangan bulan yang mulia ini adalah:

a. Menghitung bulan sya’ban

Salah satu bentuk persiapan dalam menghadapi Ramadhan yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin adalah menghitung bulan Sya’ban, karena satu bulan dalam hitungan Islam adalah 29 hari atau 30 hari sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam hadits Ibnu Umar, beliau bersabda:

« الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ »

“Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari.”[3]

Maka tidaklah berpuasa sampai kita melihat hilal (tanda masuknya bulan). Oleh karena itu, untuk menentukan kapan masuknya Ramadhan diperlukan pengetahuan hitungan bulan Syaban.

b. Melihat hilal Ramadhan (Ru’yah)

Untuk menentukan permulaan bulan Ramadhan diperintahkan untuk melihat hilal, dan itulah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/289-290) dan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy (3/27). Dan ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyah yang berkata, “Kita sudah tahu secara pasti, Agama Islam beramal dengan melihat hilal dalam berpuasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal. Adapun pengambilannya dengan cara mengambil berita orang yang menghitungnya dengan hisab, baik dia melihatnya atau tidak, maka tidak boleh.” [4]Demikian juga Ibnu daqiqil ‘Ied menyatakan: “Tidak boleh bersandar kepada hisab dalam menentukan puasa (Romadhon)”.[5]

Kemudian perkataan beliau ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Sedang munculnya masalah bersandar dengan hisab dalam hal ini baru terjadi pada sebagian ulama setelah tahun 300-an. Mereka mengatakan bahwa jikalau terjadi mendung (sehingga hilal tertutup ) boleh bagi yang mampu menghitunghisab beramal dengan hisabnya, namun itu hanya untuk dirinya sendiri. Jika hisab itu menunjukkan ru’yah, maka dia berpuasa, dan jika tidak, maka tidak boleh.[6] Lalu, bagaimana keadaan kita sekarang?

Adapun dalil tentang kewajiban menentukan permulaan bulan Ramadhan dengan melihat hilal sangat banyak, di antaranya adalah:

1.     Hadits Ibnu Umar terdahulu.

2.     Hadits Abu Hurairah. Beliau berkata, “Rasulullah bersabda,

« صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ »

“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian (untuk idul fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah Syakban 30 hari.” (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).

3.     Hadits ‘Adi bin Hatim, beliau berkata, “Rasulullah bersabda,

« إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ »

“Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” [7]

Penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal dapat ditetapkan dengan persaksian seorang Muslim yang adil sebagaimana yang dikatakan Ibnu Umar:

تَرَاءَى النَّاسُ اْلِهلاَلَ فأَخْبَرْتُ النَّبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Manusia sedang mencari hilal, lalu aku khabarkan Nabi bahwa aku telah melihatnya maka beliau berpuasa dan memerintahkan manuasia untuk berpuasa.”  [8]

 

c. Tidak berpuasa pada hari yang diragukan

Berpuasa pada hari yang diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, adalah terlarang sebagaimana di sebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

« لاَ تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلاً يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ »

“Janganlah mendahului puasa Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari (sebelumnya), kecuali orang yang (sudah biasa) berpuasa satu puasa (yang tertentu), maka hendaklah dia berpuasa.” [9]

 

[1] Diringkas dari Sifat Saum An Nabi karya Syeikh Saalim bin ‘Ied Al Hilaliy dan Syeikh Ali Hasan Ali Abdilhamid, cetakan keenam tahun 1417 H –1997 M, penerbit Al Maktabah Al Islamiyah, Amaan, Yordania. hal 18-20.

[2] Riwayat al-Bukhariy dan Muslim

[3]  Riwayat al-Bukhariy

[4] Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/132.

[5] Ihkamul Ahkaam dinukil dari AL I’laam Bi Fawaaid Umdatul Ahkam karya Ibnu Mulaqqin 5/179.

[6] Lihat: Majmu’ al-Fatawa  25/133

[7] Riwayat ath-Thahawy dan ath-Thabrany dalam al-Kabir 17/171, dan dihasankan Syaikh al-Albany dalamIrwa’ al-Ghalil nomor hadits 901.

[8] Riwayat Abu Dawud, ad-Darimy, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqy

[9] Riwayat Muslim

___________________________

3.  Amalan Di Bulan Romadhon.

         Setelah terlihat hilal atau sempurna bulan sa’ban, maka masuk dan datanglah bulan romadhon. Kaum muslimin mulai melakukan kegiatan dan amal sholehnya dimalam dan siang romadhan. Diantara amalan yang dilakukan seorang muslim adalah:

1.  Qiyam romadhon  ( Sholat tarawih).

         Sholat taraweh disyariatkan dalam malam romadhon baik secara berjamaah atau tidak berjamaah. Disamping itu juga memiliki keutamaan besar yang dapat memotivasi seorang muslim melaksanakannya.

1.1. Keutamaannya

Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam Ramadhan dengan ibadah solat. Amalan ini memiliki keutamaan-keutamaan bagi pelakunya, yaitu:

a. Mendapat pengampunan dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah e:

« مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Barangsiapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mencari keridhaan Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[10]

Lalu Rasulullah meninggal sedang perintah tersebut (meninggalkan jamaah taraweh) masih berlaku, demikian juga pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan pertengahan kekhalifahan Umar sebagaimana riwayat Muslim.

b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada sebagaimana hadits Amr bin Murroh yang berbunyi:

جَاءَ رَسُوْلَ اللهِ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَلَيْتُ صَلَوَاتِ الْخَمْسَ وَصُمْتُ الشَّهْرَ وَقُمْتُ رَمَضَانَ وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ : « مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ »

“Datang kepada Rasulullah seorang laki-laki Bani Qudhaah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat tiada sesembahan yang hak, kecuali Allah, dan bersyahadat bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku solat lima waktu, puasa satu bulan (Ramadhan), dan aku telah menegakkan (malam-malam) Ramadhan serta aku tunaikan zakat?’ Maka Rasulullah e bersabda, ‘Barangsiapa yang mati atas hal ini, dia termasuk dalam (kelompok) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” [11]

1.2. Persyariatan qiyam ramadhan (sholat taraweh) dengan berjamaah

Disyariatkan berjamaah dalam pelaksanaan qiyam Ramadhan. Bahkan berjamaah itu lebih utama disbanding tidak berjamaah, karena Rasulullah telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan keutamaannya sebagaimana dalam hadits Abu Dzar:

صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةَ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةَ قَامَ بِناَ حَتىَّ ذَهَبَ شَطْرُ الَّليْلِ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ نَفَلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ الَّليْلَةِ، فَقَالَ: « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »، فَلَمَّا كَانَتِ الرَّاِبِعَةَ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهَ وَالنَّاسُ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِيْنَا أَنْ يَفُوْتًنَا الْفَلاَحُ. قَالَ: قُلْتُ: مَا الْفَلاَحُ؟ قَالَ: السَّحُوْرُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بَقِيَةَ الشَّهْرِ

“Kami berpuasa bersama Rasulullah Ramadhan. Beliau tidak melaksanakan qiyam (solat taraweh) bersama kami selama bulan itu kecuali sampai tinggal tujuh hari. Saat itu, beliau tegak (solat taraweh) bersama kami sampai berlalu sepertiga malam. Pada hari keenam (tanggal 24) beliau tidak solat bersama kami. Baru kemudian pada hari kelima (tanggal 25) beliau solat lagi (solat taraweh) bersama kami sampai berlalu 1/2 malam. Saat itu aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau menambah solat pada malam ini.’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang solat bersama imamnya sampai selesai, niscaya ditulis baginya amalan Qiyamul Lail.’ Lalu pada malam keempat (tanggal 26) kembali beliau tidak solat bersama kami. Dan pada malam ketiga (tanggal 27), beliau kumpulkan keluarga dan istri-istrinya serta manusia, lalu menegakkan (malam tersebut) bersama kami sampai kami takut kehilangan kemenangan.” Berkata (rawi dari Abu Dzar), “Aku bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Beliau (Abu Dzar) menjawab, Sahur. Kemudian beliau e tidak menegakkannya setelah itu.” [12]

Sedangkan Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah terus menerus disebabkan takut hal itu diwajibkan kepada kaum muslimin. Lalu tidak mampu mengerjakannya, sebagaimana jelas dalam hadits Aisyah (yang diriwayatkan dalam shahihain):

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ وَ صَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوْا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلُّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فتَحَدَّثُوْا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ،فَلَمَّا كَانَتِ الَّليْلَةُ الرَّاِبعَةُ عَجِزَ اْلمَسْجِدِ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّىخَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ،فَلَمَّا قَضَىالْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ :”أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَ لَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا”. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَ الأََمْرُ عَلَى ذَلِكَ.

