Jawaban Pertama:
Ya. Penanya berdosa karena ikut tanda tangan di situ mengingat ini termasuk dalam kerjasama dalam melakukan penipuan dan dusta terhadap instansi. Khawatir dipecat dari pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan bukanlah alasan untuk melakukan penipuan terhadap instansi. Bahkan seharusnya orang-orang yang mengajak kepada kecurangan itu yang seharusnya terkena sanksi.
As Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata : “
Adapun para pegawai yang tidak melaksanakan pekerjaan dengan amanah atau tidak saling menasihati untuk kebaikan pekerjaan mereka, maka kalian telah mendengar bahwasannya diantara ciri dan sifat iman itu adalah ; melaksanakan amanah, dan memelihara amanah sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar melaksanakan amanah kepada yang berhak mendapatkannya ) An Nisaa’/58.
Maka amanah merupakan sifat dan ciri keimanan yang paling agung dan utama, dan khianat merupakan sifat nifak yang paling utama, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan sifat bagi orang-orang yang beriman dalam surat Al Mukminun/ 8 :
(Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah yang dipikulnya dan janjinya ) Al Mukminun/8.
Dan Allah juga berfirman :
(Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghianati Allah dan Utusan-Nya, dan jangan pula kalian menghianati amanah-amanah yang dibebankan kepada kalian sedang kalian mengetahui) Al Anfal/27.
Maka yang wajib dilakukan oleh seorang pegawai adalah hendaknya dia melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya dengan penuh kejujuran, ikhlash, memperhatikan waktu mulai kerja dan jam pulang kerja, senantiasa memohon pertolongan kepada Allah untuk kelancaran pekerjaannya, sehingga terbebas dari beban tanggungan pekerjaannya, mendapatkan kebaikan dalam penghasilannya, dan diridloi oleh Tuhannya, dengan demikian dia ikut andil dalam kebaikan negaranya, perusahaan di mana dia bekerja atau di manapun instansi dia bekerja akan mendapatkan sifat positif yang dia tonjolkan, hal seperti inilah yang patut dilaksanakan oleh para pegawai ; senantiasa bertaqwa kepada Allah, melaksanakan amanah dengan tujuan profesional dalam pekerjaannya, mengharap pahala dari Allah dan takut akan segala siksanya dan beraktifitas sesuai dengan firman Allah:
(Sesungguhnhya Allah memerintahkan kalian agar melaksanakan amanah kepada yang berhak mendapatkannya ) An Nisaa’/58.
Dan diantara ciri-ciri orang-orang Munafik adalah : khianat terhadap amanah yang dibebankan kepadanya sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :
(Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : Apabila dia berkata dia dusta, apabila dia membuat janji dia mengingkarinya, dan apabila dia dipercaya dia berkhianat ) HR. Bukhari dan Muslim.
Maka bagi seorang Muslim tidak diperkenankan menyerupai orang-orang munafik malah hendaknya menjahui semua sifat-sifat mereka, dan menjaga setiap amanah yang diembannya, melaksanakan semua pekerjaannya dengan penuh perhatian dan kepedulian, memperhatikan waktu mulai kerja dan jam pulang kerja, meskipun pimpinannya maupun majikannya bersikap toleran dan longgar kepadanya, tidak pernah memberikan perintah kepadanya, maka hendaknya dia tidak bersantai-santai dan mengabaikan tugas-tugas dalam pekerjaannya, bahkan patut baginya bersungguh-sungguh dalam pelaksanaan pekerjaannya sehingga menjadi kebaikan baginya dan bagi pimpinannya, tauladan dalam mengemban amanah dan tauladan bagi para pekerja yang lainnya ”. “ Fatawa As Syaikh Bin Baaz ” ( 5/39,40 )
Penanya melakukan kesalahan dua kali yaitu tidak mencegah kemungkaran dan yang kedua malah ikut berbuat kemungkaran. Dosa yang dilakukan ini juga bukan dosa yang sederhana mengingat ini adalah dosa yang mengandung kedholiman terhadap makhluk juga.
Berikut ini syarat-syarat taubat yang disebutkan oleh Ulama':
