Penny
9 years ago
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,
Ukhti Sandra yang dicintai Allah…
Sebelumnya saya minta ma’af karena kesibukan baru sekarang bisa menjawab. Semoga tidak terlambat ya..
Berapa usia anak ukhti? Mungkin perlu dijelaskan lebih rinci mengenai perilaku “Brand- Minded”nya.
Ukhtifillah, penghayatan anak terhadap nilai-nilai tertentu tidak hanya ia peroleh dari pengamatan dia dirumah, pengaruh lingkungan mempunyai peranan yang sangat besar (seperti teman/peers, TV, stimulasi2 lainnya baik yang bersifat visual maupun audio).
Apalagi kalau buah hati ukhti sedang memasuki usia remaja…. Pusat tata surya dia pasti teman-temannya. Orang tua hanya pelengkap bahkan dianggap pengganggu… Allahul Musta’an….
Belum lagi sekarang dimana saja kita dicekoki dengan berbagai macam barang-barang bermerek yang akhirnya secara tidak disadari berpengaruh kuat pada tatanan nilai dan gaya hidup kita.
Interaksi antara pengaruh teman, stimulasi2 iklan serta tuntutan gaya hidup harus menjadi focus perhatian kita sebagai orang tua.
Sebagai orang tua kita harus bijak mensikapi kondisi ini. Manage kegelisahan kita dengan mengembangkan sikap bersahabat dengan anak-anak kita. Jangan apriori dan menunjukkan sikap yang bertentangan dengan mereka ukh… Ciptakan dialog-dialog yang terbuka dengan mengajak anak untuk bercerita apa adanya tanpa dipaksa. Tentunya sebagai ibu ukhti paham betul bagaimana caranya membuat sang buah hati bercerita panjang lebar. Tentang apa saja…. Jangan langsung arahkan pada topic tersebut. Dari dialog ini, coba tanyakan kenapa dia cenderung suka atau bahkan tergila-gila pada barang bermerek. Kalau dalam penuturannya ada hal yang sangat mengejutkan ukhti, jangan spontan memperlihatkan keterkejutan ukhti. Stay cool :D … sambil terus digali secara natural.
“Branded = mahal > gengsi” ….. Tetapi bisa juga “Branded = jaminan mutu > lebih awet”.
Tidak ada yang salah dengan Branded, selama proporsional dan tidak menimbulkan ke mudharatan. Namun perlu penanaman pemahaman yang benar agar anak tidak menjadi salah arah dan membabi buta untuk mendapatkannya.
Beri pengarahan bahwa kita harus bijak mensikapinya. Kalau barang-barang yang sifatnya primer untuk kebutuhan pendukung sekolahnya (seperti computer / alat gambar / apapun yang memang secara akademis diperlukan) membeli barang bermerek masih dibenarkan, karena kita ingin supaya terjamin mutunya, optimal fungsinya dan lebih awet.
Tetapi kalau barang2 branded yang diminatinya lebih kearah fashion dan untuk bermewah-mewah, ukhti & suami harus dapat memberikan pengertian dengan tegas tetapi dengan penuh kasih saying. Ajak dia untuk mengamati kehidupan teman-teman / lingkungan sekitarnya yang kurang beruntung. Ajak dia untuk bisa belajar mem”value” nilai uang. Bahwa uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan barang bermerek sangat besar dan kurang sebanding dengan manfaat yang didapatkannya.
Paradigma seperti ini harus segera dirubah dengan sesering mungkin melibatkan anak-anak kita untuk belajar mengamati (“observing”) kejadian disekitar mereka. Terutama mengamati bagaimana saudara kita yang kurang beruntung berjuang untuk makan & menyekolahkan anak-anak mereka.
Lakukan senatural mungkin & nyaman bersama ayahnya. Sehingga tidak dirasakan sebagai indoktrinasi terhadap dirinya.
Tanamkan sensitivitas pada diri anak. Ajak dia mengkonversikan nilai barang tersebut dengan nilai beras yang diperlukan untuk makan baik untuk kita sendiri / orang fakir disekitar kita (sebutkan saja misalnya buruh cuci kita). Membeli barang mewah = sekian bulan gaji khodimat kita yang bekerja siang & malam melayani dia.
Kalau memang diperlukan ukhti bisa terbuka dengan mereka untuk melihat cara ukhti mengelola keuangan rumah tangga. Jika anak sudah cukup dewasa, tidak ada salahnya kita mulai melatih mereka untuk mengelola keuangannya sendiri. Caranya dilakukan secara bertahap, mulai dari uang jajan mingguan >> 2 mingguan >> bulanan. Pada tahap awal ini, latih dulu dia untuk hanya memanage uang jajannya saja. Tetapi setelah melalui beberapa exercise, kita akan tahu berapa sebetulnya kebutuhan mereka diluar jajan. Perlahan mulai diterapkan juga uang bulanan yang sudah termasuk didalamnya untuk kebutuhan pribadinya (ini lebih tepat bagi mereka yang sudah kuliah). Tetapi tetap menerapkan transparansi. Anak harus melaporkan semua detail pengeluarannya. Disinilah diperlukan kedekatan ukhti dengan mereka agar semua pengeluaran mereka terpantau.
Harus disiplin menerapkan metoda ini, Insya Allah anak jadi memahami betul nilai uang dan terbiasa untuk lebih bijaksana membelanjakan uangnya.
Semoga ini membantu. Barakallahu Fiikum..