Bahwasanya Rasululloh  keluar pada suatu malam lalu sholat di masjid,dan sholat bersamanya beberapa orang dengan sholatnya,lalu pada pagi harinya manusia membicarakan hal itu,maka berkumpullah orang lebih banyak dari mereka,lalu (Rasulullah) sholat dan sholat bersamanya orang-orang tersebut. lalu keesokan harinya manusia membicarakan hal itu,maka banyaklah ahli masjid pada malam ke tiga,lalu Rasululloh  keluar dan sholat bersama mereka. Ketika malam ke empat masjid tidak dapat menampung ahlinya sehingga beliau keluar untuk sholat shubuh, ketika selesai shubuh,beliau menghadap manusia,lalu bertsyahud dan berkata:”Adapun kemudian, sudah jelas bagiku  kukedudukan kalian,akan tetapi aku takut diwajibkan hal ini atas kalian lalu kalian tidak mampu melaksanakannya”.Lalu Rasululloh meninggal dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah[13]

Sebab qiyam Romadhon (sholat tarawih) tidak dilakukan secara berjamaah ini hilang dengan wafatnya Rasululloh. Hal ini karena dengan wafatnya beliau agama ini telah sempurna.

Dengan demikian amalan ini telah disyariat namun tidak dikerjakan Rasululloh lantaran kekhawatiran beliau, kemudian amalan ini dihidupkan kembali oleh Umar bin al-Khaththab pada kekhalifaannya.

Pensyariatan berjamaah ini juga untuk wanita, bahkan boleh menjadikan imam khusus untuk mereka, sebagaimana dilakukan kholifah Umar. Beliau mengangkat Ubai bin Kaab sebagai Imam untuk laki-laki dan Sulaiman bin Abu Hatsmah untuk wanita. Demikian juga kholifah Ali bin Abu Thalib memerintahkan kamu muslimin sholat tarawih berjamaah dan mengangkat seorang imam untuk laki-laki dan urfuzah ats-Tsaqafi untuk imam bagi wanita [14]

1.3.   Jumlah rakaatnya

Adapun jumlah rakaatnya adalah 11 rakaat menurut yang rajih insyallah dan boleh kurang dan lebih darinya, karena Rasulullah tidak menentukan banyaknya dan panjang bacaannya.

1.4.   Waktunya

Waktunya dimulai dari setelah sholat ‘Isya’ sampai munculnya fajar shubuh, dengan dalil sabda Rasululloh :

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً ،وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَىصَلاَةِ اْلفَجْرِ

Sesungguhnya Allah  telah menambah kalian satu sholat dan dia adalah witir maka sholatlah kalian antara sholat ‘Isya sampai shlat Fajar. [15]

Dan sholat malam diakhir malam lebih utama bagi yang mampu untuk bangun diakhir malam, dengan dalil sabda Rasululloh  :

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ أَخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِراللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ الَّليْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ

Barang siapa yang takut tidak bangun di akhir malam,maka berwitirlah di awalnya,dan barang siapa yang tamak untuk biasa bangun di akhirnya,maka hendaklan berwitir di akhir malam,karena sholat di akhir malam itu dipersaksikan,dan itu lebih utama. [16]

Tetapi kalau terdapat sholat teraweh berjamaah di awal malam maka itu lebih utama dari sholat taraweh di akhir malam sendirian.

 

[10] Riwayat al-Bukhari dan Muslim

[11] Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya dan oleh selainnya dengan sanad yang sahih

[12] Riwayat Ashhabus Sunan

[13] .HR Al Bukhory dan Muslim

[14] diriwayatkan oleh al-Baihaqiy

[15] (HR Ahmad dari Abi Bashroh,dan dishohihkan Al Albany dalam Qiyamur Romadhon 26).

[16] (HR Muslim).

___________________

1.5.   Rincian Rakaat Sholat Taraweh.

Adapun sholat taraweh yang dilakukan Rasululloh adalah dengan perincian sebagai berikut:

1. 13 Rakaat dengan perincian:2 rakaat-2 rakaat dan dengan satu witir.

2. 13 Rakaat dengan perincian : 8 rakaat ditutuyp dengan salam pada setiap dua rakaat,ditambah 5 rakaat witir dengan tidak duduk dan salam kecuali di rakaat yang kelima.

3. 11 rakaat dengan perincian: dua-dua rakaat dan ditutup dengan satu witir.

4. 11 Rakaat dengan perincian: 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat yang kedelapan,lalu bertasyahud dan sholawat serta berdiri tanpa salam,lalu berwitir serakaat dan salam  dan ditambah 2 rakaat dilakukan dalam posisi duduk.

5. 9 Rakaat dengan perinciaan : 6 rakaat dilakukan tanpa duduk kecuali di rakaat keenam,lalu bertasyahut dan bersholawat tanpa salam,kemudian berdiri untuk witir serakaat lalu salam,kemudian sholat 2 rakaat dengan duduk.

1.6.   Qunut.

Setelah selesai dari membaca surat dan sebelum ruku’ kadang-kadang beliau berqunut,dan boleh dilakukan setelah ruku’

1.7.   Bacaan Setelah Witir.

Apabila telah selesai dari witir maka hendaklah membaca:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْس

dengan memanjangkan suara dan meninggikannya pada yang ketiga.

 

2. Puasa.

    Setelah melakukan sholat taraweh dimalam hari, seorang muslim bersiap melakukan amalan puasa dibulan romadhon.

1 Definisi Puasa

1.1. Definisi Secara Bahasa

Ash-Shiyam (puasa) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, seperti firman Allah :

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا

 “Aku telah bernazar kepada Allah untuk menahan diri (dari berbicara)” (Maryam, 19::26).

 

1.2. Definisi Secara Istilah Syari

Adapun secara istilah syari adalah ‘menahan diri dengan niat ibadah dari hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat’.[17]

1.2. Kewajiban Berpuasa di Bulan Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah atas orang-orang mukmin dan merupakan salah satu dari Rukun Islam yang Lima, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Alquran dan as-Sunnah serta ijmak kaum muslimin.

a. Dalil dari Alquran:

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqarah, 2:183).

b. Dalil dari as-Sunnah:

1. Hadits Thalhah bin Ubaidullah, Beliau berkata,

أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ ثَائِرَ الرَّأْسِ – وفيه – فَقَالَ:أَخْبِرْنِيْ بِمَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِن َالصِّيَامِ، فقال: « رَمَضَان إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا »

“Seorang arab pedalaman datang kepada Nabi  dalam keadaan kusut rambutnya – dan terdapat -  laki-laki itu, ‘Beritahulah aku apa yang diwajibkan atasku dari puasa.’ Rasulullah menjawab, ‘Ramadhan, kecuali kalau engkau ingin tambahan.’[18]

2.     Hadits Ibnu Umar. Beliau berkata, “Rasulullah bersabda,

« بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَاْلحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان »

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu: syhadatain, menegakkan solat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa bulan Ramadhan.” (Riwayat al-Bukhariy).

c. Dalil dari Ijmak kaum muslimin:

Kaum muslimin telah menyepakati kewajiban puasa Ramadhan sejak dahulu sampai sekarang.

1.3. Keutamaan Puasa[19]

Telah ada perintah yang menunjukkan bahwa puasa merupakan satu ibadah yang dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Di samping itu, telah dijelaskan keutamaan-keutamaannya, di antaranya adalah yang terkandung dalam firman  Allah  :

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

 “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab, 33:35).

Dan juga firman Allah:

وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

 “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (Al-Baqarah, 2:184).

Rasulullah sendiri telah menjelaskan keutamaan puasa dalam hadits-haditsnya yang sahih, antara lain adalah:

a. Puasa merupakan benteng atau perisai sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :

« يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ لَهُ وِجَاءً »

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang tidak mampu, maka seharusnya dia berpuasa karena puasa itu adalah benteng atau perisai baginya[20].

Hadits ini menjelaskan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan memperlemahnya, sehingga dia bisa menjadi perisai seorang muslim dari syahwat dan hawa nafsu – dua hal yang selalu menggiring manusia ke neraka Jahannam. Oleh karena itu, Nabi  bersabda dalam hadits yang lain,

« مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ الله إِلاََّ باَعَدَ الله بذَلِكَ وَجْهَهُ عَنِ الَّنارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا »

“Tidaklah ada seorang hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan puasanya itu dari api neraka (sepanjang perjalanan) tujuh puluh tahun.” [21]

b. Puasa dapat memasukkan pelakunya ke dalam surga, sebagaimana hadits Abu Umamah bahwa beliau pernah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga.” Beliau menjawab,

« عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لاَ مِثْلَ لَهُ »

“Berpuasalah, tidak ada yang seperti puasa.” [22]

c. Orang yang berpuasa itu mendapat dua kebahagiaan, sebagaimana disebutkan dalam hadits

Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah bersabda:

« قَالَ الله: كُلُّ عَمَلِ بني آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به، والصيام جنة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب، فإن سابه أحد أو قاتله فليقل: إني امرؤٌ صائم، والذي نفس محمدٍ بيده لخُلوف فم الصائم أطيبُ عند اللّه من ريح المسك، للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح وإذا لقي ربَّه فرح بصومه »

“Allah berfirman, ‘Semua amalan Bani Adam untuknya, kecuali puasa, maka itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.’ Puasa itu perisai. Jika salah seorang dari kalian berpuasa pada satu hari, maka janganlah berkata-kata kotor dan keji. Jika ada orang yang mencelanya dan menyakitinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa itu memiliki dua kebahagiaan yang membahagiakannya, yaitu jika berbuka, dia berbahagia, dan jika berjumpa dengan Rabnya dia berbahagia dengan puasanya.[23]

Dalam hadits inipun terdapat dua keutamaan yang lain, yaitu:

d.     Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan, dan

e.     Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah daripada wangi misik.

f.      Orang-orang yang berpuasa diberikan pintu khusus di surga yang diberi nama ar-Rayyan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,

« إِنَّ فِيْ الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرّيَّان، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ أَحَدٌ مِنْهُ،]فَاِذَا دَخَلَ اَّخِرُهُمْ أُغْلِقَ، وَمَنْ دَخَلَ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا] »

 “Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang dinamakan ar-Rayyan. Masuk dari pintu itu orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat; tidak masuk dari  pintu itu seorangpun selain mereka. Kalau mereka semua telah masuk (ke dalam surga), maka pintu itu ditutup sehingga tidak dapat lagi seorangpun masuk melaluinya. Maka jika telah masuk orang yang terakhir dari mereka, pintu itupun ditutup. Barangsiapa yang masuk, akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan haus selamanya.” [24]

 


[17] Lihat Taisirul Fiqh karya Dr. Sholih bin Ghanim As Sadlaan , cetakan kedua tahun 1417 H-1997M. tanpa penerbit. Hal 79

[18] (Riwayat  Bukhariy dan Muslim).

