Hubungan khusus antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di luar pernikahan adalah hubungan yang terlarang. Hubungan itu kadang diwujudkan hanya dalam obrolan, khalwat (berdua-duaan) , bersentuhan atau ada yang sampai kepada perzinaan wal'iyadzu billah.
Hubungan khusus (baca:pacaran) di atas adalah perbuatan yang mendekatkan pasangan kepada perzinaan atau bahkan menjadikan keduanya berzina (sebagaimana terjadi pada sebagian pasangan)
Syariat Islam dengan tegas melarang perzinaan dan perkara-perkara yang mendekatkan seseorang kepada perzinaan. Diantara dalil yang menunjukkan keharaman zina adalah irman Allah ta'ala di surat Al-Isra':32:
Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Dengan demikian berarti selama beberapa tahun penanya telah terjatuh kedalam sesuatu yang dilarang oleh Allah ta'ala sehingga ia dan suami perlu bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah ta'ala. Taubat yang dilakukan harus memenuhi syaratnya. Berikut ini syarat taubat yang harus dipenuhi:
syarat taubat, yaitu:
1. Ikhlas karena Allah ta’ala : Maksudnya adalah karena takut kepada Allah ta’ala dan ingin mendekat kepadaNya
2. Menyesal atas perbuatan dosa yang telah dia perbuat sebelumnya.
3. Segera meninggalkan dosa tersebut dan tidak menunda-nundanya.
4. Bertekad kuat untuk tidak kembali kepada dosa tersebut.
5. Taubat itu dilaksanakan pada saat taubat masih diterima, yaitu sebelum ajal menjemput dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Diterjemahkan secara bebas dari Asy-Syarh Al-Mumti’ Ala Zad Al-Mustaqni’ oleh syaikh Utsaimin 14/380
Sekarang penanya menghadapi masalah baru setelah menikah. Apabila penanya dan suami sama-sama berkomitmen ingin menjalankan hukum Allah dengan baik dalam rumah tangganya dan tidak ada yang dipermasalahkan antara suami istri maka jalanilah rumah tangga secara Islami dan berusahalah untuk terus menyambung tali silaturrahim yang diputus. Janganlah membalas pemutusan silaturrahim dengan pemutusan silaturrahim juga, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
"Orang yang menyambung silaturrahim bukanlah orang yang menyepadani (dalam silaturrahim) akan tetapi orang yang menyambung silaturrahim adalah orang yang menyambungnya kembali ketika tali silaturrahmi itu sempat terputus. HR. Bukhari no. 5991
Apabila mertua penanya ingin memisahkan anak mereka dengan istrinya tanpa alasan yang syar'i maka suami penanya tidak wajib mengikuti artahan itu, dan ini tidaklah termasuk durhaka ke orang tua. Ulama' yang duduk di Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi menerangkan:
Bila kenyataannya sebagaimana yang disebutkan oleh penanya di mana istrinya adalah:
- wanita yang konsisten dalam agamanya.
- suami mencintainya
- istri adalah wanita berharga di matanya
- istri tersebut tidak berbuat buruk kepada ibu dari suaminya
Namun ibu dari suami itu tidak menyukai istrinya disebabkan kepentingan pribadi sedangkan suami tetap mempertahankannya dan tetap menjadikannya pendamping hidup maka ketika itu suami tidak wajib untuk mentalak istrinya demi mentaati ibunya, ini berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
Sesungguhnya ketaatan hanya pada perkara yang baik. HR. Bukhari. No 7145 dan Muslim no.1840
Meski demikian dia tetap wajib:
- berbakti kepada ibunya
- menyambung tali silaturahim dengan mengunjunginya
- berlemah-lembut terhadapnya
- memberinya nafkah
- menghiburnya dengan memberikan apa yang dia butuhkan, apa yang membuat dia berlapang dada dan apa yang membuat dia ridho (selain mentalak istrinya). Yang hal itu masih bisa diusahakan oleh si suami.
Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 20/30 fatwa no.1930