1. Ikhlas karena Allah ta’ala : maksudnya adalah karena takut kepada Allah ta’ala dan ingin mendekat kepadaNya
2. Menyesal atas perbuatan dosa yang telah dia perbuat sebelumnya.
3. Segera meninggalkan dosa tersebut dan tidak menunda-nundanya
4. Bertekad kuat untuk tidak kembali kepada dosa tersebut 5. Taubat itu dilaksanakan pada saat taubat masih diterima, yaitu sebelum ajal menjemput dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Diterjemahkan secara bebas dari Asy-Syarh Al-Mumti’ Ala Zad Al-Mustaqni’ oleh syaikh Utsaimin 14/380
Apabila dosa itu berbentuk kedholiman kepada yang lain maka ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu meminta keridhoan dan kehalalan dari orang yang didholimi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang berbuat kedzaliman kepada saudaranya baik dari sisi kehormatan atau sesuatu hal, maka mohonlah dihalalkan darinya sekarang (pada hari ini) sebelum tidak berguna lagi dinar dan dirham. Kalau dia mempunyai amal shaleh, maka akan diambil darinya sesuai dengan kadar kedzalimannya. Kalau tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang tersebut akan diambil dan dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Kedzaliman itu ada tiga; kedzaliman yang tidak akan Allah biarkan, kedzaliman yang akan dia ampuni, dan kezhaliman yang tidak akan dia ampuni. Adapun kedzaliman yang tidak Allah ampuni adalah syirik, itu tidak akan Allah ampuni. Adapun kedzaliman yang akan diampuni adalah kedhaliman hamba (terhadap dirinya sendiri) dalam perkara yang ada antara dirinya dan Rabb-nya. Adapun kedzaliman yang tidak akan Allah biarkan adalah kezhaliman sesama hamba hingga Alah akan mengqishah yang satu dengan yang lain.” Hilyatul auliya' wa Tabaqat al-Ashfiya' 6/309 . Hadits ini hasan menurut syaikh al-Albani, lih. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 4/560
Jawaban Kedua:
Uang yang diterima sebagai timbal balik pekerjaan yang fiktif harus dikembalikan.
As Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya :
Saya dan teman saya diutus ke salah satu daerah selama empat hari, akan tetapi saya tidak berangkat bersama dengan teman saya , dan saya tetap tinggal melaksanakan pekerjaan utama saya, dan selang beberapa hari kemudian saya menerima imbalan atau gaji dari pekerjaan tambahan tersebut, maka pertanyaannya bolehkah saya memanfaatkan gaji tersebut ataukah tidak diperkenankan ? dan apabila jawabannya tidak halal bagi saya untuk memanfaatkannya, maka apakah saya diperbolehkan untuk membelanjakannya guna kepentingan dan kebutuhan sehari-hari kantor atau bagian administrasi di mana saya bekerja ?
Beliau menjawab : “
Yang anda lakukan adalah mengembalikannya karena sesungguhnya anda tidak berhak mendapatkannya dan memanfaatkannya karena memang anda tidak melaksanakan tugas yang diamanahkan kepada anda, namun jika hal itu tidak memungkinkan dan tidak mudah mengembalikannya, maka wajib membelanjakan dan menyalurkan harta tersebut di sebagian unsur-unsur kebaikan ; seperti disedekahkan kepada para fakir miskin, ikut andil dalam sebagian proyek-proyek kebaikan dan kemaslahatan yang disertai taubat dan Istighfar dan berhati-hati untuk tidak mengulang kembali perbuatan tersebut ”. diambil dari “ Fatawa As Syaikh Bin Baz ” ( 19/343).
Jawaban ketiga
Apabila penanya melakukan tugas pengecekan sesuai dengan aturan yang berlaku maka ia berhak mendapatkan uang gaji untuk tugas yang ia laksanakan tersebut, adapun tugas yang tidak ia laksanakan maka itu tentu tidak boleh diambil upahnya.
Syaikh Shalih Al Fauzan Hafidzahullah pernah ditanya :
Seseorang yang bekerja sambilan dengan jangka waktu yang telah ditentukan, dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan kawan-kawannya hingga tersisa sehari atau dua hari lalu penanggung jawab proyek ini mengatakan kepada para pekerja : hari ini pekerjaan akan selesai dan besok bagi yang menginginkan untuk pulang dan kembali kepada keluarganya maka dipersilahkan untuk pulang, maka apakah dia diperkanankan mengambil gaji sehari atau dua hari yang dia tidak ikut serta bekerja bersama-sama dengan kawan-kawannya ?
Beliau menjawab : “
Tidak diperkenankan baginya mengambil gaji kecuali sebatas hari-hari di mana dia telah bekerja di dalamnya, adapun hari-hari yang dia tidak ikut serta dalam bekerja dan pulang kepada keluarganya maka tidak diprkenankan baginya mengambil sesuatu apapun dari gaji, karena dia mengambil upah tanpa jerih payah, dan perizinan yang diberikan oleh pihak penanggung jawab kepadanya untuk pulang kepada keluarganya tidak berarti dia berhak mengambil gaji dari hari yang dia tinggalkan dan dia tidak bekerja di dalamnya, karena ketika dia memutuskan untuk pulang kembali kepada keluarganya secara otomatis dia telah menghentikan kontrak kerjanya, meski kontrak kerjanya dihitung dari hari keberangkatannya dan hari kepulangannya jika memang tempat kerjanya jauh ”. Diambil dari “ Fatawa Syaikh Al Fauzan ” ( soal nomer 327 ).islamqa.info