[19] Diringkas dari Sifat Saum An Nabi n  Hal 11-17

[20] Riwayat al-Bukhariy 3/106 dan Muslim no. 1400 dari hadits Ibnu Masud.

[21] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim dari hadits Abu Sa’id al-Khudriy).

[22] (Riwayat an-Nasaiy, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dengan sanad yang sahih).

[23] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).

___________________

1.4. Amalan -Amalan Yang Berhubungan Dengan Puasa

1. Niat

Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya karena Rasulullah bersabda,

« مَنْ لَمْ ُيْجِمِع الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ ف‍ََلاَ صِيَامَ لَهُ »

“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” [25]

Niat tempatnya di hati sedang melafalkannya itu termasuk kebidahan. Kewajiban berniat puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.

2. Waktu Puasa

Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar subuh sampai terbenam matahari dengan dalil firman Allah,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

 “Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian  putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar.”(Al-Baqarah, 2:186).

Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan bahwa fajar ada dua:

a. Fajar kazib (fajar awal). dalam waktu ini belum boleh dilakukan solat subuh dan dibolehkan untuk makan dan minum bagi yang berpuasa.

b. Fazar shodiq (fajar yang kedua/subuh) sebagaimana hadits Ibnu Abbas , Rasulullah  bersabda,

«الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَلاَ يَحِلُّ الصَّلاَة ُوأَمَّا الثَّانِيْ فإِنّ‍َهُ يَحْرُمُ الطَّعَامُ وَ يَحِلُّ الصَّلاَةَ »

“Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka dibolehkan makan dan tidak boleh melakukan solat, sedang yang kedua, maka diharamkam makan dan dibolehkan solat.” [26]

Untuk mengenal keduanya dapat dilihat dari bentuknya. Fajar yang pertama, bentuknya putih memanjang vertikal seperti ekor serigala. Sedangkan fajar yang kedua, berwarna merah menyebar horisontal (melintang) di atas lembah-lembah dan gunung-gunung dan merata di jalanan dan rumah-rumah, dan jenis ini yang ada hubungannya dengan puasa.

Jika tanda-tanda tersebut telah tampak, maka hentikanlah makan dan minum serta bersetubuh. Sedangkan adat yang ada dan berkembang saat ini – yang dikenal dengan nama imsak – merupakan satu kebidahan yang seharusnya ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar – seorang ulama besar dan ahli hadits yang bermazhab Syafi’i yang meninggal tahun 852 H – berkata dalam kitabnya yang terkenal Fath al-Bary Syarh al-Jami’ ash-Shohih (4/199), “Termasuk kebidahan yang mungkar adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu mengadakan azan yang kedua kira-kira sepertiga jam sebelum fajar dalam bulan Ramadhan dan mematikan lentera-lentera sebagai alamat untuk menghentikan makan dan minum bagi yang ingin berpuasa, dengan persangkaan bahwa apa yang mereka perbuat itu demi kehati-hatian dalam beribadah. Hal seperti itu tidak diketahui, kecuali dari segelintir orang saja. Hal tersebut membawa mereka untuk tidak azan, kecuali setelah terbenam beberapa waktu (lamanya) untuk memastikan (masuknya) waktu-menurut persangkaan mereka- lalu mengakhirkan buka puasa dan mempercepat sahur. Maka mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Oleh karena itu, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak kejelekan pada diri mereka.  الله المستعان .”

Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam matahari lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar  bahwa Rasulullah bersabda,

« إِذَا أَقْبَلَ الَّليْلُ مٍنْ هَهُنَا وَ أَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ »

“Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka.” [27]

Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang tidak memerlukan alat teropong untuk mengetahuinya.

3. Sahur

 

3.1. Hikmahnya

Setelah mewajibkan berpuasa dengan waktu dan hukum yang sama dengan yang berlaku bagi orang-orang sebelum mereka, maka  Allah mensyariatkan sahur atas kaum muslimin dalam rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudriy:

« فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ »

“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” [28]


3.2. Keutamaannya

Keutamaan sahur antara lain:

1. Sahur adalah berkah sebagaimana sabda Rasulullah :

« إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ الله إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ »

“Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, jangan kalian meninggalkannya.”[29].

Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu mengikuti sunnah dan menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk menambah puasa dan juga mengandung nilai menyelisihi ahli kitab.

2. Salawat dari Allah dan malaikat  bagi orang yang bersahur, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudry bahwa Rasulullah bersabda,

« السَحُوْر أَكْلَةُ اْلْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ ولَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ َماءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّْونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ »

“Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah  dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” [30]

 

 

3.3. Sunnah Mengakhirkannya

Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati subuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah di dalam hadits Ibnu Abbas dari  Zaid bin Tsabit, beliau berkata,

تَسَحَرْنَا مَعَ النَّبِيْ  ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آية

 “Kami bersahur bersama Rasulullah, kemudian beliau  pergi untuk solat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara azan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.”[31].

3.4. Hukumnya

Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:

a. Perintah dari Rasulullah  untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga sabda beliau :

« تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ »

“Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.” [32]

b. Larangan beliau dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa’id  yang terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139) menukilkan ijmak atas kesunahannya.

 


[24] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy).

[25](Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar).

[26] (Riwayat Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruqutny, dan al-Baihaqy dengan sanad yang sahih)

[27] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)

[28] (Riwayat Muslim).

[29] Riwayat an-Nasai  dan Ahmad dengan sanad yang sahih)

[30] (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad).

[31] (Riwayat  Bukhariy dan Muslim)

[32] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).

_______________

4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa

Di dalam puasa ada perkara-perkara yang merusaknya, yang harus dijauhi oleh seorang yang berpuasa pada siang harinya. Perkara-perkara tersebut adalah:

a. Makan dan minum dengan sengaja sebagaimana yang difirmankan  Allah:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

 “Dan makanlah dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam dari fajar.” (Al-Baqarah, 2:186).

 

b. Sengaja untuk muntah ( muntah dengan sengaja).

c. Haid dan nifas.

d. Injeksi yang berisi makanan (infus).

e. Bersetubuh.

Kemudian ada perkara-perkara lain yang harus ditinggalkan oleh seorang yang berpuasa ,yaitu:

1.Berkata bohong sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah  bahwa Rasulullah bersabda,

« مَنْ لَمْ َيدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ  حَاجَةٌ أَنْ َيدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ » 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata bohong dan beramal dengannya, maka Allah  tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (Riwayat al-Bukhariy).

 

2.Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan) sebagaimana disebutkan dalam hadits

Abu Hurairah  bahwa Rasulullah bersabda,

« لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ »

“Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum. Puasa itu hanyalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka katakanlah, ‘Saya sedang puasa. Saya sedang puasa.’” [33]

 

5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan

Ada beberapa perkara yang dianggap tidak boleh padahal dibolehkan, di antaranya:

a. Orang yang junub sampai datang waktu fajar sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata:

كَانَ رَسُلُ الله يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ اغْتَسَلَ و يَصُوْمُ

 “Sesungguhnya Nabi  mendapatkan fajar (subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya kemudian mandi dan berpuasa.” [34]

b. Bersiwak.

c. Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika bersuci.

d. Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa dan dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda.

e. Injeksi yang bukan berupa makanan.

f. Berbekam.

g. Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.

h. Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.

i. Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.

6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh karena itu, ia memberikan kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang tertentu yang tidak mampu atau sangat sulit untuk berpuasa. Mereka itu adalah sebagai berikut:

1. Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).

Musafir diperkenankan untuk berpuasa dan berbuka sebagai rahmat dari Allah, sebagaimana firmanNya:

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Surat Al Baqorah. 2:185). Demikian pula Rasululloh ditanya tentang puasa musafir sebagaimana dalam hadits Hamzah bin Amru Al Aslamiy:

أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

Sesungguhnya Hamzah bin Amru Al Aslamiy bertanya kepada Rasululoh: “Apakah saya berpuasa dalam perjalanan?” Hamzah adalah seorang yang banyak berpuasa, Lalu Rasululloh menjawab: “Jika kamu suka berpuasalah dan jika suka berbukalah”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

2. Orang yang sakit.

         Dibolehkan berbuka bagi orang sakit sebagai rahmat dari Allah. Namun dengan ketentuan sakitnya tersebut akan memerikan kemudhoratan kepada dirinya atau bertambah parah atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhannya bila berpuasa[35] .

