Keinginan untuk menjadi terkenal perlu dihindari karena itu berbahaya dan tercela bagi seseorang. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Tidaklah ada dua srigala yang sedang lapar yang dilepaskan ke kawanan domba lebih rusak untuk agama seseorang dari pada kegigihan seseorang mengejar harta dan kemuliaan ”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Jami’: 5620)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata:
“Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa kegigihan mengejar harta dan kemuliaan namun disertai dengan rusaknya agama, tidak lebih kurang dengan rusaknya dua srigala yang sedang lapar masuk ke kandang kambing, hal itu begitu nyata; sungguh selamatnya agama tidak memerlukan kegigihan duniawi tersebut; karena jika hati sudah merasakan manisnya beribadah dan cinta kepada Allah tidak ada lagi sesuatu yang lebih ia cintai hingga mengalahkan ibadahnya, oleh karena itu bagi mereka yang ikhlas akan dipalingkan dari keburukan dan kekejian”. (Majmu’ Fatawa: 10/215)
Ibrohim bin Adham berkata:
“seorang hamba yang mencintai ketenaran tidaklah sungguh jujur kepada Allah ta'ala”. (Al ‘Uzlah wal Infiraad: 126)
Ibrohim An Nakho’i dan Hasan Al Bashri berkata:
“Cukuplah fitnah bagi seseorang dengan ditunjuk kepadanya dengan jemari dalam masalah agama dan dunia, kecuali seseorang yang dijaga oleh Alloh”. (Az Zuhd / Ibnu Sariy: 2/442)
Imam Muslim (2965) telah meriwayatkan dari Amir bin Sa’d berkata:
“Bahwa Sa’d bin Abi Waqqash berada di atas untanya, maka Umar anaknya mengahampirinya, ketika dilihat oleh Sa’d dia berkata: “Saya berlindung kepada Alloh dari keburukan orang yang berkendara itu”. Dia pun turun dan berkata: “Apakah engkau turun dari untamu dan dombamu dan meinggalkan banyak orang saling berebut kekuasaan di antara mereka ?, maka Sa’d memukul dadanya dan berkata: “Diam kamu, karena saya pernah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya Alloh menyukai hamba yang bertaqwa, kaya dan tersembunyi”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Al Khofiy adalah orang yang tidak menampakkan dirinya sendiri, dia juga tidak memperhatikan apakah akan dikenal di masyarakat atau ditunjuk dengan jemari (ditokohkan) atau diperbincangkan banyak orang, dia berjalan dari rumahnya ke masjid, dari masjid ke rumahnya, dari rumahnya menuju kerabatnya dan saudara-saudaranya, dia menyembunyikan dirinya”. (Syarh Riyadhus Shalihin: 629)
Al Fudhail bin ‘Iyadh –rahimahullah- berkata:
“Jika anda mampu untuk tidak dikenal maka lakukanlah, kenapa kamu harus tidak diketahui ?, kenapa kamu harus tidak dipuji orang ?, kamu tidak akan tercela di hadapan manusia jika kamu terpuji di sisi Alloh –‘Azza wa Jalla- “. (At Tawadhu’ wa Al Khumul / Abu Bakr Al Qurasyi: 43)
Jika telah ditakdirkan bahwa seorang hamba telah mencari kebaikan dalam masalah agama atau dunia kemudian menjadi terkenal tanpa dia minta dan tanpa ia berusaha untuk mendapatkannya; maka hal itu tidaklah masalah, akan tetapi dia harus selalu memperbaiki niatnya dalam mencari kebaikan dan tidak perduli apakah ia akan menjadi terkenal setelah itu ataukah tidak
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Jika perkara itu berputar antara akan menyilaukan dirinya, memunculkan dirinya dan menjadi terkenal dengan yang akan menjadikan dirinya tersembunyi, maka pada saat itu hendaknya memilih yang menjadikan dirinya tersembunyi. Sedangkan jika perlu untuk menampakkan dirinya maka perlu menampakkannya, hal itu dengan cara menyebarkan ilmunya di tengah masyarakat, mengadakan pengajian dan halaqah ilmu di setiap tempat. Demikian juga dengan cara berkhutbah pada hari jum’at, hari raya dan lain sebagainya. Demikian ini termasuk yang dicintai oleh Alloh -‘Azza wa Jalla-“. (Syarh Riyadhus Shalihin: 629)
Akan tetapi dia hendaknya berusaha mengontrol hatinya dan meluruskan niatnya. Hendaknya dia juga menjadikan amalnya hanya untuk Allah semata, perhatian orang kepadanya merupakan perkara yang telah ditakdirkan.islamqa.info