3. Wanita yang sedang haid atau nifas.

         Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa orang yang haidh dan nifas dilarang berpuasa dan keduanya harus mengqadha puasanya dihari yang lain.

4. Orang yang sudah tua  dan wanita yang sudah tua dan lemah.

         Orang yang sudah tua dan lemah diperbolehkan berbuka dengan kewajiban memberi makan setiap hari seorang miskin, sebagaimana disampaikan Ibnu Abas: “orang yang sudah tua baik laki-laki atau perempuan yang tidak mampu berpuasa maka keduanya harus memberi makan setiap harinya seorang miskin”.[36]

5. Wanita yang hamil atau menyusui.

 


[33] (Riwayat Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).

[34] (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).

[35] Lihat Sifat Shaum Nabi karya Syeikh Saalim dan Ali Hasan hal 59

[36] Riwayat Al Bukhori 4505

______________________

7. Berbuka Puasa

7.1. Waktu berbuka

Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari dan telah lalu penjelasannya  pada  pembahasan waktu puasa. Rasululloh berbuka sebelum sholat maghrib sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.

7.2. Mempercepat Buka Puasa

Termasuk dalam sunnah puasa adalah mempercepat waktu berbuka dalam rangka mengikuti contoh Rasulullah  dan para sahabatnya sebagaimana yang dikatakan  oleh Amr bin Maimun al-Audy bahwa sahabat-sahabat Muhammad adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya.[37]

Adapun manfaatnya adalah:

1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan  Sahl bin Saàd bahwa Rasulullah bersabda,

« لَا يَزَالُ النَّاسَ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ »

“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.” [38]

2. Merupakan sunnah Nabi .

3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

« لاَ يَزَالُ الدَّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ » 

“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum muslimin) mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan Kristen (Nashrani) mengakhirkannya.” [39]

Buka puasa dilakukan sebelum solat maghrib karena itu merupakan akhlak para nabi. Sedangkan  Rasulullah memotivasi kita untuk berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada kurma, maka memakai air. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau terhadap umatnya. Setelah berbuka, beliau melakukan sholat maghrib

 

7.3. Makanan berbuka

         Memang tidak ketentuan jenis makanan yang harus dimakan ketika berbuka puasa, namun Rasululloh mendahulukan Ruthob ketika berbuka, sebagaimana dikisahkan Anas bin Malik:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Nabi berbuka sebelum sholat dengan Ruthob jika tidak ada maka dengan kurma dan jika tidak ada maka meinum seteguk air.(Riwayat Ahmad 3/163, Abu Daud 2/306 dan At Tirmidziy 3/70).

 

7.4. Bacaan orang yang berbuka.

         Disyariatkan seorang yang berpuasa ketika berbuka membaca do’a, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amru bin Al Ash:

Sesungguhnya seorang yang berpuasa ketika berbuka memiliki do’a yang tidak tertolak”.

Sedangkan doa yang utama adalah do’a yang ma’tsur dari nabi :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Nabi jika berbuka membaca: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ . [40]

8. Adab Orang yang Berpuasa.

Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syari, di antaranya:

1. Memperlambat sahur. (telah lalu penjelasannya)

2. Mempercepat berbuka puasa.(telah lalu penjelasannya)

3. Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka . (telah lalu penjelasannya)

4. Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa. (telah lalu penjelasannya)

5. Bersiwak.

6. Berderma dan tadarus Alquran.

7. Bersungguh-sungguh dalam beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir.

 


[37] Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf no 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199.

[38](Riwayat al-Bukhariy dan Muslim).

[39] (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan).

[40] riwayat Abu daud 2/306 dengan sanad yang hasan.

______________________

9. I’tikaf

9.1.Makna I’tikaf

I’tikaf berasal dari bahasa Arab yang bermakna berdiam diri pada sesuatu. Kata ini dipakai juga untuk ibadah dengan tinggal dan menetap dimasjid untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Pelaku ibadah ini dinamakan Mu’takif atau ‘Aakif.

9.2. Hikmah I’tikaf

Adapun hikmahnya berkata ibnul Qayim: “Ketika perbaikan dan keistiqomahan hati dalam berjalan menuju Allah tergantung konsentrasinya terhadap Allah dan kesatuan kekuatannya dalam menghadap Allah secara penuh. Lalu jika hati terpecah tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal kelebihan makan dan minum, kelebihan bergaul dengan manusia, banyak ngomong dan tidur menambah hati berantakan dan memporak porandakannya serta memutus atau melemahkan atau mengganggu dan menghentikan hati dari jalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hambaNya menuntut disyariatkan puasa untuk mereka. Puasa yang dapat menghilangkan kelebihan makan dan minum dan mengosongkan hati dari campuran syahwatyang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba didunia dan akheratnya. Tentunya hal ini tidka merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akheratnya seorang hamba.

Kemudian mensyariatkan mereka I’tikaf yang tujuan dan intinya adalah hati tinggal menghadap Allah, menyatukan kekuatannya, berkholwat dengan Nya, menghilangkan kesebukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap Allah saja.

 9.3. Pensyariatannya

I’tikaf disyariatkan Allah dalam firmanNya:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari shiyam bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shiyam itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa. (Al Baqoroh 187)

Demikian juga hal ini dilakukan Rasululloh sebagaimana dikisahkan oleh hadits dibawah ini.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya[41].

I’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan untuk dilakukan pada bulan Romadhon dan selainnya, baik didahului dengan puasa atau tidak, akan tetapi yang paling utama di bulan Ramadhon dan disepuluh hari terakhir sebagaimama dijelaskan hadits-hadits berikut ini.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ

Sesungguhnya Rasululloh n telah beri’tikaf disepuluh hari pertengahanromadhon lalu I’tikaf pada tahun tersebut sampai pada malam keduapuluh satu yaitu malam beliau keluar I’tikaf dipaginya beliau berkata barang siapa yang beri’tikaf bersamaku maka hendaklah beri’tikaf di sepuluh terakhir[42]. dan perintah dan persetujuan beliau kepada Umar dalam hadits :

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ نَذْرَكَ فَاعْتَكَفَ لَيْلَةً

Dari Umar bin Khothab beliau berkata: wahai Rasululloh saya pernah bernazar dizaman jahiliyah untuk I’tikaf satu malam di masjid haram. Lalu beliau menjawab: tunaikan nazarmu. Lalu Umar beri’tikaf semalam.

 

9.4. Syarat Dan tempatnya

I’tikaf hanya boleh dilakukan dimasjid dan tidak keluar darinya kecuali hajat dan darurat. Tidak boleh dilakukan pada selain masjid. Sebagaimana firman Allah:

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. (Al Baqoroh 187)

9.5. Hal-hal Yang Diperbolehkan Dalam I’tikaf.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

Nabi jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya lalu saya sisiri, dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (kebutuhan)[43].

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا

Shofiyah berkata bahwa beliau dating menziarahi nabi dalam I’tikaf beliau di sepuluh akhir romadhon lalu berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit pulang. Rasulullohpun bangkit bersamanya mengantar sampai ketika di pintu masjid didekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang anshor, lalu keduanya memberi salam kepada Nabi dan beliau berkata kepada keduanya: “perlahan, sesungguhnya dia adalah shofiuyah bintu Huyaiy. Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh” dan keduanya menganggap hal yang besar.( Bukhori).

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.[45]

 

 

[41] Riwayat Bukhori No.1886

[42] Riwayat Bukhori No. 1887

[43] Riwayat Muslim

[44] Hadits ini sanadnya hasan, diriwayatkan Ibnu najah dalam Zawaaid sunannya.

[45] Riwayat Bukhori No. 1886

____________________

10. Malam Qadar (Lailatul Qadr)

10.1. Sebab Penamaannya.

         Para Ulama berselisih tentang sebab penamaan Lailatul qadr dalam dua pendapat:

Pertama: Sebabnya adalah karena keagungan dan kemuliaannya. Keagungan dan kemuliaan ini karena Al Qur’an diturunkan seluruhnya kelangit dunia pada malam tersebut, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Qadr.

Kedua: Sebabnya karena pada malam tersebut Allah menulis seluruh taqdir, rezeki dan ajal kepada para malaikat untuk tahun tersebut, sebagaimana firman Allah :

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (Surat Addukhon. 44:4)[46]

10.2. Keutamaannya.

         Cukuplah keutamaan malam tersebut dengan dua hal:

Pertama: Malam tersebut lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firmanNya:

إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Surat Al Qadr ayat:1-3)

Kedua: Pada malam tersebut Allah menuliskan seluruh taqdir tahun tersebut kepada para malaikat, sebagaimana firman Allah:

إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Surat Ad Dukhon 44:3-6)

10.3. Waktunya.

         Para Ulama bersepakat menyatakan bahwa malam qadr terus ada setiap tahunnya sampai hari kiamat nanti.[47] Mereka berselisih dalam penentuan malam tersebut menjadi lima belas pendapat[48]. Namun yang rojih ada dimalam-malam ganjil sepuluh hari terakhir romadhan.

10.4. Tanda-tandanya.

         Rasululloh memberikan tanda-tanda malam qadar agar dapat diketahui umatnya, diantara tanda-tandanya adalah:

قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا

Aku bertanya: Apa dalilnya engkau menegaskan hal tersebut wahai Abul Mundzir? Beliau menjawab dengan alamat atau tanda yang Rasululloh khabarkan yaitu matahari terbit waktu itu tidak terik. [49]  Dalam riwayat Abu Daud:

تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِع

Matahari dipagi hari malam tersebut seperti bejana besar tidak memiliki cahaya yang terik sampai meninggi.[50]

لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لا حَارَةَ وَلاَ بَارِدَةَ تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيْحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ

Malam qadr adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin, pagi harinya matahari terbit lemah kemerahan.[51] Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah[52] tanpa tambahan kata (سَمْحَةٌ ) dan (صَبِيْحَتِهَا ) diganti (يوْمِهَا)

10.5. Hikmah disembunyikan waktunya.

Hikmah disembunyikan waktu malam ini adalah agar manusia bersungguh-sungguh mencarinya dengan harapan dapat menjumpainya. Hal ini seperti waktu terjadinya kiamat dan kematian.[53]

 


[46] Lihat Al I’lam Bi Fawa’id Umdatil Ahkam karya Ibnu Al Mulaqqin 5/391-392

[47] ibid 5/397.

[48] Ibid 5/398-404

[49] riwayat Muslim 1999

[50] riwayat Abu Daud 1170.

[51] Riwayat Ath Thoyalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/331 dan Al bazzar dengan sanad yang hasan. (lihat Sifat saum nabi hal 90.).

[52] Shohih Ibnu Khuzaimah 3/331-332

[53] lihat Al I’lam  5/407.


____________________


 11. Zakat Fithroh.

Zakat fithroh merupakan zakat yang disyari’atkan dalam islam berupa satu sho’ dari makanan yang dikeluarkan seorang muslim di akhir Romadhon,dalam rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat Allah dalam berbuka dari Romadhon dan penyempurnaannya, oleh karena itu dinamakan shodaqah fithroh atau zakat fithroh.[54]

11.1. Hukumnya

Zakat fithroh merupakan  salah satu dari kewajiban -kewajiban yang dibebani kepada kaum muslimin dan diwajbkan untuk dikeluarkan oleh seorang muslim baik laki-laki atau perempuan,besar,kecil,budak atau merdeka.

Dalilnya adalah :

a. Hadits Ibnu Umar :

فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَ الأنُثْىَ وَ الصَّغِيْرِ وَ الْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ،وَ أَمَرَ بِهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسُ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasululloh  telah mewajibkan zakat fithroh satu sho’ dari korma atau satu sho’ dari gandum atas hamba sahaya ,orang merdeka,perempuan,laki-laki dan anak kecil dan besar.dan memerintahkan untuk menunaikannya sebelum keluarnya manusia menuju sholat.

b. Hadits Abi Said Al Khudry :

كُنَّا نُعْطِيهَا فِيْ َزمَانِ النَّبِي صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ.

Kami dahulu pada zaman Nabi  memberikanya(zakat fithroh) satu sho’ dari makanan atau satu saho’ dari korma atau satu sho’ darigandum atau kismis(anggur kering).

c.. Perkataan Said bin Musayyab dan Umar bin Abdul Aziz dalam menafsirkan firman Allah :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى

Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya.(Al A’la :14) dengan zakat fithroh.

e. Ijma’ yang dinukil Ibnbu Qudamah dari Ibnul Munzir,beliau berkata: Telah bersepakat setiap ahli ilmu bahwa zakat fithroh adalah wajib.(lihat Al Mughny 3/80)

11.2. Hikmahnya

Zakat fithroh memiliki hikmah yang banyak,diantaranya:

1. Dia merupakan zakat untuk tubuh yang telah diberikan kehidupan tahun tersebut.

2. Terdapat padanya kemudahan-kemudahan terhadap kaum muslimin baik yang kaya maupun yang miskin.

3. Dia merupakan ungkapan syukur atas nikmat Allah yang dilimpahkan kepada orang yang berpuasa.

4. Dengannya sempurna kebhagiaan kaum muslimin pada hari ied dan dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang terjadi pada bulan Romadhon.

5. Dia menjadi makanan bagi para fakir miskin,dan pembersih bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang mengurangi kesempurnaannya pada bulan Romadhon. (lihat Fatawa Romadhon 2/909-911) dengan dalil sabda Rasululloh  :

فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ.

Rasululloh telah mewajibkan zakat fitroh sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan serta memberi makan orang yang miskin.[55]

11.3. Jenis Yang Boleh dikeluarkan Untuk Zakat Fitroh Dan Yang Berhak Menerima.

Jenis yang dibolehkan dalam pengeluaran zakat fitroh adalah semua makanan pokok penduduk negeri tersebut menurut pendapat yang rojih[56] dengan kesepakatan para ulama pada jenis-jenis yang ada dalam Nash hadits. Sedang mengeluarkan harga zakat tersebut tidak diperbolehkan para ulama baik dengan uang atau daging atau yang lainnya.[57]

 Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya asal dalam shodaqoh,bahwasanya diwajibkan atas dasar persamaan terhadap para orang faqir,sebagaimana firman Allah :

مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ

Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,(surat Al Maidah : 89)

Dan Nabi telah mewajibkan zakat fithroh satu sho’ dari korma atau gandum, karena itulah makanan pokk penduduk Madinah,dan seandainya itu bukan makanan pokoknya,bahkan makan makanan pokok yang lainnya,maka beliau tidak membebani mereka untuk mengeluarkan dari makanan yang bukan merupakan makanan pokok mereka,sebagaimana tidak memerintahkan dengan hal itu dalan kafarot. Dan shodaqoh fithroh termasuk dari jenis kafarot, karena hal ini (zakat fithroh) berhubungan dengan badan dan ini (kafarot) juga berhubungan dengan badan,berbeda dengan shodaqoh harta(mal),karena dia diwajibkan dengan sebab harta dari jenis yang Allah telah berikan.

Sedangkan orang yang berhak menerima adalah fakir miskin saja, dengan dalil hadits Nabi:

فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ.

Rasululloh telah mewajibkan zakat fitroh sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan serta memberi makan orang yang miskin.

 

11.4. Ukuran Zakat Fithroh.

Sebagaimana ada dalam hadits-hadits terdahulu bahwa ukuran yang dikeluarkan adalah 1 sho’ yang setara kurang lebih 3 kg beras,menurut hitungan Syeikh Ibnu Baz (lihat Fatawa Romadhon 2:915 dan 2 :926).sedangkan menurut ukuran sebagian ulama setara dengan 2.275 Kg dan menurut Syeikh Ibnu Utsaimin 2,45 Kg dan dinegeri kita berlaku 2,5 Kg. Mengambil yang lebih banyak lebih baik.

11.5. Waktu Mengeluarkannya.

Waktu mengeluarkannya yang utama adalah sebelum manusia keluar menuju sholat Ied dan boleh dipercepat satu atau dua hari sebelumnya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar .dan tidak boleh setelah sholat Ied,dengan dalil hadits Ibnu Abbas marfu’:

فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ فَزَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَ مَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَصَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ.

Maka barang siapa yang menunaikannya sebelum keluar manusia menuju sholat,maka zakat yang diterima,dan barang siapa yang menunaikan setelah sholat,maka dia adalah shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh.(HR Abi Daud).

         Demikianlah waktu mengeluarkannya, namun bila ada udzur seperti lupa atau yang lainnya maka ditunaikan ketika ingat walaupun setelah selesai sholat ‘ied[58]. Dan yang rojih dari pendapat para ulama tentang menunaikan zakat fithroh di awal Romadhon adalah tidak boleh, sebagaimana dinyatakan Syeikh Muhammad Ibnu Utsaimin.[59]

          Demikian makalah ini dibuat, mudah-mudahan bermanfaat.

Ma’had Ibnu Abaas, Beku, Kliwonan, Masaran: 22 Rajab 1433H.

Penulis

Kholid bin Syamhudi

 


[54] (lihat Fatawa Romadhon ,2/901).

[55] ( HR Abu Daud,Ibnu Majah,Ad Daruquthny,Al Hakim dan Al Baihaqy , dan dishasankan oleh Imam An Nawawy dalam Al Majmu’ (6/126),Ibnu Qudamah dalam Al Mughny (3/50) dan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albany dalam Irwa’ Al Gholil (3/333)

[56] lihat Fatawa Romadhon 2/914

[57] ibid 2/916-927.

[58] Lihat Fataw Romadhon 2/931-935

[59] ibid 2/935




Anjuran Beramal Sholih Pada 10 Hari Awal Dzulhijjah

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم


ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله عز وجل من هذه الأيام

يعني أيام العشر قالوا يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم

لم يرجع من ذلك بشيء


رواه البخاري


 

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ia berkata, Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda,

 “ Tiada hari yang amalan sholih pada hari-hari itu lebih Allah cintai melebihi hari-hari ini. yaitu 10 hari (dzulhijjah).”

Para sahabat bertanya,

“ Tidakkah (lebih dicintai) jihad fii Sabilillah ?”

Beliau menjawab,“ Tidak juga jihad fii sabilillah. Kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak pernah kembali lagi.”


HR Bukhari – shohih at targhib 1248

Kapan Mulai Mengajari Anak Masalah Agama

Syaikh Sholeh al-Fauzan hafidhohullahu ta'ala  pernah ditanya:

Pertanyaan: Kapan saya mulai mengajar anak-anak tentang agama? 


Beliau menjawab: 

Pendidikan anak-anak dimulai ketika mereka mencapai usia tamyiz (bisa membedakan baik dan buruk, sekitar usia 7 tahun) , maka pendidikan agama mereka dimulai ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,: “Perintahlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat  ketika mereka berusia tujuh tahun, pukul lah mereka disebabkan tidak mau shalat  ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya). 


Jika anak mencapai usia tamyiz, maka Ayahnya diperintahkan mengajari anaknya dan mendidik anaknya  untuk berbuat baik dengan mengajarinya Al-Qur'an dan hadis-hadis yang mudah, serta mengajarinya hukum-hukum yang sesuai dengan usia anak tersebut, seperti mengajarinya cara berwudhu dan cara sholat. Mengajarinya dzikir ketika akan tidur dan ketika bangun tidur. mengajarinya dzikir ketika makan dan minum. 


Ini sebabnya jika dia telah mencapai usia tamyiz, maka dia memahami apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. 


Orang tua juga perlu melarangnya dari hal-hal yang tidak pantas dan menjelaskan kepadanya bahwa hal-hal tersebut tidak boleh dia lakukan, seperti seperti berbohong, bergosip, dan seterusnya, hingga dia dibesarkan dalam kebaikan dan meninggalkan keburukan sejak kecil, dan ini adalah hal yang sangat penting yang diabaikan oleh beberapa orang terhadap anak-anaknya. 


Membaca Hadits Setiap Habis Ashar di Masjid

في بعض المساجد، وخاصة بعد صلاة العصر يقرأ الإمام أو أحد الإخوة عدة أحاديث من رياض الصالحين في كل ليلة، فهل هذا العمل من البدعة؟

 الجواب: ليس هذا بدعة، هذا من التذكير والتعليم؛ لأن هذا من باب تعليم الجماعة وإرشادهم إلى ما ينبغي لهم، الدروس في المسجد بعد العصر، أو بعد العشاء، أو في أي وقت لتعليم الجماعة وتعليم الحاضرين هذا كله مطلوب، نعم، هذا من باب التعليم.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu ta'ala pernah ditanya: di beberapa masjid (khususnya) setelah ashar imam atau salah seorang Ikhwah membaca beberapa hadits Riyadhusholihin di setiap malam, apakah amalan ini termasuk bid'ah?

Belaiu menjawab:

Ini bukanlah termasuk bid'ah, ini termasuk mengingatkan dan mengajar, ini termasuk bentuk mengajari jamaah dan mengarahkan mereka pada apa yang selayaknya. pemberian pelajaran di masjid setelah ashar, setelah Isya' atau di waktu kapanpun dalam rangka mengajari kelompok masyarakat dan orang orang yang hadir, ini semua perlu, ya , ini termasuk edukasi 

Menjawab Telepon Saat Shalat

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah. Fatwa No. (1870) disebutkan:


 س: إنهم كانوا يصلون إحدى الصلوات في البيت وأخذ منبه التليفون يرن وأشغلهم بالرنين مدة طويلة، فهل يجوز في مثل هذه الحالة أن يتقدم المصلي أو يتأخر ويرفع سماعة التليفون ويكبر أو يرفع صوته بالقراءة ليعلم صاحب التليفون أنه يصلي، قياسًا على فتح الباب للطارق أو رفع الصوت له؟ج: إذا كان المصلي بالحالة التي ذكرت وأخذ التليفون يرن جاز له أن يرفع السماعة ولو تقدم قليلاً أو تأخر كذلك، أو أخذ عن يمينه أو شماله، بشرط أن يكون مستقبل القبلة، وأن يقول: (سبحان الله) تنبيهًا للمتكلم بالتليفون؛ لما ثبت في الصحيحين "أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت ابنته، فإذا ركع وضعها وإذا قام حملها" ، وفي رواية مسلم : وهو يؤم الناس في المسجد ، ولما روى أحمد وغيره عن عائشة رضي الله عنها قالت: "كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فمشى حتى فتح لي ثم رجع إلى مقامه، ووصفت أن الباب في القبلة" ، وما رواه البخاري ومسلم "أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من نابه شيء في صلاته فليسبح الرجال وليصفق النساء" وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.




Pertanyaan: Mereka sedang melaksanakan salah satu shalat di rumah, kemudian alarm telepon berbunyi dan perhatian mereka terganggu oleh dering tersebut dalam waktu yang lama, apakah dalam keadaan seperti ini orang yang shalat boleh maju atau mundur kemudian mengambil gagagng telepon kemudian mengucap takbir atau mengangkat suaranya ketika membaca bacaan supaya orang yang menelpon tahu bahwa ia sedang melaksanakan shalat, ini dianalogikan dengan membukakan pintu untuk orang yang mengetuk pintu atau mengangkat suara untuk dia (supaya dia mendengar)?


Jawaban: Jika orang yang shalat berada pada keadaan tersebut dan teleponnya berbunyi, maka boleh ia mengangkat telepon tersebut, meski untuk hal itu ia perlu berjalan sedikit ke depan atau ke belakang, atau geser ke kanan atau ke kiri, dengan syarat tetap menghadap kiblat kemudian ia  mengucapkan: subhanallah (Maha Suci Allah) supaya  orang yang menelpon tahu keadaan yang ditelepon


Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dalam kitab Shaih Bukhari dan kitab Shahih Muslim

bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat dalam keadaan Beliau menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."Jika suku' beliau letakkan anak itu dan bila berdiri beliau gendong lagi."

dan dalam riwayat Muslim: ketika itu Beliau mengimami orang-orang di masjid. Dan berdasarkan riwayat imam Ahmad dan yang lainnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata: 

 “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian kembali ke tempatnya (untuk melaksanakan shalat).” ‘Aisyah menggambarkan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat.


Dan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim “bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang terganggu oleh sesuatu dalam shalatnya, hendaklah dia mengucapkan subhanallah (Para lelaki) sedangkan wanita  bertepuk tangan.” Allah lah yang memberi petunjuk, shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wa sahbihi wa sallam

Apakah Bumi Itu Bulat Atau Datar

Berikut ini sebagian fatwa dalam masalah ini

Ulama' yang duduk di Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi pernah ditanya

هل الأرض كروية أو مسطحة ؟

Apakah bumi itu bulat atau datar?”

Mereka menjawab:

 الأرض كروية الكل مسطحة الجزء " .

Bumi secara keseluruhan adalah bulat, namun datar ketika dilihat sebagian”. (Fatawa Lajnah Daimah: 26/414)

Syaikh Utsaimin rahimahullahu ta'ala menerangkan

" لو قال قائل: إن الله عز وجل أخبر أن الأرض قد سطحت، قال: ( وإلى الأرض كيف سطحت) الغاشية/ 20 ، ونحن نشاهد أن الأرض مكورة ، فكيف يكون خبره خلاف الواقع ؟

فجوابه : أن الآية لا تخالف الواقع ، ولكن فهمه خاطئ إما لقصوره أو تقصيره ، فالأرض مكورة مسطحة ، وذلك لأنها مستديرة ، ولكن لكبر حجمها لا تظهر استدارتها ، وحينئذ يكون الخطأ في فهمه، حيث ظن أن كونها قد سطحت مخالف لكونها كروية 


“Jika ada seseorang yang berkata: Sesungguhnya Allah –subhanahu wa ta’ala- telah mengabarkan bahwa bumi adalah datar (terhampar) dalam firman-Nya:

وإلى الأرض كيف سطحت (سورة الغاشية: 20)

“Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”. (QS. al Ghasyiyah: 20)

Kami menyaksikan bahwa bumi adalah bulat, bagaimana mungkin berita dari Allah bertentangan dengan realita ?!. Maka jawabannya adalah: Bahwa ayat tersebut tidak bertentangan dengan realita, namun pemahamannya yang salah karena ketidaktahuannya atau tidak mau belajar. Sebenarnya bumi itu bulat dan datar, yaitu: bulat seperti bola tetapi karena bentuknya besar maka tidak nampak bulatnya, disinilah letak kesalahfahamannya, hingga menyangka bahwa bumi telah terhampar datar bertentangan dengan kenyataan bahwa sebenarnya adalah bulat”. (Majmu Fatawa wa Rasail Utsaimin: 8/644)

Wallahu ta'ala a'lam



Masing-Masing Orang Yang Berserikat Dalam Sapi Kurban Meniatkan Pahala Untuk Keluarga Masing-Masing


Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya:




السؤال: هذه رسالة وردتنا من النماص من سعد الشهري ، يقول في رسالته: نحن في منطقة الجنوب بعضنا يضحي ببقر، أي: كل سبعة أشخاص يشترون بقرة ويضحون بها، أي كل واحد منهم يأخذ سبع هذه البقرة، عنه وعن أهل بيته منذ قديم الزمان، وفي هذا العام قال بعض القضاة: إن البقرة لا يجوز أن يضحي بها؛ لأنها لا تضحي إلا عن سبعة أشخاص، دون عوائلهم، فأرجو إرشادنا في هذا الأمر، هل السبع من البقرة يضحي عن الرجل وأهل بيته، أم وحده دون أهله؟ ولكم منا جزيل الشكر؟




Pertanyaan: Ini adalah pesan yang kami terima dari Al-Namas dari Saad Al-Shehri, dia mengatakan dalam pesannya: Kami berada di wilayah selatan, beberapa dari kami mengorbankan sapi, artinya: setiap tujuh orang membeli seekor sapi dan mengorbankannya, Artinya masing-masing dari mereka mengambil sepertujuh dari sapi ini, atas nama dirinya dan keluarganya sejak zaman dahulu. Tahun ini, beberapa hakim berkata: Tidak boleh sapi dikorbankan. Karena kurbannya hanya atas nama tujuh orang, tidak termasuk keluarganya, maka mohon petunjuknya dalam hal ini, apakah kurban tujuh ekor sapi atas nama satu orang dan keluarganya, atau sendirian tanpa keluarganya? terima kasih kami yang sebesar-besarnya kepada Anda?




الجواب: قد صح عن النبي عليه الصلاة والسلام أن أمر بالاشتراك في البدنة والبقرة عن سبعة، فإذا أجزأت عن سبعة من الناس، في الضحايا والهدايا، فهكذا يجوز للرجل أن يجعل السبع الذي يذبحه عن نفسه، يكون عنه وعن أهل بيته؛ لأن الرجل وأهل بيته كالشيء الواحد، فلا أرى بأساً في ذلك، حتى يكون السبع عنه وعن أهل بيته، ولا حرج في ذلك



Jawaban: Telah diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan tujuh orang berserikat pada qurban unta dan sapi, jika itu mencukupi untuk tujuh orang pada kegiatan qurban dan hadiah, maka diperbolehkan untuk seorang laki-laki untuk menjadikan sepertujuh yang dia qurbankan untuk dirinya dan untuk keluarganya; Karena seorang  dan keluarganya adalah seperti satu bagian, jadi saya tidak melihat ada yang salah dengan itu, sehingga sepertujuh itu pahalanya untuk dia  dan keluarganya, dan tidak ada yang salah dengan itu.

https://binbaz.org.sa/fatwas/6010/اجزاء-سبع-البقرة-عن-المضحي-واهله



Bahaya Homoseksual

Ulama' yang duduk di Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa pernah ditanya :

Tidak diragukan lagi bahwa kaum Luth  telah melakukan perbuatan yang paling keji (homoseksualitas). Apakah pelaku dosa besar seperti ini diterima tobatnya jika belum dikenakan hukum had? Apakah pelaksanaan hukum had menjadi syarat agar seseorang dinyatakan benar-benar bertobat? Pelaku dosa besar (sodomi) ini adalah orang fasik, lalu apakah tobat dapat menghapus kefasikan? Apakah masih ada kemungkinan bagi orang yang melakukan homoseksualitas dan dosa besar lainnya untuk mendapatkan predikat takwa? Apa yang harus dilakukan jika pelaku tinggal di negara yang tidak menerapkan hukum had? Apa solusi bagi seseorang yang menderita disorientasi seksual (kecenderungan suka sesama jenis) sejak kecil, sementara usianya saat ini hampir mencapai dua puluh tahun? Apa hukum had yang sesuai untuk perbuatan dosa besar seperti homoseksualitas, terutama jika seseorang bertindak sebagai pelaku pasif (yang disetubuhi) dan aktif (yang menyetubuhi)? Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa hukum had bagi pelaku sodomi diserahkan kepada hakim karena tidak ada dalil yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan tidak ada kesamaan pendapat dari para Khulafa` ar-Rasyidin? Mohon beri kami fatwa atas hal ini, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan dan membimbing langkah Anda. 



Mereka menjawab: 

Pertama, kaum muslimin telah berijma bahwa tindakan sodomi termasuk dosa besar yang telah Allah haramkan dalam Al-Quran. Allah Ta'ala berfirman,  Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,(165) dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas (yakni keluar dari batas halal dan memilih untuk melakukan perbuatan haram) 


Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,  "Allah tidak akan melihat (dengan pandangan rahmat) seorang lelaki yang melakukan hubungan seksual sesama lelaki, atau yang menggauli istrinya melalui anus." 


Kedua, pintu tobat selalu terbuka bagi semua pelaku maksiat bahkan kafir sekalipun hingga matahari terbit dari barat (Hari Kiamat). 


Syarat tobat atas pelanggaran terhadap hak Allah adalah berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang telah lalu, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Pelaksanaan hukum had tidak termasuk dalam syarat tobat. Allah Ta'ala berfirman,  Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya". dan  Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 


Ketiga, sebaiknya seseorang yang jatuh dalam perbuatan maksiat berupaya untuk menutupi dan tidak mengumbar dosanya dengan tirai Allah. Ia harus meminta ampun dan bertobat kepada Allah dengan tulus. Sebab, ada hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi  "Jauhilah perbuatan-perbuatan keji yang dilarang Allah. Barangsiapa melakukannya, maka hendaklah ia bersembunyi dengan tirai Allah dan bertobat kepada-Nya, karena sesungguhnya orang yang tampak catatan kesalahannya kepada kami, maka kami akan terapkan hukum Allah atasnya." Menurut adz-Dzahabi, sumber hadis tersebut adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. 


Hukum had dalam syariat atas tindakan kriminal ini dikembalikan kepada hakim syar'i. Ia yang memiliki kewenangan untuk memutuskannya berdasarkan aturan dan kondisi terkait. Wabillahittaufiq, wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam. 


Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa 

Abdullah bin Ghadyan Anggota

Abdullah bin Qu'ud Anggota

Abdurrazzaq Afifi Wakil Ketua

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Ketua

Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 24/349-350 Fatwa Nomor 7803


Mengamalkan Perkataan Yang Marjuh Boleh Dalam Keadaan Tertentu

الأصل وجوب العمل بالقول الراجح، وعدم العمل بالقول المرجوح، لمن علم أنه مرجوح، قال الشوكاني في إرشاد الفحول: وَمَنْ نَظَرَ فِي أَحْوَالِ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ، وَتَابِعِيهِمْ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ، وَجَدَهُمْ مُتَّفِقِينَ عَلَى الْعَمَلِ بِالرَّاجِحِ، وَتَرْكِ الْمَرْجُوحِ ... اهـ

وجاء في الموسوعة الفقهية: حُكْمُ الْعَمَل بِالْمَرْجُوحِ.

قَال الزَّرْكَشِيُّ: إِذَا تَحَقَّقَ التَّرْجِيحُ وَجَبَ الْعَمَل بِالرَّاجِحِ، وَإِهْمَال الآْخَرِ، لإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ عَلَى الْعَمَل بِمَا تَرَجَّحَ عِنْدَهُمْ مِنَ الأْخْبَارِ ... اهـ

لكن إذا كان في العمل بالقول المرجوح دفع مضرة، أو حرج، أو تحقيق مصلحة معتبرة شرعًا، فقد ذكر أهل العلم جوازَ العمل به حينئذ، جاء في فتاوى الشيخ محمد بن إبراهيم -رحمه الله تعالى-: إذا ثبتت الضرورة، جاز العمل بالقول المرجوح نظرًا للمصلحة، ولا يتخذ هذا عامًّا في كل قضية، بل الضرورة تقدر بقدرها، والحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا ... اهـ

وقال أيضًا: المسأَلة الخلافية إِذا وقعت فيها الضرورة ... جاز للمفتي أَن يأْخذ بالقول الآخر من أَقوال أَهل العلم، الذي فيه الرخصة. اهـ

وقال أيضًا: إذا كان قول مرجوح، وهو الأغلظ لسد باب الشر، فإنه تسوغ الفتوى به. اهـ

وقال بعض أهل العلم أيضًا: إنه يجوز للمقلد أن يعمل بالمرجوح في حق نفسه، إذا لم يكن في العمل به جمع بين الحل والحرمة، جاء في حاشية عميرة: فَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ مُرَجِّحٌ، فَلِلْمُقَلِّدِ أَنْ يَعْمَلَ بِأَيِّ الْقَوْلَيْنِ شَاءَ، وَيَجُوزُ الْعَمَلُ بِالْمَرْجُوحِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ، لَا فِي الْإِفْتَاءِ، وَالْقَضَاءِ، إذَا لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَ مُتَنَاقِضَيْنِ، كَحِلٍّ وَحُرْمَةٍ فِي مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ. اهـ


Sharf di Black Market Dengan Tidak Berpegang Dengan Harga Pasar Saat Itu

وقد سئلت اللجنة الدائمة: ما الحكم الشرعي في تبادل العملات (في السوق السوداء) مثلا 3000 دج بـ 3000 فرنك فرنسي، أي بنسبة 300% مع العلم أن التبادل عن الطريق الشرعي هو مثلا 300 دج بـ 340 فرنك فرنسي.

فأجابت: إذا كان التبادل بين عملتين من جنس واحد، وجب التساوي بينهما، والتقابض بالمجلس، وحرم التفاضل بينهما، وحرم تأخير القبض فيهما، أو في إحداهما شرعا، وإذا كانتا من جنسين جاز التفاضل بينهما شرعا، سواء كان ذلك في السوق السوداء أم في غيرها، وحرم تأخير بعضهما أو إحداهما .اهـ.

Menafsirkan Mimpi Dengan Buku Tafsir Mimpi


Syaikh Utsaimin ditanya mengenai sejauh mana kebenaran kitab tafsir mimpi, seperti kitab tafsir mimpi Ibnu Sirin rahimahullah?


Beliau menjawab:

Jawaban dari pertanyaan ini adalah: Saya menasehati saudaraku kaum Muslimin untuk tidak menyimpan kitab-kitab ini dan tidak membacanya, sebab itu bukanlah wahyu yang diturunkan, akan tetapi itu hanya pendapat yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Di sisi lain, mimpi bisa jadi sama tapi hakikatnya berbeda, tergantung apa yang ia lihat dalam mimpi, tergantung waktu dan tergantung tempat.


Bila kita melihat mimpi tertentu itu tidak berarti bahwa setiap kita bermimpi hal yang sama maka ta'wilnya sama dengan yang pertama. Bahkan itu berbeda, kadang kita menta'wil mimpi seseorang dengan begini, dan kita menta'wil mimpi orang lain yang sama dengan ta'wil yang berbeda...


Majmu' Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 26/360-361 no.152

Sikap Orang Awam Saat Menghadapi Perbedaan

Alhamdulillah.

Pertama:

Orang yang bertaklid kepada ulama yang telah dikenal ilmu dan amanahnya tidaklah berdosa, karena dia sesungguhnya sedang mengimplementasikan firman Allah Taala,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (سورة النحل: 43)

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl: 43

Seorang ulama bagi seorang awam, adalah dalil itu sendiri. Dia harus mengkaji darinya dan mengikuti fatwanya.

Asy-Syathibi berkata dalam kitab Al-Muwafaqat (4/292)

 “Fatawa para mujtahid bagi masyarakat awam bagaikan dalil syar’i bagi para mujtahid. Dalilnya adalah bahwa ada tidaknya dalil-dalil bagi orang yang bertaklid sama saja, karena mereka tidak dapat memanfaatkannya sedikitpun. Maka mendalami dan mengambil kesimpulan dalil-dalil tersebut, bukanlah wewenang mereka, dan bahkan tidak boleh sama sekali hal itu bagi mereka, karena Allah telah katakan,

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl: 43

Orang yang bertaklid bukanlah ulama, maka tidak ada jalan baginya keculai bertanya kepada para ulama dan menjadikannya sebagai rujukan dalam beragama secara mutlak.

Maka, mereka (para ulama) jika demikian, adalah orang-orang yang menempati kedudukan syariat bagi kalangan awam dan perkataan mereka menempati kedudukan syariat.”

Disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (32/47-49), “Wajib bagi peminta fatwa, jika mengalami suatu peristiwa, hendaknya bertanya kepada orang yang dikenal ilmu dan keadilannya.

Ibnu Abidin berkata dengan mengutip ucapan Al-Kamal bin Al-Hammam, “Kesepakatan dalam mencari solusi adalah meminta fatwa kepada ulama yang dikenal mampu berijtihad dan adil (beriman dan bertakwa) ada kepada orang yang diberikan wewenang untuk itu dan orang-orang meminta fatwa darinya serta menghormatinya. Akan tetapi, jangan minta fatwa, jika di nilai orang tersebut tidak memiliki salah satu dari keduanya, yaitu tidak pandai berijtihad atau tidak adil (ada cacat dalam masalah iman dan ketakwaannya).

Bagaimana jika seorang pencari fatwa mendapati ulama lebih dari satu dan semuanya adil serta layak berfatwa. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang berfatwa boleh memilih di antara mereka, dia dapat bertanya kepadanya apa yang dia inginkan lalu mengamalkan berdasarkan fatwanya. Tidak wajib baginya bersungguh-sungguh untuk menetapkan siapa yang paling utama di antara mereka untuk dijadikan tempat bertanya. Dia cukup bertanya siapa kepada siapa yang menurutnya paling utama, kalau dia mau. Kalau tidak, dia boleh bertanya kepada yang tidak lebih utama, walaupun ada yang lebih utama. 

Mereka berdalil dengan firman Allah Taala,

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Juga berdasarkan dalil bahwa orang-orang pada masa-masa awal mereka bertanya kepada seorang sahabat, padahal ada sahabat yang lebih utama dan lebih senior yang dapat mereka tanya. Jika seseorang bertanya kepada lebih dari satu ahli fatwa dan jawaban mereka sama, maka dia harus mengamalkannya jika dia merasa tenang dengan fatwa mereka.

Jika mereka berbeda pendapat, para ahli fiqih memiliki dua pandangan;

Mayoritas ahli fiqih; Ulama mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian ulama mazhab Hambali, Ibnu Suraij, Samma’ani, Ghazali ulama mazhab Syafii, mereka berpendapat bahwa orang awam tidak boleh memilih di antara pendapat mereka begitu saja, diambil yang dia suka dan ditinggalkan yang dia suka, tapi dia harus mengamalkan dengan menguatkan salah satu pendapat semampunya.

Yang lebih benar dan lebih kuat menurut ulama dari kalangan mazhab Syafii dan sebagian mazhab Hambali adalah bahwa kalangan awam boleh memilih di antara pendapat para ahli fatwa yang berbeda-beda. Karena seorang awam dituntut bertaklid, hal itu terbukti dengan bertaklid kepada siapa saja ahli fatwa yang dia kehendaki.”

Kedua:

Yang wajib bagi anda wahai penanya, adalah menyampaikan kasus anda kepada seorang ulama yang terkenal keilmuannya, serta amanah dan kepercayaannya, kemudian anda ambil fatwanya dan berpegangteguh kepadanya. Tidak boleh yang anda tuju adalah sekedar mencari keringanan dan yang fatwanya yang paling mudah, kecuali dalam satu kondisi, yaitu apabila masalah yang dipertentangkan antara para ulama sifatnya ijtihad dan cabang, tidak terdapat nash dalam Al-Quran dan Sunah yang menguatkan pendapat-pendapat tersebut, akan tetapi penguatnya adalah pandangan logika dan ijtihad semata. Maka ketika itu tidak mengapa mengambil yang keringanan di antara berbagai pendapat yang dibutuhkan seoran muslim. Kaidah syariat mengatakan, “Kesulitan mendatangkan kemudahan.”

Terdapat dalam “Liqoat Al-Bab Al-Maftuh”, Syekh Ibnu Utsaimin (Pertemuan ke 46, soal no. 2). Pertanyaan, “Apakah boleh meminta fatwa kepada lebih dari seorang ulama? Jika terjadi perbedaan fatwa, apakah peminta fatwa mengambil yang paling mudah dan atau yang lebih hati-hati? Jazaaumullah khairan.”

Jawab:

Tidak dibolehkan seseorang, jika dia telah meminta fatwa kepada seorang ulama yang dipercaya ucapannya, lalu dia meminta fatwa kepada selainnya.

Karena hal itu menyebabkan sikap mempermainkan agama Allah dan mencari-cari keringanan. Karena jika dia bertanya kepada seseorang ulama, lalu jawabannya tidak cocok, dia bertanya lagi kepada ulama lainnya, jika tidak cocok, dia bertanya kepada ulama yang ketiga, demikian seterusnya. Para ulama menyatakan bahwa sikap mencari-cari yang mudah dalam agama adalah kefasikan.

Akan tetapi kadang seseorang tidak mengetahui ulama kecuali si fulan misalnya, lalu dia bertanya karena mendesak. Dia niat apabila bertemu dengan ulama yang lebih dipercaya ilmu dan agamanya maka dia akan bertanya kepadanya. Hal seperti ini tidak mengapa jika dia bertanya kepada yang pertama karena darurat, lalu ketika dia bertemua dengan lebih utama, maka dia bertanya lagi.

Jika para ulama berbeda pendapat di hadapannya dalam suatu fatwa, atau berdasarkan apa yang dia dengar dari nasehat dan ceramah mereka, maka hendaknya dia mengikuti ulama yang menurut dia lebih kuat ilmu dan agamanya. Jika menurutnya keduanya sama-sama kedudukannya dalam hal ilmu dan agama, maka sebagian ulama berpendapat hendaknya dia pilih yang lebih hati-hati, atau yang paling berat. Ada juga yang berpendapat, hendaknya dia memilih yang lebih mudah. Pendapat ini yang benar, karena jika fatwa-fatwa yang ada kedudukannya seimbang di hadapan anda, maka anda dapat memilih yang lebih ringan, karena agama Alah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan kemudahan, bukan berdasarkan kesulitan. Aisyah radhiallahu anha berkata saat menjelaskan sifat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 

إنه ما خير بين أمرين إلا اختار أيسرهما ما لم يكن إثماً

“Sungguhnya beliau, jika berada dalam dua perkara yang dipilih, niscaya akan memilih yang paling ringan. Selama tidak berdosa.”

Maka dengan demikian, seseorang tidak boleh memilih perkara yang paling ringan kecuali dengan dua syarat;

1. Tidak bertentangan dengan pendapat jumhur ulama baik kalangan salaf maupun khalaf. Tidak diragukan lagi bahwa yang paling layak dan paling hati-hati adalah mengikuti mazhab mereka.

2. Dalil-dalil yang disampaikan oleh kedua pandangan yang berbeda tersebut kedudukannya sama, maka ketika itu, anda dapat mengambil yang lebih ringan di antara kedua pendapat. Wallahu a’lam.islamqa.info